Selasa, 01 Agustus 2023

Pada akhirnya, yang tersisa dari kita adalah kenangan

Malam menjauh larut. Mataku masih membuka terjaga. Lelah dan kantuk seperti ragu muncul, tampak sungkan mengijinkanku merakit kalimat-kalimat yang mengusut di ingatan.

Saat-saat seperti ini, waktu yang berjalan seperti sebuah kesempatan untuk mengurai rentang kenangan. Kesempatan untuk menjaga kilas terlewat agar tetap melekat, terawat. Karena pada akhirnya, yang tersisa dari kita adalah kenangan. Kita adalah sebungkus kulit dan tulang yang menjejakkan langkah untuk mengutip ingatan. Kita adalah sejarah yang tertunda. Masa depan hanyalah ketiadaan yang menggoda. Tipuan prediksi.

Oh, demi Tuhan, perasaan kecil itu begitu menganggu. Perasaan yang menguar ketika menatap langit, dengan tebar bintang yang melebar ke segala, dan aku hanyalah noktah yang tak dianggap oleh semesta.

Aku ingin diingat, ingin dikenang, seperti nyala lampu minyak malam yang tetap betul-betul dijaga agar terhindar padam. Namun sampai kapan? Di mana batas wujudku bertahan mengada dalam pikiran orang-orang? Karena bagian yang tampak lebih menyakitkan dari mati hanyalah memudar terlupakan.

Jangan biarkan aku lenyap, tetaplah jadikan aku sebuah ingatan yang membekas, walau hanya sewujud noktah, kilas yang sesaat saja menyapa. Kenanglah aku sebagai sesuatu, yang pernah punya cerita dan sejarah. Karena hanya dengan itu saja, kematian tidak lagi tampak sebagai tuntas.


(6-5-2018)

Selasa, 05 April 2022

Project: Lazarus

Sekarang aku merasa sebagai mayat. Kematian sudah datang menjemput dan aku tak punya daya lagi untuk menghindar.

Bukan kematian secara fisik, tentunya.

Namun jika kau pernah membawa harapan dengan sungguh, berusaha dengan yakin menjaganya agar tumbuh, kau pasti tahu rasanya kenyataan pedih saat di garis akhir, yang selama ini kau pikul tak lebih dari sia-sia belaka.

Rasanya, aku tak perlu mati fisik dulu untuk tahu seperti apa kehilangan nyawa itu.


"Tapi bahkan di balik reruntuhan sehabis bencana, akan ada puing yang siap dibangun kembali, kan?"


Walau kalimat yang barusan kuketik dengan sangat tak yakin, dengan perasaan babak belur, dicengkram rasa sendiri yang menggigit, aku tak punya pilihan lain kecuali percaya.


Seperti Lazarus yang 4 hari jadi jasad sebelum nyawanya dikembalikan ke tubuh semula, aku pun harus berjanji bakal hidup lagi nanti.

Mungkin bukan secepat 4 hari, mungkin nyawa yang kembali tak utuh pulih, tapi tak penting, asal aku bisa mengatasi maut ini.


Di belantara maya, kuketik pesan ini sebagai prasasti, yang suatu saat nanti akan kujumpai lagi, ketika aku sudah sanggup berucap: ya, aku hidup kembali.

Jumat, 30 Oktober 2020

Harap

Mungkin banyak di antara kita yang berharap, pada satu ketika dalam hidup yang singkat ini, terjadi sesuatu, entah kejadian megah atau.. cukup kilas singkat yang luar biasa, yang bisa mengubah secara besar-besaran, merombak banyak hal, meruntuhkan apa yang selama ini kita anggap mustahil berganti.

Sempat aku termasuk orang yang macam itu. Aku pernah menanti itu.

Di hari-hari tertentu, ketika rutinitas ada di titiknya yang paling menjenuhkan (bayangkan gelas yang isinya nyaris penuh dan sebentar lagi tumpah), rasa penantian itu kadang-kadang muncul. Aku menanti, berharap, kadang malah diikuti dengan semacam doa, agar sesuatu terjadi dan segalanya berganti.

Tapi kau tahu, untuk sebagian orang hal-hal semacam ini tidak akan terjadi.

Aku telah lama berdamai dengan diri sendiri jika aku akan berakhir dalam sebuah siklus hidup yang stabil dan terprediksi.

Aku tak kecewa jika pada akhirnya akan berakhir semacam itu seterusnya. Walau tetap saja, sesekali aku butuh berharap. Bukan karena ingin harapan itu terpenuhi, lebih karena kebiasaan. Sama seperti pensiunan yang pada suatu pagi terbangun dan bergegas persiapkan diri untuk pergi bekerja, hingga sampai di depan pagar dia baru tersadar, masanya sudah berakhir.

Sama denganku, yang bisa digolongkan sebagai "orang yang sudah pensiun berharap".

Iya, aku sudah menahan diri untuk tidak banyak-banyak memprediksi apapun di masa depan. Aku membaca Seneca, Aurelius, atau orang-orang Stoic yang zaman dulu berhasil menerima hidup apa adanya.

Tak selalu berhasil, memang.

Mungkin di dalam gen atau naluri manusia, aktivitas "berharap" sudah melekat dan tertanam di sana. Aku tak mungkin menang melawan sesuatu yang sama tuanya seperti rasa takut atau keinginan untuk terikat dengan orang lain atau yang semacamnya. Aku, seperti yang kubilang sebelumnya, hanya berusaha menahan diri. 

Rabu, 05 Oktober 2016

Tentang Lelaki yang Terjaga Untukmu

Lelaki itu tertempel gagah di sampingmu. Tak gentar dia mencium keningmu di depan mata ratusan orang —kening yang bahkan tak pernah mampu kusentuh. Ia menggerayangimu dengan percaya diri di keramaian (dan, demi Tuhan, apa yang bisa kuharapkan ketika kalian hanya tinggal berdua saja di dalam mobil berkaca gelap miliknya?)

Ia genggam tanganmu, merabanya lembut & aku hanya bisa menonton dalam senyap lucu untuk tangan milikmu yang gagal kujaga dan terlepas terlalu mudah dulu.

Kau memberinya selebar senyum paling manis dalam sejarah wajahmu yang tersimpan dalam ingatanku. Senyum yang tak sempat kutemukan di saat-saat terbaik yang pernah kita punya—atau tepatnya, saat-saat terbaik, yang kukira, pernah kita punya.

Apa yang mampu kuperbuat? Kemustahilan telah menyekati sejambak kemungkinan yang kugenggam. Kemungkinan yang sejak adanya dulu sudah membusuk namun tetap saja pura-pura kuanggap masih hidup. Tapi kini, dengan lelaki gagah yang menempel di sampingmu, aku tak perlu lagi bisikan Tuhan untuk sekadar tahu jika segala hal tentang kita adalah soal kemustahilan.

Ya, aku resmi menyerah.

Sebenarnya Kau Manusia yang Bisa Terbang

Sejak awal ada kilas tak puas yang tertinggal di matamu, dalam gerak dan ucapmu. Kau ingin sesuatu yang lebih. Seakan kepak sayapmu tertahan dan ingin lepas, namun ada rantai yang erat memasung. Rantai yang tak lain adalah harapanku sendiri.  Sebuah ironi, ketika aku menjebakmu dalam keinginan untuk memiliki.

Apapun yang kuperjuangkan untuk lenyapkan obsesi itu terpental saja tak mempan. Jika ini adalah tentang masa kritis seorang pesakitan, maka satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menunggu sampai kematian santai menjelang.

Tapi sekarang, takdir mengahadiahimu kesempatan mewujudkan. Dialah lelaki impianmu. Lelaki yang dulu kausebut sebagai “tak mungkin” sehingga kau terpaksa memilih jatuhkan satu kesempatan untukku, yang tak lebih dari sekadar pilihan realistis. Murah dan mudah.

Dari jarak ribuan kilometer yang merentang ini, aku tidak bisa berbuat banyak.

Kau tahu, aku hanya tertawa untuk akhir yang kudapati, akhir yang sebenarnya jauh dari perkiraanku sendiri.

Aku tertawa untuk runtuhnya harapan besar yang lama kurapal dalam hening.

Aku tertawa untuk puing-puing ingatan yang tekun kukutip agar kenangan tentangmu tak dipudarkan waktu.

Aku tertawa, tapi satu bagian dari diriku remuk redam tak beraturan.

Mungkin cukup sampai di sini saja kau jadi alasan yang merasuki bertumpuk-tumpuk sajak dan tulisan yang pernah kurakit, atau berkilas-kilas mimpi abstrak tentang kita yang masih melangkah bersama, dan rangkai harap yang kusimpan begitu rapih dan tersembunyi.

“Aku ingin menikahimu,” kudengar kau mengucapnya. Bukan untukku, akhirnya lelaki itu yang mendapatkannya dari renyah suaramu.

Ah, memang saatnya kusudahi perjalanan yang kulangkahi sendiri ini.

Seperti franchise “Fast and Forious”, sudah terlalu banyak kata “tamat” yang kububuhi untuk perjuangan melupakanmu dulu, tapi tanpa perlu kauminta lagi, aku akan memberi kado senoktah titik terakhir yang kupunya.

Tidak, aku tidak mengucap “terima kasih” kali ini. 
Tidak ada lagi hal tersisa yang kau wariskan untukku.

Semua kenangan, semua sejarah yang menetap hanyalah kolase yang kuciptakan sendiri, rangkai kondisi yang kubuat dari bermacam spekulasi yang akhirnya dengan berat kuakui cuma fiksi. (Kau harusnya kagum pada kemampuanku menciptakan kenyataan yang tak pernah ada tentang kita, dan bisa hidup di dalamnya untuk waktu yang terlalu lama.)

Dan, tentu saja, mari kita berdoa untuk kebahagiaanmu.

Aku percaya dia laki-laki baik—walau wajahnya terlihat agak cabul—tapi yakinku banyak hal yang tak mampu kutamatkan dulu akan dia lakukan dengan sempurna nanti.

Aku harap, dia menyelesaikan semua janji yang gagal kupenuhi.

Aku harap, kau mengakhiri segalanya dan kemudian merasa cukup.

Aku harap, kau mengingatku sebagai seorang lelaki baik yang pernah terjaga untukmu dulu.

Percayalah, aku berharap.

Dan, beri aku maaf untuk ketidakmampuanku merelakan. Aku memang buruk jika dipaksa merelakan sesuatu, apalagi untuk hal yang sempat tulus kudoakan agar jadi sisa nasibku.

Sekarang, pasungku sudah terlepas dan kepakkanlah sayapmu sebebas yang kaumampu.

Terbang, karena kebebasan itu layak kaudapatkan sejak lama.

Dari bawah sini, aku hanya mampu melihatmu kelu.

Karena sampai kini kau selalu saja tampak sama; indah, tapi terlalu jauh untuk terengkuh.




Sabtu, 23 Januari 2016

Terbiasa, Tersesat

Manusia berawal dari sebuah pertanyaan.

Coba saja lihat para bayi. Mata mereka seperti membinarkan rasa penasaran, heran akan setiap objek yang untuk pertama kali membanjiri seluruh panca inderanya. Layaknya mangkuk, bayi-bayi adalah wadah kosong yang akan muat diisi banyak air. Mereka menyentuh semua, mengunyah benda apa saja, menangisi banyak hal dan menertawakan sesuatu yang tak lucu bagi manusia dewasa.

Itulah bentuk paling primitif perjalanan mencari jawaban.

Setelah mulut mereka mulai terbiasa merangkai kata dan kalimat, saat sepasang kakinya cukup kuat menopang tubuh untuk berjalan, para manusia baru itu pun semakin punya banyak cara untuk mencari jawab dari kumpulan tanya tak terhingga yang mendenyut kepalanya.

Lalu dengan penuh pengertian, para manusia dewasa memperkenalkan dunia baru bagi bayi-bayi. Seperti seorang tour guide, manusia dewasa menjadi pemandu yang menjelaskan setiap detail remeh untuk dipahami sekumpulan wisatawan berwajah penuh liur yang sering buang air di celana. Satu persatu benda asing di sekeliling mereka mulai punya nama, rasa dan bentuk yang berbeda—perkenalan yang tanpa perlu jabat tangan.

Manusia dewasa pun menjadi sumber satu-satunya jawaban bagi bayi-bayi untuk pertanyaan soal pasir, awan, tentang hujan dan kumbang, yang diucapkan berulang-ulang.
Bayi-bayi adalah “hewan yang bertanya”. Mereka seperti tak punya batas rasa penasaran tentang dunia. Jika tak ada manusia dewasa yang bersedia memberi jawab, mereka akan nekat melangkahkan kaki mencari jawabannya sendiri. Terkadang keinginan obsesif para bayi untuk menyingkap rahasia dunia ini bisa menghasilkan tangis, luka, dan bahkan kematian yang tragis.

Ah, hanya para bayi yang mau menukar nyawa untuk sebuah jawaban!

Setelah dunia tak lagi menjadi tempat yang terlalu asing bagi para bayi yang mulai beranjak tumbuh ini, pertanyaan yang mereka buat pun semakin spesifik, semakin kompleks dan rumit. Para bayi ini mulai menanyakan dari mana asal kemunculan mereka, proses terbentuknya dunia, dan mereka pun penasaran mengenai sosok tak tampak yang setiap hari dipuja-puji manusia, bernama “Tuhan”.

Sang tour guide semakin kewalahan mencari jawab yang diminta para turisnya. Untuk menghadapi ini, para bayi pun dimasukkan ke dalam wadah baru pencipta jawaban yang manusia dewasa sebut sebagai "sekolah".

Di sana, mereka mulai mengenal bentuk lain dari dunia. Tentang warna, angka, abjad dan ragam fakta yang mungkin tak pernah mereka tanyakan sebelumnya.

Para bayi tidak lagi menjadi sumber bagi pertanyaan mereka sendiri. Kini, mereka disediakan kumpulan pertanyaan baru yang harus mereka jawab sendiri.

Para bayi diubah oleh dunia yang awalnya ingin mereka singkap. Bermacam pertanyaan dari rasa penasaran (dan pertanyaan yang sebenarnya tak ingin mereka tanyakan), mengisi mangkuk yang kini mulai penuh. Ternyata, dunia yang pada mulanya mendenyut rasa heran tidaklah sesederhana tentang pasir, awan, tentang hujan atau kumbang. Mereka juga harus mengetahui jawaban dari soal-soal aritmatika, planet-planet yang mengisi tata surya, atau nama Ibukota Austria.

Bayi-bayi berwajah penuh liur, yang dulu suka menghisap tangannya sendiri, lalu ditempa dunia untuk siap menjadi orang dewasa.. menjadi seorang ‘tour guide’ baru.

Kemudian, mata mereka tidak akan pernah terlihat sama lagi. Binar penasaran dan keheranan yang memancar mulai pudar pelan-pelan. Dunia menjadi sebuah ruang rutinitas yang gampang tertebak. Sepertinya, semua pertanyaan sudah punya jawabannya masing-masing.

Sebuah siklus yang berulang, ketika pada awalnya hembus angin dan semut yang merayap begitu terlihat mengherankan, kini pertanyaan yang disisakan oleh dunia semakin menipis, sempit dan membosankan.

Ironi. Sebagai tour guide bagi para bayi-bayi, manusia dewasa tak lebih dari sekadar onggokan jawaban yang justru tak memiliki pertanyaan untuk dirinya sendiri. Bukan rasa malu untuk bertanya yang jadikan mereka tersesat, seperti kata pepatah. Tapi waktu dan keterbiasaan.

Justru para bayi-bayilah yang masih menyimpan perasaan tersesat yang lalu membimbing mereka untuk terus bertanya, terus merasa heran dan melihat dunia sebagai tempat asing yang membingungkan, yang tanahnya layak dijejaki dengan risiko untuk mencari jawaban yang pas.

Seharusnya, para manusia dewasa melihat kembali ke kedalaman mata bingung para bayi. Melahirkan kembali rasa penasaran yang ikut menua bersama usia. Mendenyutkan lagi keingintahuan akan rahasia hidup yang sempat dihapus oleh rutinitas. Pertanyaan-pertanyaan mendesak; tentang tujuan hidup seorang manusia, tentang masa depan, tentang Tuhan,  cinta dan  kematian.


“..karena aku tersesat, maka aku bertanya”.


Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI

Jumat, 28 Agustus 2015

Membela Madara dan “Mugen Tsyukomi”


Gramsci pernah menyebut, dunia ini adalah kumpulan realitas yang diciptakan oleh sebagian orang. Apa yang menjadi arah dan jalan yang kita langkahi adalah utak-atik manusia terpilih yang punya kuasa untuk menjadikan manusia lainnya sebagai boneka. Bukan dengan kekerasan, malah manusia menyerahkan diri dengan pasrah untuk dikendalikan, untuk dijadikan budak dan pijakan kaki para ‘tuhan-tuhan’ yang tak tampak.

Jauh sebelum pria Italia itu bercerita soal hegemoni, panutannya Karl Marx, sudah lebih dulu memaki relasi ‘tuan dan budak’ yang mengakar dalam kapitalisme. Para pemilik modal terduduk nikmat dengan perutnya yang hampir meletus karena kenyang menghisap nilai lebih dari kaum proletar yang bekerja, digaji dan bertahan hidup hanya untuk berulang kali tersungkur diperalat. Siklus lingkaran setan yang jadi kutukan untuk manusia tak bermodal yang dilemparkan hidup ke dunia ini.

Di lain suara, Nietzsche malah menganggap, dunia dikendalikan oleh manusia-manusia lemah. Manusia yang iri kepada mereka yang terlahir kuat, yang terlahir cerdas, yang terlahir dengan harta tak berbatas. Manusia-manusia lemah itu awalnya memuja kekuatan, kecerdasan dan harta. Namun gerombolan orang-orang lemah, tak berbakat, miskin dalam stamina, energi, vitalitas, semangat, dan tidak menarik secara seksual itu kemudian diracuni dendam dan membalikkan patokan moral yang selama ini mereka pegang. Keunggulan manusia yang dulu mereka sembah kemudian diubah sebagai sebuah kejahatan dan tindakan amoral. Sedangkan kelemahan yang menempeli tubuh mereka malah ditampilkan sebagai penyerahan diri pada alam, penghormatan pada Tuhan, dan dijadikan nilai luhur yang mesti diikuti seluruh umat manusia. Menurut Nietzsche, asketisme sukses dijadikan para manusia lemah sebagai samaran untuk berdamai dengan ketidakmampuan mereka menjadi spesies unggul!

Gramsci, Marx, Nietzsche, dan para “penonton” lain dari masa lalu, melihat dunia dan umat manusia sebagai entitas yang menjijikkan dan pantas dimaki. “Orang lain adalah neraka bagiku”, kata Sartre suatu ketika. Setiap orang berusaha menaklukkan manusia lain dengan berbagai cara. Bahkan modernitas tidak melenyapkan naluri biadab manusia untuk saling menguasai, untuk saling mengendalikan. Kemajuan zaman hanya mengubah teknik penindasan jadi semakin canggih, semakin halus, semakin mudah ditelan.

Lalu, Masashi Kishimoto kemudian melihat itu sebagai peluang untuk menjual karya. Ia menjadikan kebobrokan moral manusia sebagai tema anime yang menangguk untung besar di pasaran animasi dunia.

Naruto, tokoh yang tentu mustahil kalah karena namanya dijadikan judul, berjuang melawan musuh-musuh berkemampuan unik yang di akhirnya harus menyerah takluk. Pertempuran ideologi “perdamaian dunia” yang dibungkus dalam kisah kehidupan para ninja di negara-negara fiktif itu sudah mendekati episode akhir ketika Naruto dan kelompok ninja “baik hati” dihadapkan pada kelompok ninja “jahat” yang ingin mengubah bumi.

Inilah yang menjadikan kisah Naruto tak sesederhana kartun untuk bayi. Dikotomi antara good  dan evil ternyata disatukan dalam satu tujuan yang serupa: menciptakan perdamaian di bumi yang semakin rusak akibat perang berkepanjangan.

Jika Naruto dkk berniat menciptakan perdamain dengan cara romantis, tanpa kekerasan dan cenderung utopis, maka Madara melihat segalanya dari kutub kontras. Dunia yang telah kecanduan cakra dari pohon Jubii membuat Madara memiliki impian untuk mengakhiri segalanya dengan cara radikal. Perang, penindasan dan kesemena-menaan yang diakibatkan ulah manusia mestilah segera ditulis halaman terakhirnya.

Diakhiri dan disegel hingga abadi.

Rencana “mata bulan” adalah satu-satunya cara untuk mencapai itu. “Mugen tsyukomi” akan menyatukan seluruh umat manusia dalam mimpi indah yang tak punya akhir. Jalan lurus yang mengevolusi harapan spekulatif menjadi sebuah kepastian.

Tidak ada lagi perang, rasa sakit dan kematian. Yang ada cuma mimpi panjang tanpa ending. Mimpi yang akhirnya memperkenalkan kepada umat manusia apa yang disebut sebagai “sempurna”.

Sungguh  ironis. Uzumaki Naruto, sang tokoh protagonis, malah memperjuangkan idealisme yang terlalu kekanak-kanakan. Sebuah kenaifan yang konyol jika ingin manantikan adanya masa ketika seluruh manusia bisa saling mengerti satu sama lain.

Empati hanya bisa tercipta ketika seseorang sudah merasakan langsung apa yang orang lain rasakan. Sungguh kurang ajar jika kau dengan mudahnya meminta orang lain bertahan dari rasa sakit ketika kau tak tahu apa-apa tentang rasa sakit. Alami sendiri rasa sakit itu, barulah kau bisa kembali dan berbicara tentang “bertahan dari rasa sakit”! Tanpa tahu rasanya, tanpa mengalami secara langsung, ucapan yang dengan mudah keluar dari mulut seseorang hanyalah onggokan sampah tak pantas.

Mungkin anime “Naruto” jadi satu dari segelintir anime yang menempatkan pihak antagonis sebagai pengusung realitas di saat tokoh pembela kebenaran malah berjuang untuk akhir yang utopia.
Terlepas dari ucapan tak bermoral yang keluar dari mulut Madara—yang tentu menjadi kendali Masashi Kishimoto sebagai ‘tuhan’—inti dari tujuan Madara adalah cara yang lebih masuk akal dibanding mengharapkan empati naif yang tak juga tercipta sejak masa panjang kaki-kaki manusia menjejak di tanah bumi.

Uchiha Madara dan rencananya untuk menidurkan umat manusia dalam mimpi indah abadi adalah kebenaran yang patut dibela jika seandainya hal tersebut ada.
Bukankah tujuan umat manusia—mengutip ucapan Mill—adalah berusaha mendapat kenikmatan sebanyak mungkin dan meminimalisir rasa sakit?

Kenikmatan abadi adalah tujuan tertinggi umat manusia bahkan jika itu dibangun dengan landasan kepalsuan. Karena toh, realitas yang sekarang disadari umat manusia pun dirakit dari banyak kepalsuan dan kesemuan yang jahat.

Dunia ini adalah panggung pertarungan yang lantainya sudah diceceri genangan darah. Tak perlu menanti darah itu mengering, karena hanya sesaat, darah baru akan kembali terkucur deras.

Satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian abadi di bumi adalah menghancurkannya sampai tak ada lagi bekas yang disisakan manusia. Mereka yang beragama perlu menanti kembali terulangnya kisah Nabi Nuh dan bahteranya yang berlayar di atas mayat pendosa yang tercekik air bah murka Tuhan.

Karena sejak ribuan tahun yang lalu, ucapan Plato tetap saja akan menjadi kebenaran: “hanya orang mati yang sudah melihat perang di dunia ini berakhir”.

Minggu, 24 Mei 2015

Perpustakaan Digital, Silahkan Unduh dan Baca Buku Langka Gratis!

Selain kualitas, hal yang pertama kali kupertimbangkan dari sebuah buku adalah harga. Sudah ratusan kali hati ini tersakiti karena tak mampu mendapat buku mantap yang kumau. Alasannya? Dompet terlalu kurus untuk dipaksa menghadapi harga yang tercetak kekar di toko-toko buku!

Itu jadi ironi. Ketika nasihat rajin membaca buku terlalu sering diucapkan—mulai dari bibir orang tua di rumah hingga pidato presiden di istana negara—namun nyatanya akses untuk mendapatkan buku berkualitas tak semudah memberi cuap-cuap nasihat.

Tapi syukurlah, teknologi sudah berevolusi dengan cepat. Semua sudah mengalami digitalisasi. Mulai dari pertemanan, jodoh, hingga takdir, bisa diperoleh dengan cara yang sangat mudah di dunia maya. Termasuk, lembaran buku berjumlah tak terhingga,

E-book jadi alternatif seksi bagi mereka yang punya minat baca tinggi tapi tak diikuti dengan guyuran rezeki.

Memang, e-book yang beredar di internet kebanyakan adalah hasil begal. Duplikasi ilegal yang dilakukan para “Robin Hood”  demi memberi sedekah bagi para fakir ilmu di seluruh dunia.

Ah, setelah tanpa malu bertahun-tahun jadi salah satu ‘pengemis’ link unduhan buku elektronik, aku akhirnya membalas jasa dengan ubah peran jadi dermawan e-book. Tak banyak memang, tapi paling tidak aku berusaha membantu distribusi ilmu agar lebih merata.  Inilah kontribusi miniku bagi dunia pedidikan. Aku memang tak mampu menjadi guru yang mencerdaskan bangsa, tapi semoga riak kecil yang kubagikan ini bisa dihargai sebagai usaha.

Total e-book yang kubagikan di sini adalah hasil karya milik orang lain (sebut saja mereka pahlawan tanpa tanda jasa) yang telah repot-repot menyempatkan waktu untuk mengkonversi buku fisik jadi e-book yang mudah disebarluaskan.

Beberapa buku yang kudapat tergolong langka, dalam artian sulit ditemukan di internet, karena tak semua buku--apalagi karya terjemahan--bisa ditemukan bentuk elektroniknya.

Silahkan diunduh dan mohon jangan digunakan untuk kepentingan komersil!
(E-book yang diunduh akan di-update tidak berkala tergantung ketersediaan internet.)

Albert Camus - Orang-orang Terbungkam (waiting)
Multatuli - Max Havelaar (waiting)
George Orwell - 1984 (waiting)
Carlo Collodi - Pinokio (waiting)