Lelaki itu
tertempel gagah di sampingmu. Tak gentar dia mencium keningmu di depan mata
ratusan orang —kening yang bahkan tak pernah mampu kusentuh. Ia menggerayangimu
dengan percaya diri di keramaian (dan, demi Tuhan, apa yang bisa kuharapkan
ketika kalian hanya tinggal berdua saja di dalam mobil berkaca gelap miliknya?)
Ia genggam
tanganmu, merabanya lembut & aku hanya bisa menonton dalam senyap lucu
untuk tangan milikmu yang gagal kujaga dan terlepas terlalu mudah dulu.
Kau memberinya
selebar senyum paling manis dalam sejarah wajahmu yang tersimpan dalam
ingatanku. Senyum yang tak sempat kutemukan di saat-saat terbaik yang pernah
kita punya—atau tepatnya, saat-saat terbaik, yang kukira, pernah kita punya.
Apa yang mampu
kuperbuat? Kemustahilan telah menyekati sejambak kemungkinan yang kugenggam.
Kemungkinan yang sejak adanya dulu sudah membusuk namun tetap saja pura-pura
kuanggap masih hidup. Tapi kini, dengan lelaki gagah yang menempel di
sampingmu, aku tak perlu lagi bisikan Tuhan untuk sekadar tahu jika segala hal
tentang kita adalah soal kemustahilan.
Ya, aku resmi
menyerah.
Sebenarnya Kau Manusia yang Bisa Terbang
Sejak awal ada
kilas tak puas yang tertinggal di matamu, dalam gerak dan ucapmu. Kau ingin
sesuatu yang lebih. Seakan kepak sayapmu tertahan dan ingin lepas, namun ada
rantai yang erat memasung. Rantai yang tak lain adalah harapanku sendiri. Sebuah ironi, ketika aku menjebakmu dalam
keinginan untuk memiliki.
Apapun yang kuperjuangkan
untuk lenyapkan obsesi itu terpental saja tak mempan. Jika ini adalah tentang
masa kritis seorang pesakitan, maka satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah
menunggu sampai kematian santai menjelang.
Tapi sekarang,
takdir mengahadiahimu kesempatan mewujudkan. Dialah lelaki impianmu. Lelaki
yang dulu kausebut sebagai “tak mungkin” sehingga kau terpaksa memilih jatuhkan
satu kesempatan untukku, yang tak lebih dari sekadar pilihan realistis. Murah
dan mudah.
Dari jarak
ribuan kilometer yang merentang ini, aku tidak bisa berbuat banyak.
Kau tahu, aku
hanya tertawa untuk akhir yang kudapati, akhir yang sebenarnya jauh dari
perkiraanku sendiri.
Aku tertawa
untuk runtuhnya harapan besar yang lama kurapal dalam hening.
Aku tertawa
untuk puing-puing ingatan yang tekun kukutip agar kenangan tentangmu tak
dipudarkan waktu.
Aku tertawa,
tapi satu bagian dari diriku remuk redam tak beraturan.
Mungkin cukup
sampai di sini saja kau jadi alasan yang merasuki bertumpuk-tumpuk sajak dan
tulisan yang pernah kurakit, atau berkilas-kilas mimpi abstrak tentang kita
yang masih melangkah bersama, dan rangkai harap yang kusimpan begitu rapih dan
tersembunyi.
“Aku ingin
menikahimu,” kudengar kau mengucapnya. Bukan untukku, akhirnya lelaki itu yang
mendapatkannya dari renyah suaramu.
Ah, memang
saatnya kusudahi perjalanan yang kulangkahi sendiri ini.
Seperti franchise “Fast and Forious”, sudah terlalu
banyak kata “tamat” yang kububuhi untuk perjuangan melupakanmu dulu, tapi tanpa
perlu kauminta lagi, aku akan memberi kado senoktah titik terakhir yang
kupunya.
Tidak, aku
tidak mengucap “terima kasih” kali ini.
Tidak ada lagi hal tersisa yang kau
wariskan untukku.
Semua kenangan, semua sejarah yang menetap hanyalah kolase
yang kuciptakan sendiri, rangkai kondisi yang kubuat dari bermacam spekulasi
yang akhirnya dengan berat kuakui cuma fiksi. (Kau harusnya kagum pada
kemampuanku menciptakan kenyataan yang tak pernah ada tentang kita, dan bisa
hidup di dalamnya untuk waktu yang terlalu lama.)
Dan, tentu
saja, mari kita berdoa untuk kebahagiaanmu.
Aku percaya
dia laki-laki baik—walau wajahnya terlihat agak cabul—tapi yakinku banyak hal
yang tak mampu kutamatkan dulu akan dia lakukan dengan sempurna nanti.
Aku harap, dia
menyelesaikan semua janji yang gagal kupenuhi.
Aku harap, kau
mengakhiri segalanya dan kemudian merasa cukup.
Aku harap, kau
mengingatku sebagai seorang lelaki baik yang pernah terjaga untukmu dulu.
Percayalah,
aku berharap.
Dan, beri aku
maaf untuk ketidakmampuanku merelakan. Aku memang buruk jika dipaksa merelakan
sesuatu, apalagi untuk hal yang sempat tulus kudoakan agar jadi sisa nasibku.
Sekarang, pasungku
sudah terlepas dan kepakkanlah sayapmu sebebas yang kaumampu.
Terbang,
karena kebebasan itu layak kaudapatkan sejak lama.
Dari bawah
sini, aku hanya mampu melihatmu kelu.
Karena sampai
kini kau selalu saja tampak sama; indah, tapi terlalu jauh untuk terengkuh.