“KAFIR BANGSAT LOE.
MANUSIA KOK DISEMBAH!!” Komentar seorang
Muslim dalam sebuah page komunitas agama di situs jejaring sosial Facebook beberapa waktu yang lalu.
Tak mau kalah, dibalas lagi, “Onta guoblok. Agama plagiat!” kata seorang dengan akun Facebook-nya yang berfoto profilkan Sosok Yesus Kristus tengah disalibkan. Jelas itu identitas seorang Kristiani.
Setelahnya,
barteran makian dengan lancar tersajikan.
Mulai
dari nickname teman-teman di kebun
binatang, sampai masalah teknis penjabaran substansi ayat, dari QS 13:3 surah
An-Nissa hingga Yohanes 14:4 dibahas dengan kepanjangan-kelebarannya
masing-masing.
Sungguh
dahsyat.
Mungkin
tafsiran mereka jauh lebih kompleks dari pada interpretasi para penulis ayat-ayat itu sendiri.
Bukan
Cuma sebiji-dua biji, tapi comment list
semakin memanjang sampai angka 500-an.
Wuih...super
sekali.
Dan
hingga muncullah komentator baru dari akun yang kali ini memajang pic profil berbentuk banner “God is The Biggest Commedian”.
Secara
tekstual dia mengejek para pembuat komentar dari kedua kubu, si-Islam dan
si-Kristen, dengan sebutan “Orang-orang tolol yang mabok dogma, bla.bla.bla.”
Mulailah dia bawa-bawa sains sebagai perbandingan antara kaum intelek yang
anti-theis dengan para umat beragama yang katanya kebanyakan memelototi kitab-kitab
usang produk purba kala. Dengan sombongnya, ia memuja kepintaran dan akal yang
ia miliki tanpa harus terikat dengan konsep transendentalnya agama.
Ah,
pokoknya panjang sekali. Makian brutal jadi nambah berpiring-piring lagi.
Saya
lihat semua itu tanpa ikut berkomentar, apalagi sok-sok menengahi diantara
kemirisan super yang saya rasakan.
Saya
tengok jelas, bagaimana mereka dan argumen-argumen yang mereka postingkan
menggambarkan betapa lancarnya mereka berbahasa Indonesia (walau ada yang alay-alay
sedikit). Jadi nampaklah jelas bangsa apa mereka ini.
Tapi,
beginikah wujud generasi muda yang katanya besar di tanah air Pancasila?
Yang
katanya menjiwai Bhineka Tunggal Ika.
Hormat
bendera merah putih di senin pagi saat upacara.
Oh,
kasihan sekali jika masa depan Indonesia akan disesaki oleh orang-orang yang
lebih bernafsu menghujat perbedaan dibanding aktif mencari solusi untuk bangkit
dari keterbelakangan.
..Dan
realitasnya semua masalah itu ternyata bersumber dari satu hal.
Yaitu:
Agama. A-g-a-m-a.
Agama—seperti
yang kita ketahui—adalah gudang di mana kebaikan terdistribusi melalui konten
yang disajikan di dalamnya kepada setiap manusia yang percaya adanya kausalitas
antara perbuatan dan hasil yang didapat kelak, ditambah keyakinan jika terdapat
kekuatan adikodrati yang mengatur siklus kehidupan yang ada.
Namun,
agama juga—seperti yang kita harus akui—adalah distributor gede-gedan bencana bagi manusia itu sendiri. Dan TUHAN, sebagai
“Oknum” protagonis yang dipuja-puji, bisa menjadi Si-antagonis yang menjadi
Sumber dari segala sumber bencana di lain hari.
Jangan
labeli saya kafir, sinting, antek-antek Ilumminati
atau penentang Tuhan, tapi ada alasannya jika saya mengatakan kalau agama
adalah salah satu—jika tak bisa dibilang satu-satunya—mesin pembunuh terbesar
yang pernah ada di muka bumi.
Mengapa?
Pernah
saya baca pada sebuah artikel (lupa sumbernya :p) yang memuat hasil sebuah
survey independen berisikan data mengejutkan kalau “basis terbesar terjadinya kejahatan kemanusiaan terutama perang dan
akhirnya menghasilkan korban dengan kuantitas terbanyak dilandasi oleh konflik antar agama”
Gak
percaya?
Coba
lihat, genosida etnis Muslim Bosnia yang dilakukan oleh orang Serbia yang memakan
entah berapa banyak korban. Mulai dari hasil pembunuhan, perkosaan, sampai
penyiksaan massal. Ada yang mengatakan walau masalah ini cenderung terjadi
dalam area politik, namun tetap saja ada semangat sentimen agama yang
mendasarinya. Lalu dilanjutkan dengan serangan bunuh diri teroris radikal Islam
di gedung World Trade Center, Amerika
Serikat, (sebutan kerennya 11/11: Black September)
menghasilkan ribuan jasad yang tak bernafas seketika. Lagi-lagi semangat
agamalah yang diusung oleh oknum teroris tersebut dalam melakukan kejahatan
keji itu, dan mirisnya hal tersebut merembes semakin luas ketika itu dijadikan
alasan untuk mendiskriminasi umat Muslim di banyak negara dan tentunya
pendiskreditan sektarian ini sudah memakan banyak korban (lihat: “My name is Khan”)
Di
India, Islam vs Hindu, pernah jontok-jontokan berdarah karena rebutan tanah
suci, diikuti juga konflik raksasa antar umat Hindu melawan pengikut Sikh.
Islam
vs Yahudi secara mengglobal mengikrarkan permusahan di antara umatnya. Belum
lagi Katolik vs Protestan di Irlandia penggal-penggalan karena perbedaan mahzab.
Pembantaian missioanaris di China, Syiah vs Sunni yang belum juga berakhir di
beberapa negara Arab dan yang paling tersohor sekaligus menjadi salah satu
perang terbesar dalam sejarah galaksi ini, Perang Salib, antara Umat Muslim dan
Kristiani yang berebut akuisisi tanah Yerussalem. Bahkan perang ini berlangsung
dalam episode-episode panjang selama berabad-abad lamanya.
Indonesia?
Sama saja. Segar di ingatan saat Poso berdarah memburamkan hubungan antar umat
beragama di negeri ini.
Daftar
tadi bisa jauh lebih panjang lagi isinya. Namun dari semua itu, terjadinya hal
tersebut utamanya mengikutkan satu kompisisi penyebab utama yang sama, ga jauh
beda: AgAmA.
Sering
saya dengar dalam ceramah-ceramah Ulama, Pendeta, atau tokoh-tokoh agama
lainnya, menyatakan jika “agama” adalah
sebuah produk ‘kedamain’.
Betulkah?
Menurut
saya itu semua hanya omong kosong.
Kekeliruan
sebenarnya terlalu besar buat ditutup-tutupi.
Agama,
walau banyak berbicara soal kesetaraan umat manusia di mata Tuhan, tapi tetap
saja agama secara transparan dan jelas memuat KEBURUKAN akan adanya
heterogenitas kepercayaan. Perbedaan nyatanya adalah musuh utama hampir setiap
agama besar. Tak percaya? Lihat saja Anda yang Muslim, mengkafirkan orang-orang
yang non-Muslim kan? Saya dan seluruh umat Protestan di seluruh dunia punya
Tuhan yang menutup akses ke surga bagi mereka yang tidak memercayai ke-Tuhan
Yesus Kristus sebagai satu-satunya Jalan keselamatan.
Yahudi,
Hindu, bahkan penyembah sayuranpun juga sama, Tuhan mereka tak disembah,
tamatlah sudah, neraka hadiahnya.
Intinya
kafir itu konotasi dari tingkatan atau derajat manusia. Semacam kasta. Benarkah
semua manusia sama di mata Tuhan? Tidak.. Tergantung agamanya apa. Kalau saya
Kristen, saya lebih beruntung dari yang non-Kristen. Kalau saya Muslim, saya
lebih punya modal kesurga dari pada orang non-Muslim. Kalau saya ini, kalau
saya itu.
Sejak
lahir, saya, anda, dia, Luna Maya, kita,
sudah menjadi calon penghuni neraka dari ribuan agama.
Klaim
kebenaran adalah sisi yang tak terlepas dari ajaran agama apapun yang ada di
dunia.
Bicara
soal “kebenaran”, saya pernah mendapat kuliah Filsafat Ilmu yang bertepatan
sedang memasuki materi penjelasan tentang apa itu “kebenaran.”
“Ada
tiga sumber kebenaran,” kata sang dosen “..pertama dari filsafat. Kedua dari
ilmu pengetahuan. Dan yang terakhir kebenaran yang berasal dari agama.”
“Kebenaran
yang berasal dari filsafat,” lanjutnya lagi “..bersifat relatif adanya. Begitu
juga dengan yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Kebenaran yang dihasilkannya
hari ini bisa saja berubah suatu saat nanti. Dinamis. Sedangkan, kebenaran yang
dari agama, itulah yang bersifat absolut. Karena semua substansinya sudah
melalui proses pewahyuan Tuhan,” tutupnya.
Pada
poin ini, kontan saja saya merasa sang dosen sudah sangat keliru
mendeskripsikan tentang apa itu “kebenaran”.
Benarkah
kebenaran yang bersumber dari agama absolut sifatnya? Yang paling benar?
Nehi..
Dia
mungkin lupa, kalau jumlah agama di wajah bumi ini bukan cuma satu, dua atau
tiga.
Ada
ratusan, ribuan bahkan mungkin ratusan ribu kepercayaan yang melabeli diri
sebagai agama.
Dan
faktanya, setiap agama mengklaim diri sebagai “yang terbenar”, “yang terbaik”,
dan “yang ter-ter” lainnya. Itu memang sifat subjektifitas agama. Jadi masih
masuk akalkah pendapat yang menyatakan jika agama ialah sebagai sumber
kebenaran terabsolut? Argumen itu otomatis gugur jika melihat fakta
“Apa yang
menjadi kebenaran di agamaku belum tentu benar di agamamu.”
Bahkan
kejahatan universal seperti jangan “membunuh”, “berzinah”, “mencuri”, dsb bisa
menjadi kebenaran di kepercayaan tertentu. Tak percaya?
Islam
menghalalkan penghilangan nyawa sesama manusia jika dalam keadaan perang dan
daerahnya mendapat agresi dari pihak luar. Itu ada dalam konsep Jihad.
Benarkah? Tentu benar dalam ajaran Islam tapi ini bisa salah di dalam
sistematika agama lain yang mengharamkan pembunuhan dengan alasan apapun.
Puputan
di Bali pada masa penjajahan Belanda adalah sebutan bagi perang suci tanpa
senjata oleh umat Hindu, saat invasi kompeni ke wilayah mereka. Dengan santai,
pasukan Belanda menembaki mereka tanpa perlawanan. Ini jelas bunuh diri. Tapi
ini dibenarkan dalam agama Hindu.
Benarkah tindakan tersebut dalam ajaran lain?
Tentu
tidak. Islam, Kristen dan beberapa agama
besar lainnya tanpa tawar-tawar menempatkan orang-orang yang mati bunuh diri
dalam basuhan api neraka.
Zinah.
Dilarang dalam banyak agama di dunia. Namun dalam salah satu ritual agama yang
masih tetap eksis sampai sekarang, ada sebutan “Hieros Gamos” (pernah dibahas
di novel Da Vinci Codenya Dan Brown). Saya tak perlu ceritakan gimana jalan
ritualnya kan? :D. Intinya ritual ini meng”ehek-ehekkan” seorang pria dan
wanita sampai terjadilah...orga..sme, dan bagi beberapa ajaran, orgasme adalah
jalan menuju Tuhan.
Menjijikkan? Namun itulah kebenaran yang mereka percayai.
Jadi
seperti yang harus kita akui, agama bukanlah sumber kebenaran yang absolut jika
coba ditelaah secara objektif, walaupun itu berasal dari Yesus, Allah Ta’Ala,
Sidharta, ataupun Dewa Matahari Shinto.
Jadi,
dosenpun manusia. Dosenpun bi(a)sa salah. (pada akhir semester, saya dapat
nilai C dari mata kuliah Filsafat Ilmu T.T)
..Agama
memang diciptakan untuk membaikkan—seperti api—ia juga bisa memusnahkan.
Saya
percaya, saat manusia saling mengkafirkan sesama dalam konstelasi pluralisme, membenci manusia yang tak
beridentitas serupa dengannya, membunuh hanya karena berbeda, sebenarnya mereka
sedang mengoblok-gobloki Tuhannya sendiri.
Kenapa?
Karena
Tuhan menciptakan segalanya. Tuhan menciptakan perbedaan. Walau sampai sekarang
saya nggak ngerti kenapa Tuhan menciptakan kemajemukan dalam aspek agama....
tapi di lain sisi Dia juga malah menghukum mereka yang menyembah Tuhan yang A,
Tuhan yang B, Tuhan yang mana??, namun saya percaya ada alasan-alasan tertentu
yang Tuhan ingin deskripsikan pada manusia tentang itu semua. “Semua hal yang
ada di jagad raya punya penjelasannya sendiri” kata Einstein
Seperti
sinetron, hidup tak akan berwarna tanpa konflik, kita tak akan pernah
menghargai apa itu kebaikan seandainya kita tak pernah tahu apa itu kejahatan.
Yin dan Yang. Keseimbangan.
Bukan
Cuma hitam dan butih, tapi seperti pelangi, hidup itu warna-warni.
Mungkin
saja agama adalah hal yang paling banyak dikonsumsi dalam sejarah umat manusia.
Tapi berapa banyakkah umat beragama yang telah mengamalkan ajaran-ajaran
agamanya?
Seperti
kata seorang Kakak pembimbing saya dalam sebuah kegiatan rohani, “mungkin
jumlah penganut Kristen bermiliar-miliar jumlahnya di dunia, tapi yang sudah
benar-benar menjadikan esensi ajaran Kristen sebagai pegangan yang kuat dalam
hidupnya, mengaplikasikan perintah Tuhan dengan moralitas Kristus? Jumlahnya
mungkin hanya tak lebih dari 10% , atau mungkin kurang dari itu.”
Manusia
beragama sekalipun tetaplah punya potensi besar menjadi “homo homini lupus”. Spesies Homo
Sapiens bisa lebih kejam dari genus serigala atau jauh melewati kanibalisme
ular Cobra.
Intinya,
perbedaan adalah fakta. Namun menuntut terjadinya perdamaian global sama
seperti bermimpi tapi tak pernah bangun kembali. Itu tak akan pernah terjadi.
Namun
bukan berarti peradaban manusia harus menyerah pada disintegrasi yang
disebabkan oleh agama. Paling tidak jadilah salah satu manusia yang mengetahui
indahnya toleransi.
Kita
tak akan pernah mampu hidup seimbang tanpa adanya intervensi proses interaksi
dalam lingkup ke-Bhinekaan.
“Lakum
dinukum Waliadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku”, kata-kata bijak nabi besar
umat Islam, Muhammad SAW. Perintah jelas untuk menghormati segala perbedaan
keyakinan, sekonyol apapun itu. Karena sejak awal manusia memang tercipta
sebagai entitas unik yang bahkan setiap mikro bagian tubuhnya tidak ada yang
sama dengan yang lain. Apa lagi dalam aspek pola pikir.
“Kasihilah
sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri” Yesus berkata pada umat-umat-Nya.
“Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga
demikian kepada mereka” (Lukas 6:13)
Yup,
biarkanlah siapapun mencari kebenaran masing-masing untuk menuju jalan-Nya,
yang bukan berarti membuat kita melihat mereka sebagai manusia yang berkasta
beda dengan kita.
Silahkan
berdakwah atau silahkan bersaksi, tentang hebatnya Tuhanmu kepada siapa saja,
kalau dia mau mengakuinya, ya bagus, kalau menolak jangan putuskan sinergi.
Jangan
seperti di Aceh, saat seorang pendeta malah dipenjarakan karena membaptis
mereka yang ingin memeluk agama Kristen secara sukarela, jangan seperti di
India, saat para pendakwah Islam di bantai hanya karena menyebarkan berita baik
yang ia punya, atau di negara-negara oriental di masa lalu, saat missioanaris atau
mubalig dikejar-kejar hanya karena coba mengiklankan ajaran mereka.
Biarlah
saya dan dia berbeda Tuhan, bukan berarti jaring permusuhan ditebar sebagai
alasan perbedaan.
Manusia
adalah spesies yang paling dikasihi oleh Tuhan, setiap agama percaya itu
“..suatu
keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya melakukan hal yang sama
terhadap orang lain?” (Samyutta Nikkatya v. 353).
“Jangan
sakiti orang sebagaimana itu menyakitimu” (Udana-Varga)
-Buddha-
“Kau
tidak boleh berlaku kepada orang lain hal yang tidak kau sukai sendiri”
Mencius
Vii.A.4
“inilah
kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain sehingga menyakitimu
jika hal yang sama dilakukan padamu.”
Mahabharata 5:15:17
-Hindu-
“..cintailah
tetanggamu seperti kau mencintai diri
sendiri”
Leviticus
19:18
“Apa
yang kau benci, jangan perlakukan terhadap orang lain. Ini hukum (paling penting).”
Talmud Shabbat 31a.
“And
what you hate, do not do to any one” Tobbit 4:15
-Yahudi-
Tg.
Morawa, Rabu 22 Agustus 2012