Kamis, 10 April 2014

ETIKA DISKURSUS

Teori etika diskursus adalah model etika politik gagasan Jurgen Habermas yang menekankan vitalitas “komunikasi” dalam perumusan berbagai hal substanial dalam realitas sosial, mulai dari etika, norma hingga kebijakan pemerintah.
Teori ini adalah bentuk penolakan (sekaligus perluasan) terhadap konsep “imperatif kategoris” Immanuel Kant, di mana dalam “putusan keharusan moral praktis” segalanya hanya didasarkan pada aktifitas kontemplasi subjek yang monologal dan jika diimplementasikan secara luas akan rawan menumbuhkan benih-benih totaliterisme dan absolutisme.
Dari titik tolak itu, Habermas kemudian mengubah konsepsi perumusan etika praktis dari otonomi “subjek” menjadi aktifitas diskursif “intersubjek”. Intersubjek diartikan sebagai kondisi alami tindakan komunikasi di mana  komunikan dan komunikator memiliki kedua identitas tersebut dalam waktu yang bersamaan.
Ia adalah inisiator yang melalui tindakan-tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dalam menanggulangi situasi-situasi. Ia juga adalah produk tradisi-tradisi di dalamnya ia berada, dari kelompok-kelompok solider di mana ia menjadi anggota, dan dari proses-proses sosialisasi di dalamnya ia tumbuh.
Jadi inti dari teori etika diskursus adalah sifat rasional dari sebuah klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman timbal-balik dengan subyek-subyek lainnya:
“..setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap individu dapat di terima tanpa paksaan oleh semua orang yang bersangkutan dengan  norma itu.”

Etika diskursus dalam komunikasi politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek (intersubjektif) untuk mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian menciptakan sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan mengkritisi segala opsi kepentingan yang dibawa masing-masing subjek, sehingga “prinsip universalisasi” yang Habermas istilahkan sebagai ‘pisau’ yang kemudian akan membelah bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana yang tetap dibiarkan sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan pola komunikasi politik neo-liberal yang cenderung mengekskulisifkan individu, Habermas mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kepartikularan dan hal yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni terkait dengan “sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan dengan sejarah kehidupan individu”, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau diskriminatif.
Sebagai contoh, Habermas menjadikan ‘keadilan’ sebagai hal yang dituju oleh semua orang, apa pun latar belakang bangsa, agama atau sukunya, keadilan tidaklah berbicara soal kerelatifan terhadap konteks komunitas tertentu, melainkan pengeneralisasian yang telah dimafhumkan oleh seluruh manusia waras.
Sedangkan soal “hidup yang baik” atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas atau agama tertentu yang menafsirkan ‘jalan keselamatan’ atau gaya hidup menurut caranya sendiri jelas bersifat relatif sehingga akan sangat mengkhawatirkan jika tendensi kepentingan tersebut dibawa keranah kebijakan publik yang sangat heterogen secara identitas primordial.
Lebih lanjut, Habermas menggagas sebuah proses demokrasi yang deliberatif, di mana model demokrasi deliberatif  tersebut mampu menyediakan “ruang publik politis” yang disebut Habermas sebagai “..tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung.”
Ruang publik itu memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, jadi bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan dengan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah ‘ruang publik’ (atau Őffentlichkeit, dalam bahasa Jerman) berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang itu sendiri. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan dengan ciri-ciri etika diskursus yang telah saya bahas di atas.
Ruang publik dapat dijadikan momentum masyarakat untuk menentukan dirinya sendiri di saat lembaga formal yang seharusnya befungsi untuk menyalurkan aspirasi publik mengalami kesulitan bahkan tak jarang melahirkan disfungsi yang jelas adalah realitas ironical bagi negara-negara yang mengaku dirinya demokratis, termasuk tentunya Indonesia.
Dapat disimpulkan, persyaratan untuk sebuah ruang publik yang berfungsi secara politis adalah ciri otonomnya dari kekuasaan administratif negara dan dari kepentingan-kepentingan pasar kapitalis. Ruang publik yang dikooptasi (diatur atau dikontaminasi) kekuasaan, adalah ruang publik yang berorientasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang telah terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi kapital individualis dan kebijakan sepihak. Seperti institusi-institusi sosial lainnya, ruang publik juga dapat dialienasikan, diduduki, atau dipakai oleh kekuatan-kekuatan asing yang membawa berbagai pola partikular.