Teori etika diskursus adalah model etika politik gagasan Jurgen Habermas
yang menekankan vitalitas “komunikasi” dalam perumusan berbagai hal substanial
dalam realitas sosial, mulai dari etika, norma hingga kebijakan pemerintah.
Teori ini adalah bentuk penolakan (sekaligus perluasan) terhadap konsep
“imperatif kategoris” Immanuel Kant, di mana dalam “putusan keharusan moral
praktis” segalanya hanya didasarkan pada aktifitas kontemplasi subjek yang
monologal dan jika diimplementasikan secara luas akan rawan menumbuhkan
benih-benih totaliterisme dan absolutisme.
Dari titik tolak itu, Habermas kemudian mengubah konsepsi perumusan etika
praktis dari otonomi “subjek” menjadi aktifitas diskursif “intersubjek”.
Intersubjek diartikan sebagai kondisi alami tindakan komunikasi di mana komunikan dan komunikator memiliki kedua
identitas tersebut dalam waktu yang bersamaan.
Ia adalah
inisiator yang melalui tindakan-tindakan yang harus dipertanggungjawabkan dalam
menanggulangi situasi-situasi. Ia juga adalah produk tradisi-tradisi di
dalamnya ia berada, dari kelompok-kelompok solider di mana ia menjadi anggota,
dan dari proses-proses sosialisasi di dalamnya ia tumbuh.
Jadi inti dari teori etika diskursus adalah sifat rasional dari sebuah
klaim rasio hanya dapat dicapai secara komunikatif, yaitu melalui pemahaman
timbal-balik dengan subyek-subyek lainnya:
“..setiap norma yang sahih harus memenuhi
prasyarat bahwa efek-efek dan efek-efek samping yang barangkali terjadi karena
kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap individu dapat di terima
tanpa paksaan oleh semua orang yang bersangkutan dengan norma itu.”
Etika diskursus dalam komunikasi
politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek (intersubjektif) untuk
mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian menciptakan
sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan
Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan
mengkritisi segala opsi kepentingan yang dibawa masing-masing subjek, sehingga
“prinsip universalisasi” yang Habermas istilahkan sebagai ‘pisau’ yang kemudian
akan membelah bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana
yang tetap dibiarkan sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan
pola komunikasi politik neo-liberal yang cenderung mengekskulisifkan individu,
Habermas mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kepartikularan dan hal
yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni terkait dengan “sebuah
bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan dengan
sejarah kehidupan individu”, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau
diskriminatif.
Sebagai contoh, Habermas menjadikan ‘keadilan’ sebagai hal yang dituju
oleh semua orang, apa pun latar belakang bangsa, agama atau sukunya, keadilan
tidaklah berbicara soal kerelatifan terhadap konteks komunitas tertentu,
melainkan pengeneralisasian yang telah dimafhumkan oleh seluruh manusia waras.
Sedangkan soal
“hidup yang baik” atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas atau agama
tertentu yang menafsirkan ‘jalan keselamatan’ atau gaya hidup menurut caranya
sendiri jelas bersifat relatif sehingga akan sangat mengkhawatirkan jika
tendensi kepentingan tersebut dibawa keranah kebijakan publik yang sangat
heterogen secara identitas primordial.
Lebih lanjut,
Habermas menggagas sebuah proses demokrasi yang deliberatif, di mana model
demokrasi deliberatif tersebut mampu
menyediakan “ruang publik politis” yang disebut Habermas sebagai “..tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi
komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah
publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung.”
Ruang publik itu
memungkinkan warga negara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik
itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara untuk
menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi
komunikasi, jadi bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan
tertentu dan dengan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang
sudah dapat mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah ‘ruang
publik’ (atau Őffentlichkeit, dalam
bahasa Jerman) berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” dan mengacu
pada ciri terbuka dan inklusif ruang itu sendiri. Karakteristik ruang publik
politis ini dapat dihubungkan dengan ciri-ciri etika diskursus yang telah saya
bahas di atas.
Ruang publik dapat dijadikan momentum masyarakat untuk menentukan dirinya
sendiri di saat lembaga formal yang seharusnya befungsi untuk menyalurkan
aspirasi publik mengalami kesulitan bahkan tak jarang melahirkan disfungsi yang
jelas adalah realitas ironical bagi
negara-negara yang mengaku dirinya demokratis, termasuk tentunya Indonesia.
Dapat disimpulkan, persyaratan
untuk sebuah ruang publik yang berfungsi secara politis adalah ciri otonomnya
dari kekuasaan administratif negara dan dari kepentingan-kepentingan pasar kapitalis.
Ruang publik yang dikooptasi (diatur atau dikontaminasi) kekuasaan, adalah
ruang publik yang berorientasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang telah
terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi kapital individualis dan
kebijakan sepihak. Seperti institusi-institusi sosial lainnya, ruang publik
juga dapat dialienasikan, diduduki, atau dipakai oleh kekuatan-kekuatan asing
yang membawa berbagai pola partikular.