Gramsci
pernah menyebut, dunia ini adalah kumpulan realitas yang diciptakan oleh
sebagian orang. Apa yang menjadi arah dan jalan yang kita langkahi adalah
utak-atik manusia terpilih yang punya kuasa untuk menjadikan manusia lainnya
sebagai boneka. Bukan dengan kekerasan, malah manusia menyerahkan diri dengan
pasrah untuk dikendalikan, untuk dijadikan budak dan pijakan kaki para
‘tuhan-tuhan’ yang tak tampak.
Jauh
sebelum pria Italia itu bercerita soal hegemoni, panutannya Karl Marx, sudah
lebih dulu memaki relasi ‘tuan dan budak’ yang mengakar dalam kapitalisme. Para
pemilik modal terduduk nikmat dengan perutnya yang hampir meletus karena
kenyang menghisap nilai lebih dari kaum proletar yang bekerja, digaji dan
bertahan hidup hanya untuk berulang kali tersungkur diperalat. Siklus lingkaran
setan yang jadi kutukan untuk manusia tak bermodal yang dilemparkan hidup ke
dunia ini.
Di
lain suara, Nietzsche malah menganggap, dunia dikendalikan oleh manusia-manusia
lemah. Manusia yang iri kepada mereka yang terlahir kuat, yang terlahir cerdas,
yang terlahir dengan harta tak berbatas. Manusia-manusia lemah itu awalnya
memuja kekuatan, kecerdasan dan harta. Namun gerombolan orang-orang lemah, tak
berbakat, miskin dalam stamina, energi, vitalitas, semangat, dan tidak menarik
secara seksual itu kemudian diracuni dendam dan membalikkan patokan moral yang
selama ini mereka pegang. Keunggulan manusia yang dulu mereka sembah kemudian
diubah sebagai sebuah kejahatan dan tindakan amoral. Sedangkan kelemahan yang
menempeli tubuh mereka malah ditampilkan sebagai penyerahan diri pada alam,
penghormatan pada Tuhan, dan dijadikan nilai luhur yang mesti diikuti seluruh
umat manusia. Menurut Nietzsche, asketisme sukses dijadikan para manusia lemah
sebagai samaran untuk berdamai dengan ketidakmampuan mereka menjadi spesies
unggul!
Gramsci,
Marx, Nietzsche, dan para “penonton” lain dari masa lalu, melihat dunia dan
umat manusia sebagai entitas yang menjijikkan dan pantas dimaki. “Orang lain
adalah neraka bagiku”, kata Sartre suatu ketika. Setiap orang berusaha
menaklukkan manusia lain dengan berbagai cara. Bahkan modernitas tidak
melenyapkan naluri biadab manusia untuk saling menguasai, untuk saling
mengendalikan. Kemajuan zaman hanya mengubah teknik penindasan jadi semakin
canggih, semakin halus, semakin mudah ditelan.
Lalu,
Masashi Kishimoto kemudian melihat itu sebagai peluang untuk menjual karya. Ia
menjadikan kebobrokan moral manusia sebagai tema anime yang menangguk untung besar
di pasaran animasi dunia.
Naruto,
tokoh yang tentu mustahil kalah karena namanya dijadikan judul, berjuang
melawan musuh-musuh berkemampuan unik yang di akhirnya harus menyerah takluk.
Pertempuran ideologi “perdamaian dunia” yang dibungkus dalam kisah kehidupan
para ninja di negara-negara fiktif itu sudah mendekati episode akhir ketika
Naruto dan kelompok ninja “baik hati” dihadapkan pada kelompok ninja “jahat”
yang ingin mengubah bumi.
Inilah
yang menjadikan kisah Naruto tak sesederhana kartun untuk bayi. Dikotomi antara
good dan evil
ternyata disatukan dalam satu tujuan yang serupa: menciptakan perdamaian di
bumi yang semakin rusak akibat perang berkepanjangan.
Jika
Naruto dkk berniat menciptakan perdamain dengan cara romantis, tanpa kekerasan
dan cenderung utopis, maka Madara melihat segalanya dari kutub kontras. Dunia
yang telah kecanduan cakra dari pohon Jubii membuat Madara memiliki impian
untuk mengakhiri segalanya dengan cara radikal. Perang, penindasan dan
kesemena-menaan yang diakibatkan ulah manusia mestilah segera ditulis halaman
terakhirnya.
Diakhiri
dan disegel hingga abadi.
Rencana
“mata bulan” adalah satu-satunya cara untuk mencapai itu. “Mugen tsyukomi” akan menyatukan seluruh umat manusia dalam mimpi
indah yang tak punya akhir. Jalan lurus yang mengevolusi harapan spekulatif
menjadi sebuah kepastian.
Tidak
ada lagi perang, rasa sakit dan kematian. Yang ada cuma mimpi panjang tanpa ending. Mimpi yang akhirnya
memperkenalkan kepada umat manusia apa yang disebut sebagai “sempurna”.
Sungguh ironis. Uzumaki Naruto, sang tokoh
protagonis, malah memperjuangkan idealisme yang terlalu kekanak-kanakan. Sebuah
kenaifan yang konyol jika ingin manantikan adanya masa ketika seluruh manusia
bisa saling mengerti satu sama lain.
Empati
hanya bisa tercipta ketika seseorang sudah merasakan langsung apa yang orang
lain rasakan. Sungguh kurang ajar jika kau dengan mudahnya meminta orang lain
bertahan dari rasa sakit ketika kau tak tahu apa-apa tentang rasa sakit. Alami
sendiri rasa sakit itu, barulah kau bisa kembali dan berbicara tentang “bertahan
dari rasa sakit”! Tanpa tahu rasanya, tanpa mengalami secara langsung, ucapan
yang dengan mudah keluar dari mulut seseorang hanyalah onggokan sampah tak
pantas.
Mungkin
anime “Naruto” jadi satu dari segelintir anime yang menempatkan pihak antagonis
sebagai pengusung realitas di saat tokoh pembela kebenaran malah berjuang untuk
akhir yang utopia.
Terlepas
dari ucapan tak bermoral yang keluar dari mulut Madara—yang tentu menjadi
kendali Masashi Kishimoto sebagai ‘tuhan’—inti dari tujuan Madara adalah cara
yang lebih masuk akal dibanding mengharapkan empati naif yang tak juga tercipta
sejak masa panjang kaki-kaki manusia menjejak di tanah bumi.
Uchiha
Madara dan rencananya untuk menidurkan umat manusia dalam mimpi indah abadi
adalah kebenaran yang patut dibela jika seandainya hal tersebut ada.
Bukankah
tujuan umat manusia—mengutip ucapan Mill—adalah berusaha mendapat kenikmatan
sebanyak mungkin dan meminimalisir rasa sakit?
Kenikmatan
abadi adalah tujuan tertinggi umat manusia bahkan jika itu dibangun dengan
landasan kepalsuan. Karena toh, realitas yang sekarang disadari umat manusia
pun dirakit dari banyak kepalsuan dan kesemuan yang jahat.
Dunia
ini adalah panggung pertarungan yang lantainya sudah diceceri genangan darah.
Tak perlu menanti darah itu mengering, karena hanya sesaat, darah baru akan
kembali terkucur deras.
Satu-satunya
cara untuk menciptakan perdamaian abadi di bumi adalah menghancurkannya sampai
tak ada lagi bekas yang disisakan manusia. Mereka yang beragama perlu menanti
kembali terulangnya kisah Nabi Nuh dan bahteranya yang berlayar di atas mayat
pendosa yang tercekik air bah murka Tuhan.
Karena
sejak ribuan tahun yang lalu, ucapan Plato tetap saja akan menjadi kebenaran:
“hanya orang mati yang sudah melihat perang di dunia ini berakhir”.