Jumat, 28 Agustus 2015

Membela Madara dan “Mugen Tsyukomi”


Gramsci pernah menyebut, dunia ini adalah kumpulan realitas yang diciptakan oleh sebagian orang. Apa yang menjadi arah dan jalan yang kita langkahi adalah utak-atik manusia terpilih yang punya kuasa untuk menjadikan manusia lainnya sebagai boneka. Bukan dengan kekerasan, malah manusia menyerahkan diri dengan pasrah untuk dikendalikan, untuk dijadikan budak dan pijakan kaki para ‘tuhan-tuhan’ yang tak tampak.

Jauh sebelum pria Italia itu bercerita soal hegemoni, panutannya Karl Marx, sudah lebih dulu memaki relasi ‘tuan dan budak’ yang mengakar dalam kapitalisme. Para pemilik modal terduduk nikmat dengan perutnya yang hampir meletus karena kenyang menghisap nilai lebih dari kaum proletar yang bekerja, digaji dan bertahan hidup hanya untuk berulang kali tersungkur diperalat. Siklus lingkaran setan yang jadi kutukan untuk manusia tak bermodal yang dilemparkan hidup ke dunia ini.

Di lain suara, Nietzsche malah menganggap, dunia dikendalikan oleh manusia-manusia lemah. Manusia yang iri kepada mereka yang terlahir kuat, yang terlahir cerdas, yang terlahir dengan harta tak berbatas. Manusia-manusia lemah itu awalnya memuja kekuatan, kecerdasan dan harta. Namun gerombolan orang-orang lemah, tak berbakat, miskin dalam stamina, energi, vitalitas, semangat, dan tidak menarik secara seksual itu kemudian diracuni dendam dan membalikkan patokan moral yang selama ini mereka pegang. Keunggulan manusia yang dulu mereka sembah kemudian diubah sebagai sebuah kejahatan dan tindakan amoral. Sedangkan kelemahan yang menempeli tubuh mereka malah ditampilkan sebagai penyerahan diri pada alam, penghormatan pada Tuhan, dan dijadikan nilai luhur yang mesti diikuti seluruh umat manusia. Menurut Nietzsche, asketisme sukses dijadikan para manusia lemah sebagai samaran untuk berdamai dengan ketidakmampuan mereka menjadi spesies unggul!

Gramsci, Marx, Nietzsche, dan para “penonton” lain dari masa lalu, melihat dunia dan umat manusia sebagai entitas yang menjijikkan dan pantas dimaki. “Orang lain adalah neraka bagiku”, kata Sartre suatu ketika. Setiap orang berusaha menaklukkan manusia lain dengan berbagai cara. Bahkan modernitas tidak melenyapkan naluri biadab manusia untuk saling menguasai, untuk saling mengendalikan. Kemajuan zaman hanya mengubah teknik penindasan jadi semakin canggih, semakin halus, semakin mudah ditelan.

Lalu, Masashi Kishimoto kemudian melihat itu sebagai peluang untuk menjual karya. Ia menjadikan kebobrokan moral manusia sebagai tema anime yang menangguk untung besar di pasaran animasi dunia.

Naruto, tokoh yang tentu mustahil kalah karena namanya dijadikan judul, berjuang melawan musuh-musuh berkemampuan unik yang di akhirnya harus menyerah takluk. Pertempuran ideologi “perdamaian dunia” yang dibungkus dalam kisah kehidupan para ninja di negara-negara fiktif itu sudah mendekati episode akhir ketika Naruto dan kelompok ninja “baik hati” dihadapkan pada kelompok ninja “jahat” yang ingin mengubah bumi.

Inilah yang menjadikan kisah Naruto tak sesederhana kartun untuk bayi. Dikotomi antara good  dan evil ternyata disatukan dalam satu tujuan yang serupa: menciptakan perdamaian di bumi yang semakin rusak akibat perang berkepanjangan.

Jika Naruto dkk berniat menciptakan perdamain dengan cara romantis, tanpa kekerasan dan cenderung utopis, maka Madara melihat segalanya dari kutub kontras. Dunia yang telah kecanduan cakra dari pohon Jubii membuat Madara memiliki impian untuk mengakhiri segalanya dengan cara radikal. Perang, penindasan dan kesemena-menaan yang diakibatkan ulah manusia mestilah segera ditulis halaman terakhirnya.

Diakhiri dan disegel hingga abadi.

Rencana “mata bulan” adalah satu-satunya cara untuk mencapai itu. “Mugen tsyukomi” akan menyatukan seluruh umat manusia dalam mimpi indah yang tak punya akhir. Jalan lurus yang mengevolusi harapan spekulatif menjadi sebuah kepastian.

Tidak ada lagi perang, rasa sakit dan kematian. Yang ada cuma mimpi panjang tanpa ending. Mimpi yang akhirnya memperkenalkan kepada umat manusia apa yang disebut sebagai “sempurna”.

Sungguh  ironis. Uzumaki Naruto, sang tokoh protagonis, malah memperjuangkan idealisme yang terlalu kekanak-kanakan. Sebuah kenaifan yang konyol jika ingin manantikan adanya masa ketika seluruh manusia bisa saling mengerti satu sama lain.

Empati hanya bisa tercipta ketika seseorang sudah merasakan langsung apa yang orang lain rasakan. Sungguh kurang ajar jika kau dengan mudahnya meminta orang lain bertahan dari rasa sakit ketika kau tak tahu apa-apa tentang rasa sakit. Alami sendiri rasa sakit itu, barulah kau bisa kembali dan berbicara tentang “bertahan dari rasa sakit”! Tanpa tahu rasanya, tanpa mengalami secara langsung, ucapan yang dengan mudah keluar dari mulut seseorang hanyalah onggokan sampah tak pantas.

Mungkin anime “Naruto” jadi satu dari segelintir anime yang menempatkan pihak antagonis sebagai pengusung realitas di saat tokoh pembela kebenaran malah berjuang untuk akhir yang utopia.
Terlepas dari ucapan tak bermoral yang keluar dari mulut Madara—yang tentu menjadi kendali Masashi Kishimoto sebagai ‘tuhan’—inti dari tujuan Madara adalah cara yang lebih masuk akal dibanding mengharapkan empati naif yang tak juga tercipta sejak masa panjang kaki-kaki manusia menjejak di tanah bumi.

Uchiha Madara dan rencananya untuk menidurkan umat manusia dalam mimpi indah abadi adalah kebenaran yang patut dibela jika seandainya hal tersebut ada.
Bukankah tujuan umat manusia—mengutip ucapan Mill—adalah berusaha mendapat kenikmatan sebanyak mungkin dan meminimalisir rasa sakit?

Kenikmatan abadi adalah tujuan tertinggi umat manusia bahkan jika itu dibangun dengan landasan kepalsuan. Karena toh, realitas yang sekarang disadari umat manusia pun dirakit dari banyak kepalsuan dan kesemuan yang jahat.

Dunia ini adalah panggung pertarungan yang lantainya sudah diceceri genangan darah. Tak perlu menanti darah itu mengering, karena hanya sesaat, darah baru akan kembali terkucur deras.

Satu-satunya cara untuk menciptakan perdamaian abadi di bumi adalah menghancurkannya sampai tak ada lagi bekas yang disisakan manusia. Mereka yang beragama perlu menanti kembali terulangnya kisah Nabi Nuh dan bahteranya yang berlayar di atas mayat pendosa yang tercekik air bah murka Tuhan.

Karena sejak ribuan tahun yang lalu, ucapan Plato tetap saja akan menjadi kebenaran: “hanya orang mati yang sudah melihat perang di dunia ini berakhir”.