Manusia berawal
dari sebuah pertanyaan.
Coba saja lihat
para bayi. Mata mereka seperti membinarkan rasa penasaran, heran akan setiap
objek yang untuk pertama kali membanjiri seluruh panca inderanya. Layaknya
mangkuk, bayi-bayi adalah wadah kosong yang akan muat diisi banyak air. Mereka menyentuh
semua, mengunyah benda apa saja, menangisi banyak hal dan menertawakan sesuatu
yang tak lucu bagi manusia dewasa.
Itulah bentuk
paling primitif perjalanan mencari jawaban.
Setelah mulut
mereka mulai terbiasa merangkai kata dan kalimat, saat sepasang kakinya cukup
kuat menopang tubuh untuk berjalan, para manusia baru itu pun semakin punya
banyak cara untuk mencari jawab dari kumpulan tanya tak terhingga yang
mendenyut kepalanya.
Lalu dengan
penuh pengertian, para manusia dewasa memperkenalkan dunia baru bagi bayi-bayi.
Seperti seorang tour guide, manusia
dewasa menjadi pemandu yang menjelaskan setiap detail remeh untuk dipahami
sekumpulan wisatawan berwajah penuh liur yang sering buang air di celana. Satu
persatu benda asing di sekeliling mereka mulai punya nama, rasa dan bentuk yang berbeda—perkenalan yang tanpa
perlu jabat tangan.
Manusia dewasa
pun menjadi sumber satu-satunya jawaban bagi bayi-bayi untuk pertanyaan soal
pasir, awan, tentang hujan dan kumbang, yang diucapkan berulang-ulang.
Bayi-bayi adalah
“hewan yang bertanya”. Mereka seperti tak punya batas rasa penasaran tentang dunia. Jika tak ada manusia dewasa yang bersedia memberi jawab, mereka akan
nekat melangkahkan kaki mencari jawabannya sendiri. Terkadang keinginan obsesif
para bayi untuk menyingkap rahasia dunia ini bisa menghasilkan tangis, luka, dan
bahkan kematian yang tragis.
Ah, hanya para
bayi yang mau menukar nyawa untuk sebuah jawaban!
Setelah dunia
tak lagi menjadi tempat yang terlalu asing bagi para bayi yang mulai beranjak
tumbuh ini, pertanyaan yang mereka buat pun semakin spesifik, semakin kompleks
dan rumit. Para bayi ini mulai menanyakan dari mana asal kemunculan mereka,
proses terbentuknya dunia, dan mereka pun penasaran mengenai sosok tak tampak
yang setiap hari dipuja-puji manusia, bernama “Tuhan”.
Sang tour guide semakin kewalahan mencari
jawab yang diminta para turisnya. Untuk menghadapi ini, para bayi pun
dimasukkan ke dalam wadah baru pencipta jawaban yang manusia dewasa sebut sebagai "sekolah".
Di sana, mereka
mulai mengenal bentuk lain dari dunia. Tentang warna, angka, abjad dan ragam
fakta yang mungkin tak pernah mereka tanyakan sebelumnya.
Para bayi tidak
lagi menjadi sumber bagi pertanyaan mereka sendiri. Kini, mereka disediakan
kumpulan pertanyaan baru yang harus mereka jawab sendiri.
Para bayi diubah
oleh dunia yang awalnya ingin mereka singkap. Bermacam pertanyaan dari rasa
penasaran (dan pertanyaan yang sebenarnya tak ingin mereka tanyakan), mengisi
mangkuk yang kini mulai penuh. Ternyata, dunia yang pada mulanya mendenyut rasa
heran tidaklah sesederhana tentang pasir, awan, tentang hujan atau kumbang.
Mereka juga harus mengetahui jawaban dari soal-soal aritmatika, planet-planet
yang mengisi tata surya, atau nama Ibukota Austria.
Bayi-bayi
berwajah penuh liur, yang dulu suka menghisap tangannya sendiri, lalu ditempa
dunia untuk siap menjadi orang dewasa.. menjadi seorang ‘tour guide’ baru.
Kemudian, mata
mereka tidak akan pernah terlihat sama lagi. Binar penasaran dan keheranan yang
memancar mulai pudar pelan-pelan. Dunia menjadi sebuah ruang rutinitas yang
gampang tertebak. Sepertinya, semua pertanyaan sudah punya jawabannya
masing-masing.
Sebuah siklus
yang berulang, ketika pada awalnya hembus angin dan semut yang merayap begitu terlihat
mengherankan, kini pertanyaan yang disisakan oleh dunia semakin menipis, sempit
dan membosankan.
Ironi. Sebagai tour guide bagi para bayi-bayi, manusia dewasa
tak lebih dari sekadar onggokan jawaban yang justru tak memiliki pertanyaan
untuk dirinya sendiri. Bukan rasa malu untuk bertanya yang jadikan mereka
tersesat, seperti kata pepatah. Tapi waktu dan keterbiasaan.
Justru para
bayi-bayilah yang masih menyimpan perasaan tersesat yang lalu membimbing mereka
untuk terus bertanya, terus merasa heran dan melihat dunia sebagai tempat asing
yang membingungkan, yang tanahnya layak dijejaki dengan risiko untuk mencari
jawaban yang pas.
Seharusnya, para
manusia dewasa melihat kembali ke kedalaman mata bingung para bayi. Melahirkan kembali
rasa penasaran yang ikut menua bersama usia. Mendenyutkan lagi keingintahuan
akan rahasia hidup yang sempat dihapus oleh rutinitas. Pertanyaan-pertanyaan
mendesak; tentang tujuan hidup seorang manusia, tentang masa depan, tentang
Tuhan, cinta dan kematian.
“..karena aku
tersesat, maka aku bertanya”.
Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI
Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI