Sabtu, 23 Januari 2016

Terbiasa, Tersesat

Manusia berawal dari sebuah pertanyaan.

Coba saja lihat para bayi. Mata mereka seperti membinarkan rasa penasaran, heran akan setiap objek yang untuk pertama kali membanjiri seluruh panca inderanya. Layaknya mangkuk, bayi-bayi adalah wadah kosong yang akan muat diisi banyak air. Mereka menyentuh semua, mengunyah benda apa saja, menangisi banyak hal dan menertawakan sesuatu yang tak lucu bagi manusia dewasa.

Itulah bentuk paling primitif perjalanan mencari jawaban.

Setelah mulut mereka mulai terbiasa merangkai kata dan kalimat, saat sepasang kakinya cukup kuat menopang tubuh untuk berjalan, para manusia baru itu pun semakin punya banyak cara untuk mencari jawab dari kumpulan tanya tak terhingga yang mendenyut kepalanya.

Lalu dengan penuh pengertian, para manusia dewasa memperkenalkan dunia baru bagi bayi-bayi. Seperti seorang tour guide, manusia dewasa menjadi pemandu yang menjelaskan setiap detail remeh untuk dipahami sekumpulan wisatawan berwajah penuh liur yang sering buang air di celana. Satu persatu benda asing di sekeliling mereka mulai punya nama, rasa dan bentuk yang berbeda—perkenalan yang tanpa perlu jabat tangan.

Manusia dewasa pun menjadi sumber satu-satunya jawaban bagi bayi-bayi untuk pertanyaan soal pasir, awan, tentang hujan dan kumbang, yang diucapkan berulang-ulang.
Bayi-bayi adalah “hewan yang bertanya”. Mereka seperti tak punya batas rasa penasaran tentang dunia. Jika tak ada manusia dewasa yang bersedia memberi jawab, mereka akan nekat melangkahkan kaki mencari jawabannya sendiri. Terkadang keinginan obsesif para bayi untuk menyingkap rahasia dunia ini bisa menghasilkan tangis, luka, dan bahkan kematian yang tragis.

Ah, hanya para bayi yang mau menukar nyawa untuk sebuah jawaban!

Setelah dunia tak lagi menjadi tempat yang terlalu asing bagi para bayi yang mulai beranjak tumbuh ini, pertanyaan yang mereka buat pun semakin spesifik, semakin kompleks dan rumit. Para bayi ini mulai menanyakan dari mana asal kemunculan mereka, proses terbentuknya dunia, dan mereka pun penasaran mengenai sosok tak tampak yang setiap hari dipuja-puji manusia, bernama “Tuhan”.

Sang tour guide semakin kewalahan mencari jawab yang diminta para turisnya. Untuk menghadapi ini, para bayi pun dimasukkan ke dalam wadah baru pencipta jawaban yang manusia dewasa sebut sebagai "sekolah".

Di sana, mereka mulai mengenal bentuk lain dari dunia. Tentang warna, angka, abjad dan ragam fakta yang mungkin tak pernah mereka tanyakan sebelumnya.

Para bayi tidak lagi menjadi sumber bagi pertanyaan mereka sendiri. Kini, mereka disediakan kumpulan pertanyaan baru yang harus mereka jawab sendiri.

Para bayi diubah oleh dunia yang awalnya ingin mereka singkap. Bermacam pertanyaan dari rasa penasaran (dan pertanyaan yang sebenarnya tak ingin mereka tanyakan), mengisi mangkuk yang kini mulai penuh. Ternyata, dunia yang pada mulanya mendenyut rasa heran tidaklah sesederhana tentang pasir, awan, tentang hujan atau kumbang. Mereka juga harus mengetahui jawaban dari soal-soal aritmatika, planet-planet yang mengisi tata surya, atau nama Ibukota Austria.

Bayi-bayi berwajah penuh liur, yang dulu suka menghisap tangannya sendiri, lalu ditempa dunia untuk siap menjadi orang dewasa.. menjadi seorang ‘tour guide’ baru.

Kemudian, mata mereka tidak akan pernah terlihat sama lagi. Binar penasaran dan keheranan yang memancar mulai pudar pelan-pelan. Dunia menjadi sebuah ruang rutinitas yang gampang tertebak. Sepertinya, semua pertanyaan sudah punya jawabannya masing-masing.

Sebuah siklus yang berulang, ketika pada awalnya hembus angin dan semut yang merayap begitu terlihat mengherankan, kini pertanyaan yang disisakan oleh dunia semakin menipis, sempit dan membosankan.

Ironi. Sebagai tour guide bagi para bayi-bayi, manusia dewasa tak lebih dari sekadar onggokan jawaban yang justru tak memiliki pertanyaan untuk dirinya sendiri. Bukan rasa malu untuk bertanya yang jadikan mereka tersesat, seperti kata pepatah. Tapi waktu dan keterbiasaan.

Justru para bayi-bayilah yang masih menyimpan perasaan tersesat yang lalu membimbing mereka untuk terus bertanya, terus merasa heran dan melihat dunia sebagai tempat asing yang membingungkan, yang tanahnya layak dijejaki dengan risiko untuk mencari jawaban yang pas.

Seharusnya, para manusia dewasa melihat kembali ke kedalaman mata bingung para bayi. Melahirkan kembali rasa penasaran yang ikut menua bersama usia. Mendenyutkan lagi keingintahuan akan rahasia hidup yang sempat dihapus oleh rutinitas. Pertanyaan-pertanyaan mendesak; tentang tujuan hidup seorang manusia, tentang masa depan, tentang Tuhan,  cinta dan  kematian.


“..karena aku tersesat, maka aku bertanya”.


Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI