Jumat, 30 Oktober 2020

Harap

Mungkin banyak di antara kita yang berharap, pada satu ketika dalam hidup yang singkat ini, terjadi sesuatu, entah kejadian megah atau.. cukup kilas singkat yang luar biasa, yang bisa mengubah secara besar-besaran, merombak banyak hal, meruntuhkan apa yang selama ini kita anggap mustahil berganti.

Sempat aku termasuk orang yang macam itu. Aku pernah menanti itu.

Di hari-hari tertentu, ketika rutinitas ada di titiknya yang paling menjenuhkan (bayangkan gelas yang isinya nyaris penuh dan sebentar lagi tumpah), rasa penantian itu kadang-kadang muncul. Aku menanti, berharap, kadang malah diikuti dengan semacam doa, agar sesuatu terjadi dan segalanya berganti.

Tapi kau tahu, untuk sebagian orang hal-hal semacam ini tidak akan terjadi.

Aku telah lama berdamai dengan diri sendiri jika aku akan berakhir dalam sebuah siklus hidup yang stabil dan terprediksi.

Aku tak kecewa jika pada akhirnya akan berakhir semacam itu seterusnya. Walau tetap saja, sesekali aku butuh berharap. Bukan karena ingin harapan itu terpenuhi, lebih karena kebiasaan. Sama seperti pensiunan yang pada suatu pagi terbangun dan bergegas persiapkan diri untuk pergi bekerja, hingga sampai di depan pagar dia baru tersadar, masanya sudah berakhir.

Sama denganku, yang bisa digolongkan sebagai "orang yang sudah pensiun berharap".

Iya, aku sudah menahan diri untuk tidak banyak-banyak memprediksi apapun di masa depan. Aku membaca Seneca, Aurelius, atau orang-orang Stoic yang zaman dulu berhasil menerima hidup apa adanya.

Tak selalu berhasil, memang.

Mungkin di dalam gen atau naluri manusia, aktivitas "berharap" sudah melekat dan tertanam di sana. Aku tak mungkin menang melawan sesuatu yang sama tuanya seperti rasa takut atau keinginan untuk terikat dengan orang lain atau yang semacamnya. Aku, seperti yang kubilang sebelumnya, hanya berusaha menahan diri.