Malam menjauh larut. Mataku masih membuka terjaga. Lelah dan kantuk seperti ragu muncul, tampak sungkan mengijinkanku merakit kalimat-kalimat yang mengusut di ingatan.
Saat-saat
seperti ini, waktu yang berjalan seperti sebuah kesempatan untuk mengurai
rentang kenangan. Kesempatan untuk menjaga kilas terlewat agar tetap melekat,
terawat. Karena pada akhirnya, yang tersisa dari kita adalah kenangan. Kita
adalah sebungkus kulit dan tulang yang menjejakkan langkah untuk mengutip
ingatan. Kita adalah sejarah yang tertunda. Masa depan hanyalah ketiadaan yang
menggoda. Tipuan prediksi.
Oh, demi Tuhan,
perasaan kecil itu begitu menganggu. Perasaan yang menguar ketika menatap
langit, dengan tebar bintang yang melebar ke segala, dan aku hanyalah noktah
yang tak dianggap oleh semesta.
Aku ingin
diingat, ingin dikenang, seperti nyala lampu minyak malam yang tetap
betul-betul dijaga agar terhindar padam. Namun sampai kapan? Di mana batas
wujudku bertahan mengada dalam pikiran orang-orang? Karena bagian yang tampak
lebih menyakitkan dari mati hanyalah memudar terlupakan.
Jangan biarkan
aku lenyap, tetaplah jadikan aku sebuah ingatan yang membekas, walau hanya
sewujud noktah, kilas yang sesaat saja menyapa. Kenanglah aku sebagai sesuatu,
yang pernah punya cerita dan sejarah. Karena hanya dengan itu saja, kematian
tidak lagi tampak sebagai tuntas.
(6-5-2018)