Password untuk unlock file ebooknya adalahhh....:
juliantika
Senin, 24 Juni 2013
Minggu, 09 Juni 2013
DOWNLOAD E-BOOK GRATIS: Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah
Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis atas Perda Syari’ah
Penulis: Ihsan Ali-Fauzi, Saiful Mujani
ISBN: 978-979-26-9019-4
Tahun Terbit: 2009
Ukuran: 13,5 x 20 cm, x + 178 hlm
Harga: Rp.
35000
Diskon: (10%) Rp. 31500
Buku ini mencoba memotret sebuah proses pendalaman
demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi yang terjadi di tanah
air kita. Terekam di sini suatu dinamika di mana perda-perda bernuansa
Syari’ah yang dianggap mengancam kebebasan sipil dipelajari secara
seksama, didiskusikan secara kritis bersama berbagai kelompok masyarakat
sipil dari berbagai latar belakang, dan yang kesepakatan apapun
mengenainya disampaikan kepada pejabat publik yang bertanggung jawab
atas keluar dan dilaksanakannya perda-perda itu. Tersaji juga liputan
media massa mengenai diskusi itu dan polemik yang berkembang karenanya.
Buku ini merekam sebuah model partisipasi politik warga negara yang
mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana kita bisa menyelesaikan
perbedaan pendapat, bahkan konflik kepentingan, secara damai,
bermartabat dan beradab.ISBN: 978-979-26-9019-4
Tahun Terbit: 2009
Ukuran: 13,5 x 20 cm, x + 178 hlm
Harga: Rp.
Diskon: (10%) Rp. 31500
Tanpa banyak basa-basi, silahken download di sini
SELEBRASI DALAM SEPAKBOLA DAN KOMUNIKASI NONVERBAL
“Ketika Anda menyaksikan
sepakbola, maka Anda akan melihat kehidupan di dalamnya.”
-Pele-
Siapa sangka, kondisi ketika 22 orang pria berlari ke segala arah
lapangan untuk memperebutkan sebuah benda bulat yang bergulir pasrah, dapat
dijadikan komparasi seimbang dengan sebuah mekanisme bernama.. “kehidupan”?
Siapa
kira, darah, tangis, kebahagian, semangat, keajaiban, nyawa, kegilaan,
perjuangan dan ratusan konsep yang dikenal manusia dapat sekaligus ditemui
hanya di atas sebuah lapangan lusuh dengan sepasang sendal (yang berfungsi
sebagai gawang) di setiap ujung bagiannya?
Siapa
yang bisa percaya, olahraga yang aturannya sesederhana “cetaklah gol lebih
banyak dari lawanmu” bisa mengguncang dunia, mengacaubalaukan sistem
perekonomian sampai mampu memicu perang sungguhan antar negara?
Tak
perduli siapa Tuhanmu, apa warna kulitmu, di mana kau dilahirkan atau identitas
lain yang melekati tubuhmu, sepakbola adalah permainan universal yang mampu
“menenggelamkan” seluruh umat manusia tanpa pernah memerdulikan batasan usia, jenis
kelamin, atau sentimen SARA lainnya.
Sepakbola
mungkin bisa dikatakan sebagai “raja” yang memimpin gagah deretan permainan
yang pernah, sedang dan akan umat manusia ciptakan.
Sepakbola
adalah perjuangan yang tak sesempit perburuan
kemenangan. Di balik semua itu, ada kebanggaan yang membara pada balutan setiap
jersey klub dan negara yang dibela, sejarah yang melatarbelakangi sebuah dendam
dan kebencian yang berubah menjadi motivasi sampai mati yang diguratkan di atas
lapangan hijau yang memanas dan lalu terbakar oleh sorak sorai teriakan
membahana.
Tensi,
gengsi, determinasi maha tinggi adalah nyawa yang mengiringi sebuah
pertandingan, melebihi hasil akhir yang melekati papan skor yang berdiri lirih.
Tidak
ada yang mampu menyangkal, bahwa sepakbola telah dengan tebal dilekati “daki”
filosofis di sembilan puluh menit yang mewakili banyak tujuan, kebanyakan
rangkaian kejujuran, namun tak jarang semuanya tidak lebih dari sekadar lembar
kepalsuan.
Jika sepakbola dapat disandingkan dengan sebuah agama, maka para
suporter adalah umatnya, pemain yang meliuk di atas lapangan adalah para nabi
pembawa wahyu surga, stadiun yang memuat lapangan adalah rumah ibadah yang
menampung ritual sejiwa, gol adalah surga yang dituju dengan proses panjang
melewati tumpukan cobaan demi nirwana, dan kemenangan.. kemenangan adalah “Tuhan”
yang dipuja-puji, yang disembah, yang mesti melewati proses jungkir balik
dahulu hanya untuk menemukan sensasi transenden yang kuat melekati-Nya.
Dan apa yang lebih membahagiakan bagi setiap pemain sepakbola berikut
fans fanatik yang menjadi saksi hidup dari sebuah pertandingan “kehidupan”,
kecuali ketika mereka bersama-sama melihat detik-detik ketika bola bergulir
dramatis melewati setiap inci garis gawang kepunyaan lawan?
Selebrasi dalam sepakbola adalah momen paling emosional dan esensial
bagi setiap pemain dan mereka yang menyaksikan alasan kenapa hal itu terjadi.
Selebrasi dalam sepak bola dapat didefenisikan sebagai “ungkapan
kegembiraan yang secara emosional dilakukan setelah atau sesudah seorang pemain
mencetak gol ke gawang lawan atau ketika merayakan kemenangan di akhir laga.”
Walau ungkapan kegembiraan adalah hal yang wajar terjadi dalam banyak
kondisi selain di dunia olahraga, namun selebrasi dalam sepakbola mempunyai
sisi menarik tersendiri yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis teoritis
ilmu komunikasi, terutama dalam kajian komunikasi non-verbal.
Seperti yang telah dijabarkan banyak ahli komunikasi, jika pesan
non-verbal adalah “komunikasi yang pesannya tidak berbentuk kata-kata (tekstual
atau lisan) yang disampaikan melalui berbagai bentuk stimulus yang kemudian
diinterpretasikan oleh komunikator melalui kemampuan empiris indrawi.”
Selebrasi—sebagai
bentuk luapan emosional—seringnya ditampilkan dalam bentuk pesan kinesik
gestural, fasial maupun postural.
Jalaluddin
Rakhmat dalam bukunya, “Psikologi Komunikasi” menjabarkan bentuk komunikasi
nonverbal ke dalam beberapa bagian, termasuk bentuk pesan kinesik.
Pesan
kinesik, adalah pesan
nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang bisa
dimaknai.
Pesan
kinesik terdiri dari
tiga komponen utama, yaitu: pesan fasial, pesan gestural, dan
pesan postural.
Pesan fasial menggunakan air muka untuk
menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat
menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut,
ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan
tekad.
Pesan gestural menunjukkan gerakan
sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasi berbagai
makna.
Pesan postural berkenaan dengan
keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah:
a. Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidaksukaan
terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak
bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif
b. Power
mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan
postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah.
c. Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional
pada lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah,
anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.
Ricardo Izecson “Kaka’” dos Santos
Leite adalah salah satu selebritas lapangan hijau yang pernah membawa pulang
penghargaan pemain terbaik di muka bumi pada tahun 2007.
Kaka’ yang dikenal sebagai sosok
bersahaja dan super religius bisa dikatakan cukup subur sebagai pemain yang
aslinya hanya beroperasi di lini tengah tim yang diperkuatnya.
Mulai dari masa ketika masih menginjak
rumput di Sao Paolo, sampai saat ia menikmati indahnya langit Madrid, Kaka’
sudah menyumbangkan banyak gol penting bagi tim yang ia bela dan publik sepak
bola seperti tak perlu susah-susah menebak style
selebrasi apa yang akan terlihat sesaat setelah Kaka’ mempecundangi setiap
kiper lawan.
Ia akan berlari ke pinggir lapangan,
mengangkat tangan dan sambil menengadah. ia mengacungkan sepasang jari
telunjukknya ke arah langit. Terkadang Kaka’ memilih bersujud kemudian melepas
jersey klub untuk menunjukkan kaus dalam yang ia pakai yang bertuliskan “I belong to Jesus”.
“Itu adalah bentuk rasa terimakasihku
kepada Tuhan”, kata Kaka’ suatu saat. “Setiap gol yang kucetak adalah berkat
kasih-Nya yang berlimpah. Aku ada sekarang ini untuk menghibur para fans tak
lain karena Yesus Kristus masih
memberiku kesempatan untuk hidup.”
Selebrasi Kaka’ dapat diartikan sebagai
bentuk pesan nonverbal rasa syukur yang ia layangkan kepada Tuhan yang
menyelamatkan karier sepakbola briliannya. Sekadar info, Kaka’ pernah mengalami
kecelakaan parah dan divonis lumpuh oleh dokter sehingga dipastikan tak akan mampu
menggenapi mimpinya menjadi pemain sepakbola ternama. Namun setelah melalui
pergumulan religius panjang, ia akhirnya dinyatakan pulih satu tahun kemudian.
Bahkan performanya semakin meningkat drastis dan akhirnya Kaka’ menjadi salah
satu dari gelandang paling memikat yang pernah menampilkan wujud dalam
permainan sepakbola Eropa dan dunia.
Pesan nonverbal yang berisi makna kereligiusan
seorang pesepakbola bukan hanya dilakukan oleh sosok Kaka’ saja. Striker baru
Chelsea, Demba Ba, adalah bentuk pemain lain yang menunjukkan bagaimana sebuah
selebrasi mampu mengkomunikasikan keyakinan agama yang seorang pemain anut. Ba, yang merupakan
seorang Muslim taat, selalu mengawali luapan kegembiraan setelah mencetak gol
melalui sujud syukur kepada Allah SWT. “Kebahagian dalam sepakbola tak akan
membuatku lupa pada Allah” ungkap Demba Ba.
Namun bukan melulu mengusung identitas
agama semata, selebrasi dalam sepakbola juga banyak berisi pesan nonverbal
berupa kritik terhadap kondisi, individu, lembaga, bahkan kepada klub yang
selebrator bela.
Siapa yang tak tersenyum simpul ketika
melihat gaya selebrasi Paul Gascoigne si pagelaran EURO’96.
Gazza—panggilan akrab Gascoigne—yang
mencetak gol ke gawang timnas Skotlandia, langsung tertidur dan kemudian
dihampiri oleh rekan setimnya di timnas Inggris yang sebelumnya mengambil botol
air minum dari staf tim, dan lalu mengucurkan air dari botol tersebut ke mulut
Gazza yang terbuka. Bentuk selebrasi ini menjadi pesan nonverbal yang
dikirimkan Gazza dan rekan setimnya kepada media massa di Inggris yang beberapa
hari sebelumnya sempat memuat dan menyebarkan foto-foto pemain Inggris ketika
menghabiskan malam di sebuah klub malam sambil menenggak minuman beralkohol
hanya beberapa saat jelang turnamen EURO dengan berbagai ulasan prediksi
pesimistis yang mengikutinya.
Mungkin pesan selebrasi yang Gascoigne
cs. lakukan ini bisa diartikan sebagai “KAMI MABUK, DAN KAMI MAMPU MENCETAK GOL
HEBAT”
Carlos Tevez bisa dikatakan sebagai
pemain yang paling “vokal” dan kritis dalam setiap pesan nonverbal yang
terkandung dalam selebrasi yang ia lakukan seusai mencetak gol.
Mungkin publik masih mengingat jelas
momen ketika Tevez masih memakai seragam Manchester Red. Tevez yang saat itu
mencetak gol, meluapkan kekesalannya pada pihak klub melalui selebrasi dengan berlari
sepanjang tribun penonton sambil mengatupkan tangan kanannya ke telinga seperti
gesture seorang yang kurang jelas mendengarkan. Pesan ini diartikan sebagai
bentuk kekecewaan Tevez terhadap masa depannya di klub yang digantung dan
keinginannya seakan “tidak didengarkan” dalam negosiasi klausal perpanjangan
kontrak.
Tidak usai sampai di situ, Tevez
lagi-lagi melanjutkan hobi kritiknya melalui selebrasi terhadap kondisi internal
klub ketika ia memilih hijrah ke klub rival sekota, Manchester Blue. Pada
sebuah pertandingan melawan Norwich City, Tevez yang saat itu mencetak hattrick (tiga gol .pen) ke gawang
lawan, berlari ke sudut lapangan sambil menampilkan gesture seperti seorang yang sedang bermain golf. Selebrasi itu tak
akan berbuah kontroversi jika publik tidak mengingat alasan di balik munculnya
selebrasi tersebut.
Tevez yang terkenal sebagai sosok
pemberontak, sebelum pertandingan itu sempat mendapat hukuman berupa pembekuan
selama enam bulan karena terlibat konflik dengan Pelatih City, Roberto Mancini.
Selebrasi tersebut ditenggarai sebagai bentuk kekesalan Tevez terhadap pelatih
yang telah men-skorsingnya (Tevez banyak bermain golf untuk membunuh rasa bosan
ketika menjalani hukuman tersebut) dan juga ditujukan kepada fans yang
menghujatnya akibat ketidakpercayaan pendukung terhadap kembalinya kemampuan
lama Tevez. Pesan tersebut mungkin berbunyi “KALIAN BISA LIHAT, ENAM BULAN MASA
HUKUMAN, TAK AKAN BISA MENGHALANGIKU MENCETAK BANYAK GOL.”
Yang terbaru, Tevez kembali menyelipkan
pesan nonverbal berbentuk kritik dalam selebrasi golnya. Kali ini bukan untuk
internal klub, namun buat pihak polisi!
Apa hubungan Tevez dengan polisi? Tenyata
sesaat sebelum pertandingan berlangsung, Tevez sempat mengalami insiden
memalukan saat mobilnya disita aparat keamanan jalan dan mendapat tilang..
karena SIM-nya yang bermasalah.
Tevez yang gemar berpesan kepada pihak
tertentu melalui selebrasi, kemudian berlari ke sudut lapangan sambil terduduk
dan menampilkan gerak tubuh seperti seorang yang sedang mengendarai mobil.
Tevez tidak sendirian sebagai pemain
sepakbola yang pernah mengeritik pihak kepolisian dalam bentuk selebrasi. Gary
Cahill juga pernah ikutan “menyerang” pihak polisi saat mencetak gol pada
sebuah laga bagi tim yang diperkuatnya, Everton. Pemain yang lahir di Australia
ini berlari ke sudut lapangan sambil menampilkan gesture seperti sedang diborgol. Pesan ini dapat diartikan sebagai
reaksi kesedihan Cahill kepada penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian
terhadap saudara dekatnya.
“Saya sangat terpukul dengan kejadian
tersebut.” Ucap Cahill dalam sesi wawancara seusai pertandingan. Akibat aksinya
tersebut, pihak kepolisian Australia mengecam Cahill dan akhirnya ia mendapatkan
hukuman berupa denda dari pihak FA (PSSI-nya Inggris .pen). Hal yang sama juga
dilakukan oleh midfielder Ipwich
Town, David Norris. Norris meniru gerakan tangan yang diborgol usai mencetak
gol ke gawang Blackpool, November 2008 lalu. Bentuk selebrasi tersebut dianggap
sebagai refleksi penangkapan yang terjadi pada sahabat dekatnya, Luke
McCormick, yang ditahan akibat insiden panabrakan yang menewaskan dua orang
anak kakak-beradik.
Selain sebagai pengungkapan identitas
agama dan bentuk kritik terhadap pihak tertentu, selebrasi yang bisa dikatakan
bentuk “silent language” ini, juga
tak terlepas dari ungkapan emosional yang melatarbelakangi terjadinya perayaan tersebut.
Sulit melupakan selebrasi fenomenal
Marco Tardelli pada putaran perempatfinal piala dunia 1982. Sembari berlari ke
sudut lapangan setelah sebelumnya mencetak gol ke gawang Brasil, Tardelli tak
henti-hentinya menepuk dadanya, dan menguncang-guncangkan kepalanya dengan
kencang sambil meneriakkan namanya. Air mata mengalir deras dari kedua mata
Tardelli yang berada pada fase klimaks kemagisan sebuah gol. Di waktu dan momen
yang sama, lagenda hidup Brasil, Falcao, juga tak mampu mengendalikan luapan
emosi kebahagiaannya setelah mencetak gol ke gawang tim Tardelli.
Setelah merobek Italia, Falcao
berteriak “gila” sambil berlari ke sudut lapangan sembari mengangkat tangannya
setinggi mungkin. Aksi balas membalas luapan emosi dalam format selebrasi
tersebut menjadi kenangan yang memiliki kesan tersendiri bagi dunia sepakbola.
Selebrasi dalam sepakbola juga memiliki
pesan manusiawi dan penghormatan yang mendalam bagi setiap pelakunya.
Totti dengan gaya selebrasi uniknya,
mengemut jari jempol setiap kali selesai mencetak gol, berkata bahwa selebrasi
tersebut ia dedikasikan kepada sang istri tercinta, Illary Blasi, yang telah
memberikan seorang anak kepadanya.
Berbeda dengan Totti yang menjadikan
selebrasi sebagai ungkapan nonverbal rasa sayang terhadap istri, Clint Dempsey
memiliki kisah mengharukan tersendiri di balik
selebrasi yang ia lakukan setiap kali mencetak gol.
“Kakak perempuanku ada di setiap gol
yang aku cetak,” kata Dempsey “..dia memang sudah tiada, namun dia pernah
berjanji kalau dia akan menolongku menjaringkan bola ke gawang. Dan sampai sekarang
aku percaya akan hal itu.”
Dempsey memang sempat memiliki seorang
Kakak perempuan yang meninggal akibat penyumbatan pembuluh darah di otak ketika
masih berumur 16 tahun. Sosok sang Kakak yang sangat istimewa di mata Dempsey,
membuatnya tak pernah lupa menoleh ke atas langit setiap kali mencetak gol ke
gawang lawan. Ia menganggap, Jennifer—nama Kakak Dempsey—ikut membantunya
mencetak banyak gol di lapangan dan sedang meilihatnya dari luasnya bentangan
langit.
Nyaris serupa dengan Dempsey, pemain timnas
Spanyol dan klub Real Madrid, Sergio Ramos, beberapa kali menjadikan
memorabilia sebuah kematian sebagai tema selebrasi ketika mencetak gol. Masih
lekat di ingatan publik, terutama tentunya Ramos sendiri, ketika menyaksikan
Antonio Puerta (sahabat baiknya ketika masih membela Sevilla) terkapar di
pinggir lapangan akibat serangan jantung. Ramos sempat memeluk Puerta dan
menepuk-nepuk tubuh Puerta yang sedang mengerang kesakitan. Setelah beberapa
saat siuman dan berjalan ke luar lapangan untuk mendapatkan pertolongan medis,
Puerta akhirnya menjadi alasan kenapa Ramos menangis pedih beberapa hari
kemudian, ketika Puerta harus dikalahkan untuk selama-lamanya akibat penyakti
yang ia idap. Puerta wafat di saat kariernya memasuki masa puncak. Ramos yang
terpukul akibat kejadian tersebut beberapa kali mengadakan selebrasi untuk
mengenang sahabat baiknya tersebut. Yang paling terkenal ketika momen perayaan
keberhasilan Spanyol menjuarai pagelaran EURO 2008, Ramos yang saat itu
menggenggam tropi EURO, terekam menggunakan T-shirt bergambar wajah Antonio
Puerta dengan sebuah tulisan kecil berbunyi “siempre
con nosotros” yang artinya “kami semua ada untukmu.”
Cristiano Ronaldo juga adalah contoh
nyata bagaimana sebuah penghormatan dan respek dapat ditunjukkan melalui sebuah
aksi selebrasi.
Ketika pemain dengan kaki berharga 1,3
triliun ini masih memperkuat Manchester United, dan diharuskan berlaga melawan
mantan klubnya di Portugal, Sporting Lisbon, Ronaldo menunjukkan sikap
profesioanlime dan respek yang tinggi setelah “tega” mencetak gol ke gawang
klub yang telah membesarkan namanya tersebut. Alih-alih meluapkan kegembiraan
sesudah mencetak gol indah, Ronaldo malah mendekati suporter lawan yang pernah
jadi kawan, sambil menunjukkan gerak tangan meminta maaf yang langsung disambut
standing ovation fans Sporting Lisbon
yang jelas merasa terharu karena Ronaldo ternyata masih menaruh rasa hormat
kepada mereka.
Setelah meninggalkan MU dengan memecahkan
rekor transfer sebagai pemain sepakbola termahal di dunia, pemain yang pernah
menggenggam gelar pemain terbaik dunia pada tahun 2008 ini, memilih memperkuat
klub raksasa asal ibukota Spanyol, Real Madrid.
Dan lagi-lagi, Ronaldo kembali
ditakdirkan menghadapi situasi dramatis ketika harus menjadi lawan dari mantan
klubnya, Manchester United, dalam pertandingan perempat final Liga Champions
Eropa edisi 2013.
Peristiwa memilukan pun terjadi.
Ronaldo yang tetap menjunjung tinggi nilai profesionalitas dibanding
terpengaruh rentetan memori sentimentil, “terpaksa” mencetak dua gol yang
akhirnya “membunuh” peluang tim lamanya itu melaju ke babak berikutnya.
Kembali, Ronaldo tidak mau melukai
lebih dalam hati para fans yang pernah dan mungkin masih mencintainya, dengan memilih
berselebrasi dengan tidak menampilkan selebrasi apa pun sebagai bentuk
penghormatan kepada klub yang telah diperkuatnya selama lebih dari 7 tahun
tersebut.
Sikap sportif Ronaldo itu ternyata
tidak diikuti pemain yang pernah menjadi rekan setimnya di Real Madrid,
Emmanuel Adebayor. Adebayor yang sempat memperkuat klub Manchesetr City setelah
pindah dari tim London Utaram, Arsenal, pernah memicu kontroversi akibat aksi
selebrasi kurang pantas yang ia lakukan setelah mencetak gol ke gawang mantan
klubnya tersebut. Ade diisukan pergi dari tim berjuluk The Gunners itu akibat menerima perlakuan negatif dari pihak klub
dan sorakan mengejek fans yang rutin ia dapatkan, meluapkan kegembiraan dan
rasa bencinya kepada Arsenal dengan berlari ke arah tribun yang diisi oleh suporter
Arsenal sambil merentangkan kedua tangannya selebar mungkin sambil menikmati
cacian dan umpatan warna-warni pendukung Arsenal yang merasa dilecehkan oleh
bentuk perayaan gol Adebayor tersebut. Setelah pertandingan usai, media Inggris
ramai-ramai mengeritik bentuk selebrasi Ade yang ujung-ujungnya “membangunkan”
FA untuk turun tangan dan kemudian, mendenda pemain berpaspor Togo itu.
Banyak pesan berupa ungkapan kemarahan
yang ditunjukkan seorang pemain sepakbola melalui aksi selebrasi setelah yang
bersangkuatan mencetak gol.
Contohnya, ketika Craig Bellamy (saat itu
masih memperkuat Liverpool) yang seperti halnya Tevez, menggunakan gesture pukulan
dalam olahraga golf sebagai tampilan selebrasi yang mengungkapkan betapa
kekesalan Belammy belum lenyap, setelah sebelumnya ia mengalami pertengkaran
hebat dengan rekan setimnya, John Arne Riise, di sebuah klub malam dan
dikabarkan Bellamy sempat ingin memukul Riise dengan stick golf sebelum
berhasil dipisahkan oleh pemain Liverpool yang lain.
Dari rangkaian bentuk selebrasi di
atas, mungkin yang paling memilukan adalah ketika sebuah perayaan kemenangan
yang harusnya berlangsung bahagia, malah berujung menjadi sanksi, kerusuhan,
bahkan hilangnya nyawa manusia sebagai efek yang ditimbulkan dari selebrasi
tersebut.
Mohammad Norsati, seorang pemain klub
Persepolis asal Iran, mesti menyesali bentuk selebrasi yang ia lakukan sesaat
setelah mencetak sebuah gol dalam laga lanjutan liga Iran. Ia mendapat denda
sebesar 25 ribu pounds karena melakukan selebrasi dengan memegang bokong rekan
setimnya seusai menjaringkan bola ke gawang Damash Gilan. Iran, yang tergolong
sebagai negara Islam konservatif, menganggap aksi Norsati sebagai bentuk
pelecehan seksual dan tidak pantas dilakukan karena pertandingan itu sendiri
disiarkan secara nasional.
Efek yang lebih ekstrim harus diterima
Giorgos Katidis, pemain potensial dari klub AEK Athens, di liga Yunani. Karena
selebrasi yang Katidis lakukan, ia mesti dijatuhi sanksi seumur hidup tidak
boleh memperkuat timnas Yunani! Bukannya apa-apa, Katidis yang mencetak gol
penentu kemenangan pada laga melawan Varia, secara mengejutkan menampilkan
selebrasi dengan mengangkat tangannya lurus ke depan, percis seperti
penghormatan dalam partai komunis NAZI. Pihak berwenang persepakbolaan Yunani
tanpa ampun langsung menganggap apa yang dilakukan mantan kapten timnas U-19
Yunani tersebut sebagai tindakan keterlaluan dan tidak manusiawi, mengingat
aspek psikologis dan moril yang masih melukai pihak keluarga korban holocauts yang mungkin menyaksikan
ketika Katidis melakukan selebrasi dari partai yang terkenal dengan aksi
genosida Yahudinya itu.
Berbeda dengan Katidis dan Norsati yang
“hanya” mendapat sanksi dari organisasi persepakbolaan negaranya masing-masing,
Rogerio Pereira sudah “selangkah lebih maju” dengan menjadikan selebrasi yang
ia lakukan sebagai pemicu perkelahian massal yang terjadi ketika timnya berlaga
pada sebuah kompetisi regional Brasil. Melawan tim Brasilia, Pereira yang saat
itu mencetak gol kelima untuk timnya, Ulbra, berlari ke arah suporter tim
lawan. Bukan karena aksi berlarinya ke tribun lawan, namun gerak selebrasi yang
ia tunjukkanlah yang kemudian memancing para pemain Brasilia mengeroyok Pereira
secara massal. Pereira ditenggarai menirukan gerak tubuh salah satu pemain tim
Brasilia, Claudio Millar, yang sebelumnya tewas dalam kecelakaan bus. Hal
tersebut otomatis menyulut kemarahan pemain Brasilia yang serentak memukuli
Pereira tanpa ampun. Tak berakhir di situ, skuad Ulbra tak tinggal diam dan
balas menyerang pemain Brasilia. Bukan hanya pemain, namun offisial pelatih dan
bahkan pemain cadangan pun ikut serta “meramaikan” perkelahian massal antar dua
klub tersebut.
3 kartu merah untuk tim Ulbra plus 4
kartu berwarna sama untuk pemain Brasilia akhirnya mengakhiri laga dalam damai.
Jika seluruh rangkaian ilustrasi
selebrasi sebelumnya kebanyakan berujung sanksi dan kericuhan, mungkin apa yang
dialami Matthias Sindelar adalah yang paling memilukan karena selebrasi yang ia
lakukan membuatnya harus rela mengucap selamat tinggal pada dunia. Ia tewas
terbunuh.
Matthias Sindelar bisa dikatakan sebagai
“Ronaldo” pada masanya. Ia adalah pemain emas yang telah banyak menorehkan
prestasi dalam sepakbola. Sampai pada tahun 1938, ketika itu perang dunia ke
dua sedang berkecamuk dengan hebat, dan Jerman, dengan NAZI di belakangnya,
rajin menginvasi untuk kemudian menganeksasi banyak negara, termasuk Austria,
negara di mana Sindelar pernah terlahir dan hidup bahagia. Jerman sebagai
penjajah berinisiatif mengadakan sebuah pertandingan sepakbola “pura-pura” dan
“simbolis” antara Jerman melawan timnas Austria. Sindelar yang menjadi ujung
tombak tim negara Austria, bersama rekan-rekannya yang lain, diinstruksikan
untuk “bermain-main” dalam pertandingan itu demi menghormati Jerman sebagai
pihak yang lebih kuat.
Awalnya Sindelar mengikuti perintah
tersebut, namun entah kerena semangat nasionalismenya yang kuat muncul, ia
kemudian bangkit melawan dan akhirnya berhasil mencetak gol ke gawang Jerman. Sindelar
langsung berlari ke arah barisan tribun yang diduduki oleh jajaran petinggi
partai NAZI dan kemudian ia menari, dengan nekatnya, di depan mereka.
Selebrasinya itu otomatis mendapat tatapan tajam super bengis dari pihak NAZI,
dan seperti “sudah sewajarnya”, beberapa waktu kemudia, Matthias Sindelar
ditemukan tewas terbunuh mengenaskan bersama kekasihnya di sebuah penginapan di
Austria dan kuat diduga, NAZI ada di balik itu semua.
Pesan nonverbal secara interpretatif
memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pesan berformat
verbal dalam membubuhi arti. Berbagai makna pesan dapat ditarik dan disimpulkan
oleh komunikan ketika sebuah gerak tangan, wajah atau bentuk stimuli kinetik
lainnya diselipkan pesan-pesan tertentu yang melatarbelakangi motivasi
pelakunya.
Sepakbola sebagai “game of life” sering mendapat sorotan yang sangat luas akibat
warna-warni selebrasi yang pemain lakukan sebagai bentuk manifestasi dari
banyak hal-hal emosional, bukan hanya kebahagiaan, namun juga kemarahan,
kesedihan, protes, pemberontakan, motivasi politis hingga aspek ada religi.
Olahraga secara umum dan sepakbola
secara spesifik, tak terlepas dari aktivasi pesan nonverbal dalam prosesnya,
terutama dalam bentuk luapan emosi yang berbeda-beda antar satu pemain dengan
yang lain.
Kajian komunikasi olahraga memang sudah
diapungkan sebagai bagian dari kegiatan akademis. Namun sifatnya yang masih
sangat sempit belumlah cukup untuk mewakili banyak hal yang olahraga (terutama
sepakbola) mampu sediakan bagi kaum akademisi untuk diteliti.
Termasuk analisis komunikasi nonverbal
dalam berbagai bentuk selebrasi yang pemain sepakbola lakukan yang sebenarnya
memuat kajian historis, fungsional, karakteristik sampai pada
etika komunikasi.
Langganan:
Postingan (Atom)