Minggu, 09 Juni 2013

SELEBRASI DALAM SEPAKBOLA DAN KOMUNIKASI NONVERBAL




“Ketika Anda menyaksikan sepakbola, maka Anda akan melihat kehidupan di dalamnya.”
-Pele-

Siapa sangka, kondisi ketika 22 orang pria berlari ke segala arah lapangan untuk memperebutkan sebuah benda bulat yang bergulir pasrah, dapat dijadikan komparasi seimbang dengan sebuah mekanisme bernama.. “kehidupan”?
Siapa kira, darah, tangis, kebahagian, semangat, keajaiban, nyawa, kegilaan, perjuangan dan ratusan konsep yang dikenal manusia dapat sekaligus ditemui hanya di atas sebuah lapangan lusuh dengan sepasang sendal (yang berfungsi sebagai gawang) di setiap ujung bagiannya?
Siapa yang bisa percaya, olahraga yang aturannya sesederhana “cetaklah gol lebih banyak dari lawanmu” bisa mengguncang dunia, mengacaubalaukan sistem perekonomian sampai mampu memicu perang sungguhan antar negara?
Tak perduli siapa Tuhanmu, apa warna kulitmu, di mana kau dilahirkan atau identitas lain yang melekati tubuhmu, sepakbola adalah permainan universal yang mampu “menenggelamkan” seluruh umat manusia tanpa pernah memerdulikan batasan usia, jenis kelamin, atau sentimen SARA lainnya.
Sepakbola mungkin bisa dikatakan sebagai “raja” yang memimpin gagah deretan permainan yang pernah, sedang dan akan umat manusia ciptakan.
Sepakbola adalah perjuangan yang  tak sesempit perburuan kemenangan. Di balik semua itu, ada kebanggaan yang membara pada balutan setiap jersey klub dan negara yang dibela, sejarah yang melatarbelakangi sebuah dendam dan kebencian yang berubah menjadi motivasi sampai mati yang diguratkan di atas lapangan hijau yang memanas dan lalu terbakar oleh sorak sorai teriakan membahana.
Tensi, gengsi, determinasi maha tinggi adalah nyawa yang mengiringi sebuah pertandingan, melebihi hasil akhir yang melekati papan skor yang berdiri lirih.
Tidak ada yang mampu menyangkal, bahwa sepakbola telah dengan tebal dilekati “daki” filosofis di sembilan puluh menit yang mewakili banyak tujuan, kebanyakan rangkaian kejujuran, namun tak jarang semuanya tidak lebih dari sekadar lembar kepalsuan.
Jika sepakbola dapat disandingkan dengan sebuah agama, maka para suporter adalah umatnya, pemain yang meliuk di atas lapangan adalah para nabi pembawa wahyu surga, stadiun yang memuat lapangan adalah rumah ibadah yang menampung ritual sejiwa, gol adalah surga yang dituju dengan proses panjang melewati tumpukan cobaan demi nirwana, dan kemenangan.. kemenangan adalah “Tuhan” yang dipuja-puji, yang disembah, yang mesti melewati proses jungkir balik dahulu hanya untuk menemukan sensasi transenden yang kuat melekati-Nya.
Dan apa yang lebih membahagiakan bagi setiap pemain sepakbola berikut fans fanatik yang menjadi saksi hidup dari sebuah pertandingan “kehidupan”, kecuali ketika mereka bersama-sama melihat detik-detik ketika bola bergulir dramatis melewati setiap inci garis gawang kepunyaan lawan?
Selebrasi dalam sepakbola adalah momen paling emosional dan esensial bagi setiap pemain dan mereka yang menyaksikan alasan kenapa hal itu terjadi.
Selebrasi dalam sepak bola dapat didefenisikan sebagai “ungkapan kegembiraan yang secara emosional dilakukan setelah atau sesudah seorang pemain mencetak gol ke gawang lawan atau ketika merayakan kemenangan di akhir laga.”
Walau ungkapan kegembiraan adalah hal yang wajar terjadi dalam banyak kondisi selain di dunia olahraga, namun selebrasi dalam sepakbola mempunyai sisi menarik tersendiri yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis teoritis ilmu komunikasi, terutama dalam kajian komunikasi non-verbal.
Seperti yang telah dijabarkan banyak ahli komunikasi, jika pesan non-verbal adalah “komunikasi yang pesannya tidak berbentuk kata-kata (tekstual atau lisan) yang disampaikan melalui berbagai bentuk stimulus yang kemudian diinterpretasikan oleh komunikator melalui kemampuan empiris indrawi.”
Selebrasi—sebagai bentuk luapan emosional—seringnya ditampilkan dalam bentuk pesan kinesik gestural, fasial maupun postural.
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, “Psikologi Komunikasi” menjabarkan bentuk komunikasi nonverbal ke dalam beberapa bagian, termasuk bentuk pesan kinesik.
Pesan kinesik, adalah pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang bisa dimaknai.
Pesan kinesik terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural.
            Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna: kebagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad.
Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasi berbagai makna.
Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna yang dapat disampaikan adalah:
a.  Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang diajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif
b. Power mengungkapkan status yang tinggi pada diri komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah.
c.  Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional pada lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.

         Ricardo Izecson “Kaka’” dos Santos Leite adalah salah satu selebritas lapangan hijau yang pernah membawa pulang penghargaan pemain terbaik di muka bumi pada tahun 2007.
         Kaka’ yang dikenal sebagai sosok bersahaja dan super religius bisa dikatakan cukup subur sebagai pemain yang aslinya hanya beroperasi di lini tengah tim yang diperkuatnya.
         Mulai dari masa ketika masih menginjak rumput di Sao Paolo, sampai saat ia menikmati indahnya langit Madrid, Kaka’ sudah menyumbangkan banyak gol penting bagi tim yang ia bela dan publik sepak bola seperti tak perlu susah-susah menebak style selebrasi apa yang akan terlihat sesaat setelah Kaka’ mempecundangi setiap kiper lawan.
         Ia akan berlari ke pinggir lapangan, mengangkat tangan dan sambil menengadah. ia mengacungkan sepasang jari telunjukknya ke arah langit. Terkadang Kaka’ memilih bersujud kemudian melepas jersey klub untuk menunjukkan kaus dalam yang ia pakai yang bertuliskan “I belong to Jesus”.
         “Itu adalah bentuk rasa terimakasihku kepada Tuhan”, kata Kaka’ suatu saat. “Setiap gol yang kucetak adalah berkat kasih-Nya yang berlimpah. Aku ada sekarang ini untuk menghibur para fans tak lain karena Yesus Kristus  masih memberiku kesempatan untuk hidup.”
         Selebrasi Kaka’ dapat diartikan sebagai bentuk pesan nonverbal rasa syukur yang ia layangkan kepada Tuhan yang menyelamatkan karier sepakbola briliannya. Sekadar info, Kaka’ pernah mengalami kecelakaan parah dan divonis lumpuh oleh dokter sehingga dipastikan tak akan mampu menggenapi mimpinya menjadi pemain sepakbola ternama. Namun setelah melalui pergumulan religius panjang, ia akhirnya dinyatakan pulih satu tahun kemudian. Bahkan performanya semakin meningkat drastis dan akhirnya Kaka’ menjadi salah satu dari gelandang paling memikat yang pernah menampilkan wujud dalam permainan sepakbola Eropa dan dunia.
         Pesan nonverbal yang berisi makna kereligiusan seorang pesepakbola bukan hanya dilakukan oleh sosok Kaka’ saja. Striker baru Chelsea, Demba Ba, adalah bentuk pemain lain yang menunjukkan bagaimana sebuah selebrasi mampu mengkomunikasikan keyakinan agama  yang seorang pemain anut. Ba, yang merupakan seorang Muslim taat, selalu mengawali luapan kegembiraan setelah mencetak gol melalui sujud syukur kepada Allah SWT. “Kebahagian dalam sepakbola tak akan membuatku lupa pada Allah” ungkap Demba Ba.
         Namun bukan melulu mengusung identitas agama semata, selebrasi dalam sepakbola juga banyak berisi pesan nonverbal berupa kritik terhadap kondisi, individu, lembaga, bahkan kepada klub yang selebrator bela.
         Siapa yang tak tersenyum simpul ketika melihat gaya selebrasi Paul Gascoigne si pagelaran EURO’96.
         Gazza—panggilan akrab Gascoigne—yang mencetak gol ke gawang timnas Skotlandia, langsung tertidur dan kemudian dihampiri oleh rekan setimnya di timnas Inggris yang sebelumnya mengambil botol air minum dari staf tim, dan lalu mengucurkan air dari botol tersebut ke mulut Gazza yang terbuka. Bentuk selebrasi ini menjadi pesan nonverbal yang dikirimkan Gazza dan rekan setimnya kepada media massa di Inggris yang beberapa hari sebelumnya sempat memuat dan menyebarkan foto-foto pemain Inggris ketika menghabiskan malam di sebuah klub malam sambil menenggak minuman beralkohol hanya beberapa saat jelang turnamen EURO dengan berbagai ulasan prediksi pesimistis yang mengikutinya.
         Mungkin pesan selebrasi yang Gascoigne cs. lakukan ini bisa diartikan sebagai “KAMI MABUK, DAN KAMI MAMPU MENCETAK GOL HEBAT”
         Carlos Tevez bisa dikatakan sebagai pemain yang paling “vokal” dan kritis dalam setiap pesan nonverbal yang terkandung dalam selebrasi yang ia lakukan seusai mencetak gol.
         Mungkin publik masih mengingat jelas momen ketika Tevez masih memakai seragam Manchester Red. Tevez yang saat itu mencetak gol, meluapkan kekesalannya pada pihak klub melalui selebrasi dengan berlari sepanjang tribun penonton sambil mengatupkan tangan kanannya ke telinga seperti gesture seorang yang kurang jelas mendengarkan. Pesan ini diartikan sebagai bentuk kekecewaan Tevez terhadap masa depannya di klub yang digantung dan keinginannya seakan “tidak didengarkan” dalam negosiasi klausal perpanjangan kontrak.
         Tidak usai sampai di situ, Tevez lagi-lagi melanjutkan hobi kritiknya melalui selebrasi terhadap kondisi internal klub ketika ia memilih hijrah ke klub rival sekota, Manchester Blue. Pada sebuah pertandingan melawan Norwich City, Tevez yang saat itu mencetak hattrick (tiga gol .pen) ke gawang lawan, berlari ke sudut lapangan sambil menampilkan gesture seperti seorang yang sedang bermain golf. Selebrasi itu tak akan berbuah kontroversi jika publik tidak mengingat alasan di balik munculnya selebrasi tersebut.
         Tevez yang terkenal sebagai sosok pemberontak, sebelum pertandingan itu sempat mendapat hukuman berupa pembekuan selama enam bulan karena terlibat konflik dengan Pelatih City, Roberto Mancini. Selebrasi tersebut ditenggarai sebagai bentuk kekesalan Tevez terhadap pelatih yang telah men-skorsingnya (Tevez banyak bermain golf untuk membunuh rasa bosan ketika menjalani hukuman tersebut) dan juga ditujukan kepada fans yang menghujatnya akibat ketidakpercayaan pendukung terhadap kembalinya kemampuan lama Tevez. Pesan tersebut mungkin berbunyi “KALIAN BISA LIHAT, ENAM BULAN MASA HUKUMAN, TAK AKAN BISA MENGHALANGIKU MENCETAK BANYAK GOL.”
         Yang terbaru, Tevez kembali menyelipkan pesan nonverbal berbentuk kritik dalam selebrasi golnya. Kali ini bukan untuk internal klub, namun buat pihak polisi!
         Apa hubungan Tevez dengan polisi? Tenyata sesaat sebelum pertandingan berlangsung, Tevez sempat mengalami insiden memalukan saat mobilnya disita aparat keamanan jalan dan mendapat tilang.. karena SIM-nya yang bermasalah.
         Tevez yang gemar berpesan kepada pihak tertentu melalui selebrasi, kemudian berlari ke sudut lapangan sambil terduduk dan menampilkan gerak tubuh seperti seorang yang sedang mengendarai mobil.
         Tevez tidak sendirian sebagai pemain sepakbola yang pernah mengeritik pihak kepolisian dalam bentuk selebrasi. Gary Cahill juga pernah ikutan “menyerang” pihak polisi saat mencetak gol pada sebuah laga bagi tim yang diperkuatnya, Everton. Pemain yang lahir di Australia ini berlari ke sudut lapangan sambil menampilkan gesture seperti sedang diborgol. Pesan ini dapat diartikan sebagai reaksi kesedihan Cahill kepada penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian terhadap saudara dekatnya.
         “Saya sangat terpukul dengan kejadian tersebut.” Ucap Cahill dalam sesi wawancara seusai pertandingan. Akibat aksinya tersebut, pihak kepolisian Australia mengecam Cahill dan akhirnya ia mendapatkan hukuman berupa denda dari pihak FA (PSSI-nya Inggris .pen). Hal yang sama juga dilakukan oleh midfielder Ipwich Town, David Norris. Norris meniru gerakan tangan yang diborgol usai mencetak gol ke gawang Blackpool, November 2008 lalu. Bentuk selebrasi tersebut dianggap sebagai refleksi penangkapan yang terjadi pada sahabat dekatnya, Luke McCormick, yang ditahan akibat insiden panabrakan yang menewaskan dua orang anak kakak-beradik.
         Selain sebagai pengungkapan identitas agama dan bentuk kritik terhadap pihak tertentu, selebrasi yang bisa dikatakan bentuk “silent language” ini, juga tak terlepas dari ungkapan emosional yang melatarbelakangi terjadinya perayaan tersebut.
         Sulit melupakan selebrasi fenomenal Marco Tardelli pada putaran perempatfinal piala dunia 1982. Sembari berlari ke sudut lapangan setelah sebelumnya mencetak gol ke gawang Brasil, Tardelli tak henti-hentinya menepuk dadanya, dan menguncang-guncangkan kepalanya dengan kencang sambil meneriakkan namanya. Air mata mengalir deras dari kedua mata Tardelli yang berada pada fase klimaks kemagisan sebuah gol. Di waktu dan momen yang sama, lagenda hidup Brasil, Falcao, juga tak mampu mengendalikan luapan emosi kebahagiaannya setelah mencetak gol  ke gawang tim Tardelli.
         Setelah merobek Italia, Falcao berteriak “gila” sambil berlari ke sudut lapangan sembari mengangkat tangannya setinggi mungkin. Aksi balas membalas luapan emosi dalam format selebrasi tersebut menjadi kenangan yang memiliki kesan tersendiri bagi dunia sepakbola.

         Selebrasi dalam sepakbola juga memiliki pesan manusiawi dan penghormatan yang mendalam bagi setiap pelakunya.
         Totti dengan gaya selebrasi uniknya, mengemut jari jempol setiap kali selesai mencetak gol, berkata bahwa selebrasi tersebut ia dedikasikan kepada sang istri tercinta, Illary Blasi, yang telah memberikan seorang anak kepadanya.
         Berbeda dengan Totti yang menjadikan selebrasi sebagai ungkapan nonverbal rasa sayang terhadap istri, Clint Dempsey memiliki kisah mengharukan tersendiri di balik  selebrasi yang ia lakukan setiap kali mencetak gol.
         “Kakak perempuanku ada di setiap gol yang aku cetak,” kata Dempsey “..dia memang sudah tiada, namun dia pernah berjanji kalau dia akan menolongku menjaringkan bola ke gawang. Dan sampai sekarang aku percaya akan hal itu.”
         Dempsey memang sempat memiliki seorang Kakak perempuan yang meninggal akibat penyumbatan pembuluh darah di otak ketika masih berumur 16 tahun. Sosok sang Kakak yang sangat istimewa di mata Dempsey, membuatnya tak pernah lupa menoleh ke atas langit setiap kali mencetak gol ke gawang lawan. Ia menganggap, Jennifer—nama Kakak Dempsey—ikut membantunya mencetak banyak gol di lapangan dan sedang meilihatnya dari luasnya bentangan langit.
         Nyaris serupa dengan Dempsey, pemain timnas Spanyol dan klub Real Madrid, Sergio Ramos, beberapa kali menjadikan memorabilia sebuah kematian sebagai tema selebrasi ketika mencetak gol. Masih lekat di ingatan publik, terutama tentunya Ramos sendiri, ketika menyaksikan Antonio Puerta (sahabat baiknya ketika masih membela Sevilla) terkapar di pinggir lapangan akibat serangan jantung. Ramos sempat memeluk Puerta dan menepuk-nepuk tubuh Puerta yang sedang mengerang kesakitan. Setelah beberapa saat siuman dan berjalan ke luar lapangan untuk mendapatkan pertolongan medis, Puerta akhirnya menjadi alasan kenapa Ramos menangis pedih beberapa hari kemudian, ketika Puerta harus dikalahkan untuk selama-lamanya akibat penyakti yang ia idap. Puerta wafat di saat kariernya memasuki masa puncak. Ramos yang terpukul akibat kejadian tersebut beberapa kali mengadakan selebrasi untuk mengenang sahabat baiknya tersebut. Yang paling terkenal ketika momen perayaan keberhasilan Spanyol menjuarai pagelaran EURO 2008, Ramos yang saat itu menggenggam tropi EURO, terekam menggunakan T-shirt bergambar wajah Antonio Puerta dengan sebuah tulisan kecil berbunyi “siempre con nosotros” yang artinya “kami semua ada untukmu.”

         Cristiano Ronaldo juga adalah contoh nyata bagaimana sebuah penghormatan dan respek dapat ditunjukkan melalui sebuah aksi selebrasi.
         Ketika pemain dengan kaki berharga 1,3 triliun ini masih memperkuat Manchester United, dan diharuskan berlaga melawan mantan klubnya di Portugal, Sporting Lisbon, Ronaldo menunjukkan sikap profesioanlime dan respek yang tinggi setelah “tega” mencetak gol ke gawang klub yang telah membesarkan namanya tersebut. Alih-alih meluapkan kegembiraan sesudah mencetak gol indah, Ronaldo malah mendekati suporter lawan yang pernah jadi kawan, sambil menunjukkan gerak tangan meminta maaf yang langsung disambut standing ovation fans Sporting Lisbon yang jelas merasa terharu karena Ronaldo ternyata masih menaruh rasa hormat kepada mereka.
         Setelah meninggalkan MU dengan memecahkan rekor transfer sebagai pemain sepakbola termahal di dunia, pemain yang pernah menggenggam gelar pemain terbaik dunia pada tahun 2008 ini, memilih memperkuat klub raksasa asal ibukota Spanyol, Real Madrid.
         Dan lagi-lagi, Ronaldo kembali ditakdirkan menghadapi situasi dramatis ketika harus menjadi lawan dari mantan klubnya, Manchester United, dalam pertandingan perempat final Liga Champions Eropa edisi 2013.
         Peristiwa memilukan pun terjadi. Ronaldo yang tetap menjunjung tinggi nilai profesionalitas dibanding terpengaruh rentetan memori sentimentil, “terpaksa” mencetak dua gol yang akhirnya “membunuh” peluang tim lamanya itu melaju ke babak berikutnya.
         Kembali, Ronaldo tidak mau melukai lebih dalam hati para fans yang pernah dan mungkin masih mencintainya, dengan memilih berselebrasi dengan tidak menampilkan selebrasi apa pun sebagai bentuk penghormatan kepada klub yang telah diperkuatnya selama lebih dari 7 tahun tersebut.
         Sikap sportif Ronaldo itu ternyata tidak diikuti pemain yang pernah menjadi rekan setimnya di Real Madrid, Emmanuel Adebayor. Adebayor yang sempat memperkuat klub Manchesetr City setelah pindah dari tim London Utaram, Arsenal, pernah memicu kontroversi akibat aksi selebrasi kurang pantas yang ia lakukan setelah mencetak gol ke gawang mantan klubnya tersebut. Ade diisukan pergi dari tim berjuluk The Gunners itu akibat menerima perlakuan negatif dari pihak klub dan sorakan mengejek fans yang rutin ia dapatkan, meluapkan kegembiraan dan rasa bencinya kepada Arsenal dengan berlari ke arah tribun yang diisi oleh suporter Arsenal sambil merentangkan kedua tangannya selebar mungkin sambil menikmati cacian dan umpatan warna-warni pendukung Arsenal yang merasa dilecehkan oleh bentuk perayaan gol Adebayor tersebut. Setelah pertandingan usai, media Inggris ramai-ramai mengeritik bentuk selebrasi Ade yang ujung-ujungnya “membangunkan” FA untuk turun tangan dan kemudian, mendenda pemain berpaspor Togo itu.
         Banyak pesan berupa ungkapan kemarahan yang ditunjukkan seorang pemain sepakbola melalui aksi selebrasi setelah yang bersangkuatan mencetak gol.
         Contohnya, ketika Craig Bellamy (saat itu masih memperkuat Liverpool) yang seperti  halnya Tevez, menggunakan gesture pukulan dalam olahraga golf sebagai tampilan selebrasi yang mengungkapkan betapa kekesalan Belammy belum lenyap, setelah sebelumnya ia mengalami pertengkaran hebat dengan rekan setimnya, John Arne Riise, di sebuah klub malam dan dikabarkan Bellamy sempat ingin memukul Riise dengan stick golf sebelum berhasil dipisahkan oleh pemain Liverpool yang lain.  
         Dari rangkaian bentuk selebrasi di atas, mungkin yang paling memilukan adalah ketika sebuah perayaan kemenangan yang harusnya berlangsung bahagia, malah berujung menjadi sanksi, kerusuhan, bahkan hilangnya nyawa manusia sebagai efek yang ditimbulkan dari selebrasi tersebut.
         Mohammad Norsati, seorang pemain klub Persepolis asal Iran, mesti menyesali bentuk selebrasi yang ia lakukan sesaat setelah mencetak sebuah gol dalam laga lanjutan liga Iran. Ia mendapat denda sebesar 25 ribu pounds karena melakukan selebrasi dengan memegang bokong rekan setimnya seusai menjaringkan bola ke gawang Damash Gilan. Iran, yang tergolong sebagai negara Islam konservatif, menganggap aksi Norsati sebagai bentuk pelecehan seksual dan tidak pantas dilakukan karena pertandingan itu sendiri disiarkan secara nasional.
         Efek yang lebih ekstrim harus diterima Giorgos Katidis, pemain potensial dari klub AEK Athens, di liga Yunani. Karena selebrasi yang Katidis lakukan, ia mesti dijatuhi sanksi seumur hidup tidak boleh memperkuat timnas Yunani! Bukannya apa-apa, Katidis yang mencetak gol penentu kemenangan pada laga melawan Varia, secara mengejutkan menampilkan selebrasi dengan mengangkat tangannya lurus ke depan, percis seperti penghormatan dalam partai komunis NAZI. Pihak berwenang persepakbolaan Yunani tanpa ampun langsung menganggap apa yang dilakukan mantan kapten timnas U-19 Yunani tersebut sebagai tindakan keterlaluan dan tidak manusiawi, mengingat aspek psikologis dan moril yang masih melukai pihak keluarga korban holocauts yang mungkin menyaksikan ketika Katidis melakukan selebrasi dari partai yang terkenal dengan aksi genosida Yahudinya itu.
         Berbeda dengan Katidis dan Norsati yang “hanya” mendapat sanksi dari organisasi persepakbolaan negaranya masing-masing, Rogerio Pereira sudah “selangkah lebih maju” dengan menjadikan selebrasi yang ia lakukan sebagai pemicu perkelahian massal yang terjadi ketika timnya berlaga pada sebuah kompetisi regional Brasil. Melawan tim Brasilia, Pereira yang saat itu mencetak gol kelima untuk timnya, Ulbra, berlari ke arah suporter tim lawan. Bukan karena aksi berlarinya ke tribun lawan, namun gerak selebrasi yang ia tunjukkanlah yang kemudian memancing para pemain Brasilia mengeroyok Pereira secara massal. Pereira ditenggarai menirukan gerak tubuh salah satu pemain tim Brasilia, Claudio Millar, yang sebelumnya tewas dalam kecelakaan bus. Hal tersebut otomatis menyulut kemarahan pemain Brasilia yang serentak memukuli Pereira tanpa ampun. Tak berakhir di situ, skuad Ulbra tak tinggal diam dan balas menyerang pemain Brasilia. Bukan hanya pemain, namun offisial pelatih dan bahkan pemain cadangan pun ikut serta “meramaikan” perkelahian massal antar dua klub tersebut.
         3 kartu merah untuk tim Ulbra plus 4 kartu berwarna sama untuk pemain Brasilia akhirnya mengakhiri laga dalam damai.
         Jika seluruh rangkaian ilustrasi selebrasi sebelumnya kebanyakan berujung sanksi dan kericuhan, mungkin apa yang dialami Matthias Sindelar adalah yang paling memilukan karena selebrasi yang ia lakukan membuatnya harus rela mengucap selamat tinggal pada dunia. Ia tewas terbunuh.
         Matthias Sindelar bisa dikatakan sebagai “Ronaldo” pada masanya. Ia adalah pemain emas yang telah banyak menorehkan prestasi dalam sepakbola. Sampai pada tahun 1938, ketika itu perang dunia ke dua sedang berkecamuk dengan hebat, dan Jerman, dengan NAZI di belakangnya, rajin menginvasi untuk kemudian menganeksasi banyak negara, termasuk Austria, negara di mana Sindelar pernah terlahir dan hidup bahagia. Jerman sebagai penjajah berinisiatif mengadakan sebuah pertandingan sepakbola “pura-pura” dan “simbolis” antara Jerman melawan timnas Austria. Sindelar yang menjadi ujung tombak tim negara Austria, bersama rekan-rekannya yang lain, diinstruksikan untuk “bermain-main” dalam pertandingan itu demi menghormati Jerman sebagai pihak yang lebih kuat.
         Awalnya Sindelar mengikuti perintah tersebut, namun entah kerena semangat nasionalismenya yang kuat muncul, ia kemudian bangkit melawan dan akhirnya berhasil mencetak gol ke gawang Jerman. Sindelar langsung berlari ke arah barisan tribun yang diduduki oleh jajaran petinggi partai NAZI dan kemudian ia menari, dengan nekatnya, di depan mereka. Selebrasinya itu otomatis mendapat tatapan tajam super bengis dari pihak NAZI, dan seperti “sudah sewajarnya”, beberapa waktu kemudia, Matthias Sindelar ditemukan tewas terbunuh mengenaskan bersama kekasihnya di sebuah penginapan di Austria dan kuat diduga, NAZI ada di balik itu semua.

         Pesan nonverbal secara interpretatif memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan pesan berformat verbal dalam membubuhi arti. Berbagai makna pesan dapat ditarik dan disimpulkan oleh komunikan ketika sebuah gerak tangan, wajah atau bentuk stimuli kinetik lainnya diselipkan pesan-pesan tertentu yang melatarbelakangi motivasi pelakunya.
         Sepakbola sebagai “game of life” sering mendapat sorotan yang sangat luas akibat warna-warni selebrasi yang pemain lakukan sebagai bentuk manifestasi dari banyak hal-hal emosional, bukan hanya kebahagiaan, namun juga kemarahan, kesedihan, protes, pemberontakan, motivasi politis hingga aspek ada religi.
         Olahraga secara umum dan sepakbola secara spesifik, tak terlepas dari aktivasi pesan nonverbal dalam prosesnya, terutama dalam bentuk luapan emosi yang berbeda-beda antar satu pemain dengan yang lain.
         Kajian komunikasi olahraga memang sudah diapungkan sebagai bagian dari kegiatan akademis. Namun sifatnya yang masih sangat sempit belumlah cukup untuk mewakili banyak hal yang olahraga (terutama sepakbola) mampu sediakan bagi kaum akademisi untuk diteliti.
         Termasuk analisis komunikasi nonverbal dalam berbagai bentuk selebrasi yang pemain sepakbola lakukan yang sebenarnya memuat kajian historis, fungsional, karakteristik sampai pada etika komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar