Jumat, 30 November 2012

KEKONYOLAN (UMAT BER-) AGAMA


“KAFIR BANGSAT LOE. MANUSIA KOK DISEMBAH!!” Komentar seorang Muslim dalam sebuah page komunitas agama di situs jejaring sosial Facebook beberapa waktu yang lalu.

Tak mau kalah, dibalas lagi, “Onta guoblok. Agama plagiat!” kata seorang dengan akun Facebook-nya yang berfoto profilkan Sosok Yesus Kristus tengah disalibkan. Jelas itu identitas seorang Kristiani.

Setelahnya, barteran makian dengan lancar tersajikan.

Mulai dari nickname teman-teman di kebun binatang, sampai masalah teknis penjabaran substansi ayat, dari QS 13:3 surah An-Nissa hingga Yohanes 14:4 dibahas dengan kepanjangan-kelebarannya masing-masing.

Sungguh dahsyat.

Mungkin tafsiran mereka jauh lebih kompleks dari pada interpretasi  para penulis ayat-ayat itu sendiri.

Bukan Cuma sebiji-dua biji, tapi comment list semakin memanjang sampai angka 500-an.

Wuih...super sekali.

Dan hingga muncullah komentator baru dari akun yang kali ini memajang pic profil berbentuk banner “God is The Biggest Commedian”. 

Secara tekstual dia mengejek para pembuat komentar dari kedua kubu, si-Islam dan si-Kristen, dengan sebutan “Orang-orang tolol yang mabok dogma, bla.bla.bla.”

Mulailah dia bawa-bawa sains sebagai perbandingan antara kaum intelek yang anti-theis dengan para umat beragama yang katanya kebanyakan memelototi kitab-kitab usang produk purba kala. Dengan sombongnya, ia memuja kepintaran dan akal yang ia miliki tanpa harus terikat dengan konsep transendentalnya agama.

Ah, pokoknya panjang sekali. Makian brutal jadi nambah berpiring-piring lagi.

Saya lihat semua itu tanpa ikut berkomentar, apalagi sok-sok menengahi diantara kemirisan super yang saya rasakan.

Saya tengok jelas, bagaimana mereka dan argumen-argumen yang mereka postingkan menggambarkan betapa lancarnya mereka berbahasa Indonesia (walau ada yang alay-alay sedikit). Jadi nampaklah jelas bangsa apa mereka ini.

Tapi, beginikah wujud generasi muda yang katanya besar di tanah air Pancasila?

Yang katanya menjiwai Bhineka Tunggal Ika.

Hormat bendera merah putih di senin pagi saat upacara.

Oh, kasihan sekali jika masa depan Indonesia akan disesaki oleh orang-orang yang lebih bernafsu menghujat perbedaan dibanding aktif mencari solusi untuk bangkit dari keterbelakangan.

..Dan realitasnya semua masalah itu ternyata bersumber dari satu hal.

Yaitu:   Agama.   A-g-a-m-a.

Agama—seperti yang kita ketahui—adalah gudang di mana kebaikan terdistribusi melalui konten yang disajikan di dalamnya kepada setiap manusia yang percaya adanya kausalitas antara perbuatan dan hasil yang didapat kelak, ditambah keyakinan jika terdapat kekuatan adikodrati yang mengatur siklus kehidupan yang ada.

Namun, agama juga—seperti yang kita harus akui—adalah distributor gede-gedan bencana bagi manusia itu sendiri. Dan TUHAN, sebagai “Oknum” protagonis yang dipuja-puji, bisa menjadi Si-antagonis yang menjadi Sumber dari segala sumber bencana di lain hari.

Jangan labeli saya kafir, sinting, antek-antek  Ilumminati atau penentang Tuhan, tapi ada alasannya jika saya mengatakan kalau agama adalah salah satu—jika tak bisa dibilang satu-satunya—mesin pembunuh terbesar yang pernah ada di muka bumi.

Mengapa?

Pernah saya baca pada sebuah artikel (lupa sumbernya :p) yang memuat hasil sebuah survey independen berisikan data mengejutkan kalau “basis terbesar terjadinya kejahatan kemanusiaan terutama perang dan akhirnya menghasilkan korban dengan kuantitas terbanyak  dilandasi oleh konflik antar agama”

Gak percaya?

Coba lihat, genosida etnis Muslim Bosnia yang dilakukan oleh orang Serbia yang memakan entah berapa banyak korban. Mulai dari hasil pembunuhan, perkosaan, sampai penyiksaan massal. Ada yang mengatakan walau masalah ini cenderung terjadi dalam area politik, namun tetap saja ada semangat sentimen agama yang mendasarinya. Lalu dilanjutkan dengan serangan bunuh diri teroris radikal Islam di gedung World Trade Center, Amerika Serikat, (sebutan kerennya 11/11: Black September) menghasilkan ribuan jasad yang tak bernafas seketika. Lagi-lagi semangat agamalah yang diusung oleh oknum teroris tersebut dalam melakukan kejahatan keji itu, dan mirisnya hal tersebut merembes semakin luas ketika itu dijadikan alasan untuk mendiskriminasi umat Muslim di banyak negara dan tentunya pendiskreditan sektarian ini sudah memakan banyak korban (lihat: “My name is Khan”)

Di India, Islam vs Hindu, pernah jontok-jontokan berdarah karena rebutan tanah suci, diikuti juga konflik raksasa antar umat Hindu melawan pengikut Sikh.
Islam vs Yahudi secara mengglobal mengikrarkan permusahan di antara umatnya. Belum lagi Katolik vs Protestan di Irlandia penggal-penggalan karena perbedaan mahzab. Pembantaian missioanaris di China, Syiah vs Sunni yang belum juga berakhir di beberapa negara Arab dan yang paling tersohor sekaligus menjadi salah satu perang terbesar dalam sejarah galaksi ini, Perang Salib, antara Umat Muslim dan Kristiani yang berebut akuisisi tanah Yerussalem. Bahkan perang ini berlangsung dalam episode-episode panjang selama berabad-abad lamanya.

Indonesia? Sama saja. Segar di ingatan saat Poso berdarah memburamkan hubungan antar umat beragama di negeri ini.

Daftar tadi bisa jauh lebih panjang lagi isinya. Namun dari semua itu, terjadinya hal tersebut utamanya mengikutkan satu kompisisi penyebab utama yang sama, ga jauh beda: AgAmA.

Sering saya dengar dalam ceramah-ceramah Ulama, Pendeta, atau tokoh-tokoh agama lainnya, menyatakan  jika “agama” adalah sebuah produk ‘kedamain’.

Betulkah?

Menurut saya itu semua hanya omong kosong.

Kekeliruan sebenarnya terlalu besar buat ditutup-tutupi.

Agama, walau banyak berbicara soal kesetaraan umat manusia di mata Tuhan, tapi tetap saja agama secara transparan dan jelas memuat KEBURUKAN akan adanya heterogenitas kepercayaan. Perbedaan nyatanya adalah musuh utama hampir setiap agama besar. Tak percaya? Lihat saja Anda yang Muslim, mengkafirkan orang-orang yang non-Muslim kan? Saya dan seluruh umat Protestan di seluruh dunia punya Tuhan yang menutup akses ke surga bagi mereka yang tidak memercayai ke-Tuhan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Jalan keselamatan.

Yahudi, Hindu, bahkan penyembah sayuranpun juga sama, Tuhan mereka tak disembah, tamatlah sudah, neraka hadiahnya.

Intinya kafir itu konotasi dari tingkatan atau derajat manusia. Semacam kasta. Benarkah semua manusia sama di mata Tuhan? Tidak.. Tergantung agamanya apa. Kalau saya Kristen, saya lebih beruntung dari yang non-Kristen. Kalau saya Muslim, saya lebih punya modal kesurga dari pada orang non-Muslim. Kalau saya ini, kalau saya itu.

Sejak lahir,  saya, anda, dia, Luna Maya, kita, sudah menjadi calon penghuni neraka dari ribuan agama.
Klaim kebenaran adalah sisi yang tak terlepas dari ajaran agama apapun yang ada di dunia.

Bicara soal “kebenaran”, saya pernah mendapat kuliah Filsafat Ilmu yang bertepatan sedang memasuki materi penjelasan tentang apa itu “kebenaran.”

“Ada tiga sumber kebenaran,” kata sang dosen “..pertama dari filsafat. Kedua dari ilmu pengetahuan. Dan yang terakhir kebenaran yang berasal dari agama.”

“Kebenaran yang berasal dari filsafat,” lanjutnya lagi “..bersifat relatif adanya. Begitu juga dengan yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Kebenaran yang dihasilkannya hari ini bisa saja berubah suatu saat nanti. Dinamis. Sedangkan, kebenaran yang dari agama, itulah yang bersifat absolut. Karena semua substansinya sudah melalui proses pewahyuan Tuhan,” tutupnya.

Pada poin ini, kontan saja saya merasa sang dosen sudah sangat keliru mendeskripsikan tentang apa itu “kebenaran”.

Benarkah kebenaran yang bersumber dari agama absolut sifatnya? Yang paling benar?

Nehi..

Dia mungkin lupa, kalau jumlah agama di wajah bumi ini bukan cuma satu, dua atau tiga.

Ada ratusan, ribuan bahkan mungkin ratusan ribu kepercayaan yang melabeli diri sebagai agama.

Dan faktanya, setiap agama mengklaim diri sebagai “yang terbenar”, “yang terbaik”, dan “yang ter-ter” lainnya. Itu memang sifat subjektifitas agama. Jadi masih masuk akalkah pendapat yang menyatakan jika agama ialah sebagai sumber kebenaran terabsolut? Argumen itu otomatis gugur jika melihat fakta

“Apa yang menjadi kebenaran di agamaku belum tentu benar di agamamu.”        

Bahkan kejahatan universal seperti jangan “membunuh”, “berzinah”, “mencuri”, dsb bisa menjadi kebenaran di kepercayaan tertentu. Tak percaya?

Islam menghalalkan penghilangan nyawa sesama manusia jika dalam keadaan perang dan daerahnya mendapat agresi dari pihak luar. Itu ada dalam konsep Jihad. Benarkah? Tentu benar dalam ajaran Islam tapi ini bisa salah di dalam sistematika agama lain yang mengharamkan pembunuhan dengan alasan apapun.

Puputan di Bali pada masa penjajahan Belanda adalah sebutan bagi perang suci tanpa senjata oleh umat Hindu, saat invasi kompeni ke wilayah mereka. Dengan santai, pasukan Belanda menembaki mereka tanpa perlawanan. Ini jelas bunuh diri. Tapi ini dibenarkan dalam  agama Hindu. Benarkah tindakan tersebut dalam ajaran lain?

Tentu tidak.  Islam, Kristen dan beberapa agama besar lainnya tanpa tawar-tawar menempatkan orang-orang yang mati bunuh diri dalam basuhan api neraka.

Zinah. Dilarang dalam banyak agama di dunia. Namun dalam salah satu ritual agama yang masih tetap eksis sampai sekarang, ada sebutan “Hieros Gamos” (pernah dibahas di novel Da Vinci Codenya Dan Brown). Saya tak perlu ceritakan gimana jalan ritualnya kan? :D. Intinya ritual ini meng”ehek-ehekkan” seorang pria dan wanita sampai terjadilah...orga..sme, dan bagi beberapa ajaran, orgasme adalah jalan menuju Tuhan. 

Menjijikkan? Namun itulah kebenaran yang mereka percayai.

Jadi seperti yang harus kita akui, agama bukanlah sumber kebenaran yang absolut jika coba ditelaah secara objektif, walaupun itu berasal dari Yesus, Allah Ta’Ala, Sidharta, ataupun Dewa Matahari Shinto.

Jadi, dosenpun manusia. Dosenpun bi(a)sa salah. (pada akhir semester, saya dapat nilai C dari mata kuliah Filsafat Ilmu T.T)

..Agama memang diciptakan untuk membaikkan—seperti api—ia juga bisa memusnahkan.

Saya percaya, saat manusia saling mengkafirkan sesama dalam konstelasi  pluralisme, membenci manusia yang tak beridentitas serupa dengannya, membunuh hanya karena berbeda, sebenarnya mereka sedang mengoblok-gobloki Tuhannya sendiri.

Kenapa?

Karena Tuhan menciptakan segalanya. Tuhan menciptakan perbedaan. Walau sampai sekarang saya nggak ngerti kenapa Tuhan menciptakan kemajemukan dalam aspek agama.... tapi di lain sisi Dia juga malah menghukum mereka yang menyembah Tuhan yang A, Tuhan yang B, Tuhan yang mana??, namun saya percaya ada alasan-alasan tertentu yang Tuhan ingin deskripsikan pada manusia tentang itu semua. “Semua hal yang ada di jagad raya punya penjelasannya sendiri” kata Einstein

Seperti sinetron, hidup tak akan berwarna tanpa konflik, kita tak akan pernah menghargai apa itu kebaikan seandainya kita tak pernah tahu apa itu kejahatan. Yin dan Yang. Keseimbangan.

Bukan Cuma hitam dan butih, tapi seperti pelangi, hidup itu warna-warni.

Mungkin saja agama adalah hal yang paling banyak dikonsumsi dalam sejarah umat manusia. Tapi berapa banyakkah umat beragama yang telah mengamalkan ajaran-ajaran agamanya?

Seperti kata seorang Kakak pembimbing saya dalam sebuah kegiatan rohani, “mungkin jumlah penganut Kristen bermiliar-miliar jumlahnya di dunia, tapi yang sudah benar-benar menjadikan esensi ajaran Kristen sebagai pegangan yang kuat dalam hidupnya, mengaplikasikan perintah Tuhan dengan moralitas Kristus? Jumlahnya mungkin hanya tak lebih dari 10% , atau mungkin kurang dari itu.”

Manusia beragama sekalipun tetaplah punya potensi besar menjadi “homo homini lupus”. Spesies Homo Sapiens bisa lebih kejam dari genus serigala atau jauh melewati kanibalisme ular Cobra.

Intinya, perbedaan adalah fakta. Namun menuntut terjadinya perdamaian global sama seperti bermimpi tapi tak pernah bangun kembali. Itu tak akan pernah terjadi.

Namun bukan berarti peradaban manusia harus menyerah pada disintegrasi yang disebabkan oleh agama. Paling tidak jadilah salah satu manusia yang mengetahui indahnya toleransi.

Kita tak akan pernah mampu hidup seimbang tanpa adanya intervensi proses interaksi dalam lingkup ke-Bhinekaan.

“Lakum dinukum Waliadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku”, kata-kata bijak nabi besar umat Islam, Muhammad SAW. Perintah jelas untuk menghormati segala perbedaan keyakinan, sekonyol apapun itu. Karena sejak awal manusia memang tercipta sebagai entitas unik yang bahkan setiap mikro bagian tubuhnya tidak ada yang sama dengan yang lain. Apa lagi dalam aspek pola pikir.

“Kasihilah sesamamu seperti kau mengasihi dirimu sendiri” Yesus berkata pada umat-umat-Nya. “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Lukas 6:13)

Yup, biarkanlah siapapun mencari kebenaran masing-masing untuk menuju jalan-Nya, yang bukan berarti membuat kita melihat mereka sebagai manusia yang berkasta beda dengan kita.

Silahkan berdakwah atau silahkan bersaksi, tentang hebatnya Tuhanmu kepada siapa saja, kalau dia mau mengakuinya, ya bagus, kalau menolak jangan putuskan sinergi.

Jangan seperti di Aceh, saat seorang pendeta malah dipenjarakan karena membaptis mereka yang ingin memeluk agama Kristen secara sukarela, jangan seperti di India, saat para pendakwah Islam di bantai hanya karena menyebarkan berita baik yang ia punya, atau di negara-negara oriental di masa lalu, saat missioanaris atau mubalig dikejar-kejar hanya karena coba mengiklankan ajaran mereka.

Biarlah saya dan dia berbeda Tuhan, bukan berarti jaring permusuhan ditebar sebagai alasan perbedaan.

Manusia adalah spesies yang paling dikasihi oleh Tuhan, setiap agama percaya itu

“..suatu keadaan yang tidak menyenangkan, bagaimana saya melakukan hal yang sama terhadap orang lain?” (Samyutta Nikkatya v. 353).

“Jangan sakiti orang sebagaimana itu menyakitimu” (Udana-Varga)
-Buddha-

“Kau tidak boleh berlaku kepada orang lain hal yang tidak kau sukai sendiri”
Mencius Vii.A.4

“inilah kesimpulan Dharma [tugas]: Jangan perlakukan orang lain sehingga menyakitimu jika hal yang sama dilakukan padamu.”

Mahabharata  5:15:17
-Hindu-

“..cintailah tetanggamu seperti  kau mencintai diri sendiri”
Leviticus 19:18

“Apa yang kau benci, jangan perlakukan terhadap orang lain. Ini hukum (paling penting).” Talmud Shabbat 31a.

“And what you hate, do not do to any one” Tobbit 4:15
-Yahudi-

Tg. Morawa, Rabu 22 Agustus 2012

2 komentar:

  1. Saya rasa,.. masalahnya bukan soal agama,.. tapii hanya satu agama yg menjadi sumber masalah dia juga punya prinsif paling beda sehingga mengganggu yg lain ...

    BalasHapus
  2. Bali, tampa agama.. tidak mungkin sampai seperti saat inii,.. menurut saya agama adalah sesuatu yg indah,.. semua masalah yg km paparkan, penyebabnya hanya satu agama, ... agama tersebut punya keyakinan yg paling beda dari agama2 lain..

    BalasHapus