SEGMENTATION, TARGETING DAN POSITIONING DALAM SEBUAH PRODUK
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
NAMA: ARDI WINATA
L. TOBING
NIM: 110904045
DEPARTEMEN: ILMU KOMUNIKASI
Setiap produk
(hampir) seluruhnya memerlukan perhitungan segmentasi, target dan pemosisian
yang matang agar mampu tetap survive
di tengah-tengah persaingan pasar yang sangat menuntut produsen jeli dalam
membaca tingkah laku konsumen.
Berikut, saya
telah muat 5 buah produk yang sudah memiliki eksistensi di “pasaran” dan
dilengkapi dengan pembahasan singkat mengenai aspek segmentation, targeting dan positioning.
1. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama.
Sudah menjadi
rahasia umum jika Politik dan segala bentuk “ritual”nya telah menjadi—dalam
artian yang harfiah—barang dagangan yang giat ditawarkan pada para “konsumen”
dengan memakai berbagai sistem maupun kaidah pemasaran seperti yang dilakukan
oleh para produsen pada umumnya.
Idola |
Yang terbaru,
pada pagelaran Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu,
terlihat jelas bagaimana politik telah menunjukkan sifatnya yang memang harus
ahli dalam “menjual diri” agar mampu mendulang profit sebanyak mungkin dari
pihak pembeli, dalam hal ini adalah para pemilik suara.
Jokowi, sapaan
akrab Joki Widodo, dan A Hok (nickname
milik Basuki Tjahaja), merupakan contoh cerdas bagaimana sebuah produsen (baca:
Tim sukses dan Partai) mampu membaca pasar perpolitikan negeri ini.
Sadar produk
bergenre “pemimpin berkualitas” sangat langka jumlahnya di Indonesia, PDI-P dan
Gerindra dengan cekatan mengusung varian baru yang dikesankan sebagai “barang” limited edition pada penduduk Jakarta
yang (seperti biasanya) merasa gagal menemukan realisasi janji dari pemimpin
sebelumnya.
Dengan
memanfaatkan kekuatan raksasa bernama Media Massa, Partai dan Tim Sukses, akhirnya produk
bermerek “Jokowi-A Hok” sukses menginjeksikan persepsi masyarakat dengan rangkaian
citra positif mengenai pasangan ini yang dibangun perlahan namun efektif.
Segementasi
produk memang terlihat memprioritaskan masyarakat kalangan menengah ke bawah
yang menjadi basis suara terbesar, namun jangan salah, para public figure (yang merupakan golongan high class) juga terang-terangan menggalang
dukungan dan berhasil terpersuasi jargon “Jakarta baru” milik pasangan no. 3
tersebut. Jadi bisa dikatakan, Jokowi-A Hok, secara universal mampu diterima
oleh seluruh golongan masyarakat tanpa terkecuali.
Produk
saingan, yaitu Foke-Nara, sudah gagal melihat celah ini. Mereka akhirnya galau
sendiri setelah melakukan blunder fatal dengan melempar isu-isu SARA ditambah
lagi kecerobohan memamerkan sikap arogansi yang absolutly menjadi santapan mantap para awak media yang segera saja
mengeksposenya sedetail mungkin dan tentunya hal ini dengan mudah menjadi alat
pencipta persepsi buruk masyarakat pada pasangan incumbent itu.
Dari segi targeting, tentu saja ke dua Tim Sukses dari
masing-masing calon telah memperhitungkan iklim medan pertarungan. Dengan
memanfaatkan jasa lembaga survey dan berkaca pada hasil pertandingan di Leg I, dua peserta ini sudah memetakan
kantung-kantung suara yang menjadi basis penyumbang angka terbanyak bagi
masing-masing di antara mereka.
Dua arus utama
prediksi menunjukkan dikotomi argumen tentang siapa yang akan menjadi the last man standing pada pemilu kali
ini.
Arus pertama
meyakini jika Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli memiliki probabilitas kemenangan
yang jauh lebih tinggi dibandingakan lawannya. Argumen ini didasari dengan
hadirnya koalisi partai-partai raksasa yang ada di belakang Foke-Nara. Bala
bantuan si-Kumis ini sempat mengapungkan anggapan publik jika sedang ada
pertarungan antara gajah dan semut di Jakarta. Analogi yang menggambarkan bagaimana
sengitnya pertempuran di antara petarung yang memakai strategi serangan yang
jauh berbeda. Partys power melawan People power.
Arus argumen
ke dua beranggapan lain. Kelompok ini menyatakan jika Jokowi dan A Hok-lah yang
akan menjadi pemenang mutlak pemilukada musim ini. Alasannya? Pemimpin lama
sudah waktunya malu dengan segala retorika masa lalunya. Dan sebagai pelengkap,
mereka membuat prediksi presentasi kemengan Jokowi-A Hok mencapai 70:30, 75:25
bahkan ada yang beranggapan 90% suara sudah ada di kantong balon No. 3.
Namun perkiraan tetaplah hanya
sebuah spekulasi yang tak jarang menuai kegagalan. Di akhirnya, dukungan partai
belumlah cukup untuk memenangkan pemilihan kali ini. Namun arus ke dua juga
tebukti keliru membuat perkiraan. Pasangan Jokowi-Ahok “hanya” unggul tipis
dari sang petahana, Fauzi Bowo.
Tapi di balik
pertarungan yang melelahkan itu, kemenangan pemipin baru ini disambut gegap
gempita oleh rakyat Jakarta. Pasangan Jokowi-A Hok memang jago memanfaatkan
segala sumber daya yang ada. Mulai dari berbagai iklan kreatif, penggunaan
situs jejaring sosial sampai pada cara unik dengan me-release game bertemakan visi dan misi ke depan pasangan ini.
Positioning
tersebut terbukti mampu merebut hati masyarakat. Jokowi berhasil
digambarkan sebagai sosok pemimpin yang merakyat, melayani dan bukan dilayani,
sederhana, penuh dengan kebijakan kontroversial yang positif dan memihak
masyarakat kecil ditambah lagi pengakuan internasional yang memasukkannya dalam
nominasi walikota terbaik dunia!
Pemasaran yang benar-benar
profesional.
2. Agama
Kristen,
Islam, Buddha dan ratusan bahkan ribuan jenis kelompok agama lainnya yang ada
di bumi ini merupakan sebuah “produk”.
Manusia (walau tidak seluruhnya)
mempercayai adanya aspek lain dalam kehidupannya, yang berada di luar nalar dan
kemampuan berpikir yang kemudian menjadi kebutuhan rohaniah tersendiri hingga
terciptalah produk bernama “agama”.
Transendentalitas tadi secara
besar-besaran memunculkan berbagai aliran kepercayaan yang bersifat ketuhanan
di seluruh dunia dan secara langsung telah menjadi produk yang dipasarkan pada
para “konsumen” yang membutuhkan.
Sejak lama, segementasi
agama sendiri bersifat universal, dalam artian agama dipasarkan kepada siapa
saja yang memerlukan dan tentu saja setiap umat dalam sebuah agama memiliki
latar belakang yang heterogen.
Targeting agama memang
berbeda-beda dan terkesan tak bisa dijabarkan dalam angka karena sifatnya yang
tersiar secara acak. Namun pada kondisi tertentu, penyebaran agama dapat
dilakukan secara sistematis dan terkonsep dalam segi kuantitas individu yang
akan “diagamakan”.
Berbagai survei rutin dilakukan
untuk mengetahui jumlah penganut agama-agama di dunia. Dan survei ini
menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan jumlah umat pada agama tertentu.
Hal ini disebakan oleh beberapa hal. Misalnya citra penganut dan perilaku
tokoh-tokoh rohaniawan yang bisa menjadi indikator segaligus sebagai
katalisator bertambah atau berkurangnya jumlah penganut agama-agama tersebut.
Positioning adalah aspek
terpenting dari sukses diterimanya sebuah ajaran agama. Walaupun agama yang
waras secara substansi megandung ajaran-ajaran kebaikan, namun tetap saja
terdapat persaingan untuk menjadikan citra bahwa agamanyalah yang terbenar.
Subjektifitas agama menjadi landasannya.
“Perlombaan jaring-menjaring” ini
sendiri dilakukan dengan banyak cara. Seperti contohnya pemasaran agama Islam
yang disebut sebagai kegiatan dakwah, atau hal yang sama yang juga dilakukan
dalam agama Kristen dengan misi misionarisnya dan begitu juga pada ajaran agama
yang lain. Pemasaran sendiri dilakukan melalui banyak media, misalnya
penggunaan media massa seperti televisi, koran, dll. Terkadang juga melalui
pernikahan, maupun lewat “kesan” yang ditimbulkan dari bantuan sosial pada even tertentu. Hal tersebut bertujuan
agar secara intens setiap individu mampu mengenal citra agama-agama tersebut
berikut vitur-vitur keunggulan tertentu yang dikomunikasikan dengan baik oleh
para penyebarnya. Misalnya saja, agama Kristen menonjolkan ajaran “kasih”, lalu
ajaran Buddha menekankan pada keselarasan antara umat manusia dengan alam, dan
sebagainya.
3. Kondom “Sutra”
Aktifitas
seksual merupakan kebutuhan tersendiri bagi umat manusia. Namun segala bentuk
hawa nafsu manusia yang tak terkendali tentu bersahabat dekat dengan bahaya.
Saat kegiatan seks telah merambah terlalu “jauh”, berbagai penyakit ganas telah
ikut menghiasi keberadaannya. HIV/AIDS, Sipilis, dkk. menjadi momok menyeramkan
yang telah menghantui setiap pasangan yang ingin melampiaskan dorongan
syahwatnya. Untuk itulah
kondom terlahir ke dunia.
Benda berbahan
karet yang umumnya berbentuk transparan ini menjadi tameng bagi mereka-mereka
yang gemar bergonta-ganti pasangan dalam kegiatan seksualnya.
Selain meminimalisir kontaminasi
penyakit-penyakit mematikan, kondom juga akrab bagi pasangan suami istri yang
menjalankan program Keluarga Berencana. KB semakin berjalan lebih lancar dengan
adanya bantuan si-kondom ini.
Dari berbagai varian merek kondom
yang ada, Sutra merupakan salah satu produk kondom yang paling dikenal oleh
publik berkat gencarnya produsen produk ini mengiklankan diri di berbagai media
massa.
Bukan hanya pada jam-jam “dewasa”, iklan Sutra bahkan pernah ditayangkan
pada masa jam tontonan anak di bawah umur.
Dengan mengontrak Julia Perez,
yang merupakan salah satu aktris vulgar tanah air, sebagai brand ambasador-nya, Sutra semakin menguatkan kesan sensualitas
yang dimiliki oleh produknya.
Segmentasi konsumen, ditujukan kepada semua kalangan yang mengharapkan
perlindungan dari segala risiko yang bisa saja terjadi dari hubungan seks, baik
untuk pasangan legal maupun aktifitas seks yang ilegal sekalipun...
Untuk targeting sendiri, tidak
ada data yang jelas. Kemungkinan pasar di Indonesia dengan perilaku konsumennya
yang (semoga) masih memegang tradisi ke-timuran dan seks yang masih dianggap
sebagai hal tabu, penjualan produk Sutra mungkin masih dilakukan secara “tertutup”.
Namun dengan program KB yang sedang digalakkan oleh pemerintah, ditambah lagi
kesadaran masyarakat Indonesia mengenai bahaya yang ditimbulkan dari
penyakit-penyakit akibat aktifitas seks yang kurang sehat, bisa membuat pangsa
pasar produk kondom Sutra di pasaran meningkat pesat. Mungkin 500.000
item/tahun?.
“Lebih
kuat, lebih lama, makin OK” adalah tagline
yang diusung kondom Sutra. Entah apapun arti dari trio semboyan itu, para
konsumen yang telah ‘mahir’ dalam segala bentuk metafora iklan, tentu memahami positioning
apa yang ingin Sutra deskripsikan pada para konsumennya.
4. BWIN
Judi merupakan salah satu industri
besar yang telah mewabah di banyak negara, bahkan mungkin hampir terekspansi di
seluruh dunia.
‘Olahraga’ judi
digemari oleh banyak kalangan. Selain karena dapat mengadu ketangkasan dalam
memprediksi, pemain juga dapat menghasilkan profit dari aktifitas berjudi.
Dilihat dari segementasi korban (baca: konsumen)
yang diincar, bwin tentu menargetkan golongan konsumen dari kalangan atas
yang kebingungan mengalokasikan uangnya yang berlebih agar memilih bertaruh di
atas meja judi. Namun beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca tulisan bloger-bloger
yang menyatakan jika mereka juga ikut meramaikan pasar judi di situs bwin
walaupun dengan dana pas-pasan dan hanya memasang nominal kecil dalam bermain.
Jadi bisa dikatakan, kalangan menengah juga tak mau kalah keren dalam berjudi
online.
Targeting
jumlah konsumen sendiri, saya yakini, sangatlah besar. Karena seperti yang
tercantum di wikipedia, pendapatan bwin pada tahun 2010 saja mencapai $
357, 3 juta dengan laba bersih menembus angka $ 46,3 juta!
bwin
tentu tak melakukan transaksi dalam ruang gelap, karena di banyak negara, judi
sudah menjadi barang legal yang bebas dimainkan oleh siapa saja. “The world’s leading name in online betting
and real money gaming” adalah tagline
positioning yang diusung oleh bwin. Hal ini menunjukkan superioritas mereka
sebagai situs judi online terbesar
jagad raya. Dari segi laba per tahun yang didapatkan plus keberanian mereka
untuk jor-joran mengucurkan dana wah demi menggaet klub sebesar Real Madrid
sebagai sponsor resmi dan kemampuan mereka mendanai even besar olahraga kelas satu dunia, telah lebih dari cukup untuk
mengintimidasi lawan dari produk serupa sekaligus sebagai “pemanis” yang
meyakinkan konsumen akan kehebatan pelayan bwin.
5. Bintangin
Orang Bejo Minum Ini Katanya |
“Orang bejo masih lebih untung dari
orang pintar” kata Butet Kertaradjasa sambil menyeruput produk Bintangin dengan
nikmatnya. Siapa yang jeli, pasti tahu makna di balik kalimat tersebut.
Serang-menyerang antar kompetitor dalam balutan iklan di media massa bukanlah
trend baru di dunia marketing. Sejak lama, teknik ini sudah digunakan beberapa
produsen untuk menyerang produk sejenis yang dianggap sebagai pesaing besar
mereka. Tapi saya tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh lagi karena harus
fokus pada pembahasan produk.
Bintang
Toedjoeh merupakan salah satu produsen jamu (atau produk-produk kesehatan
lainnya) yang terbesar di Indonesia dan Bintangin merupakan varian terbaru yang
direlease kepada publik.
Dilihat dari
segi harga yang berada di kisaran Rp 1000,-/pieces, segmentasi produk
sepertinya jelas menyasar konsumen menengah ke bawah. Namun walau dengan harga
terjangkau. Bintangin tetap punya komitmen low
price high quality untuk setiap produknya...setidaknya itu saya ketahui
dari penjelasan iklannya.
Untuk targeting,
kita bisa mendasarkan pada kehadiran produk ini di berbagai tempat ditambah
lagi dengan harga produknya yang tergolong ramah bagi kantong siapa saja, tak
mengejutkan jika jutaan bungkus Bintangin telah dikonsumsi oleh masyarakat
setiap tahunnya.
Tidak terlihat
jelas positioning apa yang ingin dibangun oleh produsen terharap
konsumen tentang produk Bintangin. Hanya sepenggal kalimat, “untuk tolak angin,
tak mesti pintar” yang saya tangkap sebagai penekanan keunggulan produk yang
secara umum sama seperti jenis produk bertemakan jamu-jamuan semacamnya.
Mungkin produsen ingin menunjukkan kesederhanaan yang dimiliki dari segi konsep
dan merakyat dari segi harga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar