Sabtu, 08 Desember 2012

CONTOH (EDAN) SEGMENTATION, POSITIONING, DAN TARGETING DALAM KOMUNIKASI PEMASARAN

SEGMENTATION, TARGETING DAN POSITIONING DALAM SEBUAH PRODUK

D
I
S
U
S
U
N

OLEH :

NAMA: ARDI WINATA L. TOBING

NIM: 110904045

DEPARTEMEN: ILMU KOMUNIKASI


Setiap produk (hampir) seluruhnya memerlukan perhitungan segmentasi, target dan pemosisian yang matang agar mampu tetap survive di tengah-tengah persaingan pasar yang sangat menuntut produsen jeli dalam membaca tingkah laku konsumen.
Berikut, saya telah muat 5 buah produk yang sudah memiliki eksistensi di “pasaran” dan dilengkapi dengan pembahasan singkat mengenai aspek segmentation, targeting dan positioning.

1. Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama.

Sudah menjadi rahasia umum jika Politik dan segala bentuk “ritual”nya telah menjadi—dalam artian yang harfiah—barang dagangan yang giat ditawarkan pada para “konsumen” dengan memakai berbagai sistem maupun kaidah pemasaran seperti yang dilakukan oleh para produsen pada umumnya.
Idola
Yang terbaru, pada pagelaran Pemilihan Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, terlihat jelas bagaimana politik telah menunjukkan sifatnya yang memang harus ahli dalam “menjual diri” agar mampu mendulang profit sebanyak mungkin dari pihak pembeli, dalam hal ini adalah para pemilik suara.
Jokowi, sapaan akrab Joki Widodo, dan A Hok (nickname milik Basuki Tjahaja), merupakan contoh cerdas bagaimana sebuah produsen (baca: Tim sukses dan Partai) mampu membaca pasar perpolitikan negeri ini.
Sadar produk bergenre “pemimpin berkualitas” sangat langka jumlahnya di Indonesia, PDI-P dan Gerindra dengan cekatan mengusung varian baru yang dikesankan sebagai “barang” limited edition pada penduduk Jakarta yang (seperti biasanya) merasa gagal menemukan realisasi janji dari pemimpin sebelumnya.
Dengan memanfaatkan kekuatan raksasa bernama Media Massa, Partai dan Tim Sukses, akhirnya produk bermerek “Jokowi-A Hok” sukses menginjeksikan persepsi masyarakat dengan rangkaian citra positif mengenai pasangan ini yang dibangun perlahan namun efektif.
Segementasi produk memang terlihat memprioritaskan masyarakat kalangan menengah ke bawah yang menjadi basis suara terbesar, namun jangan salah, para public figure (yang merupakan golongan high class) juga terang-terangan menggalang dukungan dan berhasil terpersuasi jargon “Jakarta baru” milik pasangan no. 3 tersebut. Jadi bisa dikatakan, Jokowi-A Hok, secara universal mampu diterima oleh seluruh golongan masyarakat tanpa terkecuali.
Produk saingan, yaitu Foke-Nara, sudah gagal melihat celah ini. Mereka akhirnya galau sendiri setelah melakukan blunder fatal dengan melempar isu-isu SARA ditambah lagi kecerobohan memamerkan sikap arogansi yang absolutly menjadi santapan mantap para awak media yang segera saja mengeksposenya sedetail mungkin dan tentunya hal ini dengan mudah menjadi alat pencipta persepsi buruk masyarakat pada pasangan incumbent itu.
Dari segi targeting, tentu saja ke dua Tim Sukses dari masing-masing calon telah memperhitungkan iklim medan pertarungan. Dengan memanfaatkan jasa lembaga survey dan berkaca pada hasil pertandingan di Leg I, dua peserta ini sudah memetakan kantung-kantung suara yang menjadi basis penyumbang angka terbanyak bagi masing-masing di antara mereka.
Dua arus utama prediksi menunjukkan dikotomi argumen tentang siapa yang akan menjadi the last man standing pada pemilu kali ini.
Arus pertama meyakini jika Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli memiliki probabilitas kemenangan yang jauh lebih tinggi dibandingakan lawannya. Argumen ini didasari dengan hadirnya koalisi partai-partai raksasa yang ada di belakang Foke-Nara. Bala bantuan si-Kumis ini sempat mengapungkan anggapan publik jika sedang ada pertarungan antara gajah dan semut di Jakarta. Analogi yang menggambarkan bagaimana sengitnya pertempuran di antara petarung yang memakai strategi serangan yang jauh berbeda. Partys power melawan People power.
Arus argumen ke dua beranggapan lain. Kelompok ini menyatakan jika Jokowi dan A Hok-lah yang akan menjadi pemenang mutlak pemilukada musim ini. Alasannya? Pemimpin lama sudah waktunya malu dengan segala retorika masa lalunya. Dan sebagai pelengkap, mereka membuat prediksi presentasi kemengan Jokowi-A Hok mencapai 70:30, 75:25 bahkan ada yang beranggapan 90% suara sudah ada di kantong balon No. 3.

Namun perkiraan tetaplah hanya sebuah spekulasi yang tak jarang menuai kegagalan. Di akhirnya, dukungan partai belumlah cukup untuk memenangkan pemilihan kali ini. Namun arus ke dua juga tebukti keliru membuat perkiraan. Pasangan Jokowi-Ahok “hanya” unggul tipis dari sang petahana, Fauzi Bowo.
Tapi di balik pertarungan yang melelahkan itu, kemenangan pemipin baru ini disambut gegap gempita oleh rakyat Jakarta. Pasangan Jokowi-A Hok memang jago memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Mulai dari berbagai iklan kreatif, penggunaan situs jejaring sosial sampai pada cara unik dengan me-release game bertemakan visi dan misi ke depan pasangan ini.
Positioning tersebut terbukti mampu merebut hati masyarakat. Jokowi berhasil digambarkan sebagai sosok pemimpin yang merakyat, melayani dan bukan dilayani, sederhana, penuh dengan kebijakan kontroversial yang positif dan memihak masyarakat kecil ditambah lagi pengakuan internasional yang memasukkannya dalam nominasi walikota terbaik dunia!
Pemasaran yang benar-benar profesional.


2. Agama




Kristen, Islam, Buddha dan ratusan bahkan ribuan jenis kelompok agama lainnya yang ada di bumi ini merupakan sebuah “produk”.

Manusia (walau tidak seluruhnya) mempercayai adanya aspek lain dalam kehidupannya, yang berada di luar nalar dan kemampuan berpikir yang kemudian menjadi kebutuhan rohaniah tersendiri hingga terciptalah produk bernama “agama”.

Transendentalitas tadi secara besar-besaran memunculkan berbagai aliran kepercayaan yang bersifat ketuhanan di seluruh dunia dan secara langsung telah menjadi produk yang dipasarkan pada para “konsumen” yang membutuhkan.
Sejak lama, segementasi agama sendiri bersifat universal, dalam artian agama dipasarkan kepada siapa saja yang memerlukan dan tentu saja setiap umat dalam sebuah agama memiliki latar belakang yang heterogen.

Targeting agama memang berbeda-beda dan terkesan tak bisa dijabarkan dalam angka karena sifatnya yang tersiar secara acak. Namun pada kondisi tertentu, penyebaran agama dapat dilakukan secara sistematis dan terkonsep dalam segi kuantitas individu yang akan “diagamakan”.
Berbagai survei rutin dilakukan untuk mengetahui jumlah penganut agama-agama di dunia. Dan survei ini menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan jumlah umat pada agama tertentu. Hal ini disebakan oleh beberapa hal. Misalnya citra penganut dan perilaku tokoh-tokoh rohaniawan yang bisa menjadi indikator segaligus sebagai katalisator bertambah atau berkurangnya jumlah penganut agama-agama tersebut.

Positioning adalah aspek terpenting dari sukses diterimanya sebuah ajaran agama. Walaupun agama yang waras secara substansi megandung ajaran-ajaran kebaikan, namun tetap saja terdapat persaingan untuk menjadikan citra bahwa agamanyalah yang terbenar. Subjektifitas agama menjadi landasannya.
“Perlombaan jaring-menjaring” ini sendiri dilakukan dengan banyak cara. Seperti contohnya pemasaran agama Islam yang disebut sebagai kegiatan dakwah, atau hal yang sama yang juga dilakukan dalam agama Kristen dengan misi misionarisnya dan begitu juga pada ajaran agama yang lain. Pemasaran sendiri dilakukan melalui banyak media, misalnya penggunaan media massa seperti televisi, koran, dll. Terkadang juga melalui pernikahan, maupun lewat “kesan” yang ditimbulkan dari bantuan sosial pada even tertentu. Hal tersebut bertujuan agar secara intens setiap individu mampu mengenal citra agama-agama tersebut berikut vitur-vitur keunggulan tertentu yang dikomunikasikan dengan baik oleh para penyebarnya. Misalnya saja, agama Kristen menonjolkan ajaran “kasih”, lalu ajaran Buddha menekankan pada keselarasan antara umat manusia dengan alam, dan sebagainya.


3. Kondom “Sutra”

Aktifitas seksual merupakan kebutuhan tersendiri bagi umat manusia. Namun segala bentuk hawa nafsu manusia yang tak terkendali tentu bersahabat dekat dengan bahaya. Saat kegiatan seks telah merambah terlalu “jauh”, berbagai penyakit ganas telah ikut menghiasi keberadaannya. HIV/AIDS, Sipilis, dkk. menjadi momok menyeramkan yang telah menghantui setiap pasangan yang ingin melampiaskan dorongan syahwatnya. Untuk itulah kondom terlahir ke dunia. 

Benda berbahan karet yang umumnya berbentuk transparan ini menjadi tameng bagi mereka-mereka yang gemar bergonta-ganti pasangan dalam kegiatan seksualnya.
Selain meminimalisir kontaminasi penyakit-penyakit mematikan, kondom juga akrab bagi pasangan suami istri yang menjalankan program Keluarga Berencana. KB semakin berjalan lebih lancar dengan adanya bantuan si-kondom ini.

Dari berbagai varian merek kondom yang ada, Sutra merupakan salah satu produk kondom yang paling dikenal oleh publik berkat gencarnya produsen produk ini mengiklankan diri di berbagai media massa. 

Bukan hanya pada jam-jam “dewasa”, iklan Sutra bahkan pernah ditayangkan pada masa jam tontonan anak di bawah umur.

Dengan mengontrak Julia Perez, yang merupakan salah satu aktris vulgar tanah air, sebagai brand ambasador-nya, Sutra semakin menguatkan kesan sensualitas yang dimiliki oleh produknya.
Segmentasi konsumen, ditujukan kepada semua kalangan yang mengharapkan perlindungan dari segala risiko yang bisa saja terjadi dari hubungan seks, baik untuk pasangan legal maupun aktifitas seks yang ilegal sekalipun...

Untuk targeting sendiri, tidak ada data yang jelas. Kemungkinan pasar di Indonesia dengan perilaku konsumennya yang (semoga) masih memegang tradisi ke-timuran dan seks yang masih dianggap sebagai hal tabu, penjualan produk Sutra mungkin masih dilakukan secara “tertutup”. Namun dengan program KB yang sedang digalakkan oleh pemerintah, ditambah lagi kesadaran masyarakat Indonesia mengenai bahaya yang ditimbulkan dari penyakit-penyakit akibat aktifitas seks yang kurang sehat, bisa membuat pangsa pasar produk kondom Sutra di pasaran meningkat pesat. Mungkin 500.000 item/tahun?.

“Lebih kuat, lebih lama, makin OK” adalah tagline yang diusung kondom Sutra. Entah apapun arti dari trio semboyan itu, para konsumen yang telah ‘mahir’ dalam segala bentuk metafora iklan, tentu memahami positioning apa yang ingin Sutra deskripsikan pada para konsumennya.


4. BWIN
          
            
Judi merupakan salah satu industri besar yang telah mewabah di banyak negara, bahkan mungkin hampir terekspansi di seluruh dunia.

‘Olahraga’ judi digemari oleh banyak kalangan. Selain karena dapat mengadu ketangkasan dalam memprediksi, pemain juga dapat menghasilkan profit dari aktifitas berjudi.
Adalah bwin, salah produk judi berbasis online yang menawarkan kegiatan berjudi ria bagi para konsumennya di seluruh dunia. Situs judi yang bisa dengan mudah diakses (bahkan di area Indonesia) ini, menyajikan berbagai variasi taruhan dari banyak cabang olahraga, seperti tenis, golf dan sang maestro, sepak bola. Bahkan ada kabar yang belum saya verifikasi, yang mengatakan jika bwin juga membuka pasar taruhan di banyak bidang di luar olahraga. Semisalnya bursa taruhan di even besar seperti pemilu presiden, pemilihan anggota dewan, sampai pada hal-hal sederhana seperti siapa calon pengganti vokalis sebuah group band bahkan bursa pemenang hadiah nobel sastrapun dijadikan lapak taruhan!

Dilihat dari segementasi korban (baca: konsumen) yang diincar, bwin tentu menargetkan golongan konsumen dari kalangan atas yang kebingungan mengalokasikan uangnya yang berlebih agar memilih bertaruh di atas meja judi. Namun beberapa waktu yang lalu, saya sempat membaca tulisan bloger-bloger yang menyatakan jika mereka juga ikut meramaikan pasar judi di situs bwin walaupun dengan dana pas-pasan dan hanya memasang nominal kecil dalam bermain. Jadi bisa dikatakan, kalangan menengah juga tak mau kalah keren dalam berjudi online.

Targeting jumlah konsumen sendiri, saya yakini, sangatlah besar. Karena seperti yang tercantum di wikipedia, pendapatan bwin pada tahun 2010 saja mencapai $ 357, 3 juta dengan laba bersih menembus angka $ 46,3 juta!

bwin tentu tak melakukan transaksi dalam ruang gelap, karena di banyak negara, judi sudah menjadi barang legal yang bebas dimainkan oleh siapa saja. “The world’s leading name in online betting and real money gaming” adalah tagline positioning yang diusung oleh bwin. Hal ini menunjukkan superioritas mereka sebagai situs judi online terbesar jagad raya. Dari segi laba per tahun yang didapatkan plus keberanian mereka untuk jor-joran mengucurkan dana wah demi menggaet klub sebesar Real Madrid sebagai sponsor resmi dan kemampuan mereka mendanai even besar olahraga kelas satu dunia, telah lebih dari cukup untuk mengintimidasi lawan dari produk serupa sekaligus sebagai “pemanis” yang meyakinkan konsumen akan kehebatan pelayan bwin.


5. Bintangin
Orang Bejo Minum Ini Katanya
           
            “Orang bejo masih lebih untung dari orang pintar” kata Butet Kertaradjasa sambil menyeruput produk Bintangin dengan nikmatnya. Siapa yang jeli, pasti tahu makna di balik kalimat tersebut. Serang-menyerang antar kompetitor dalam balutan iklan di media massa bukanlah trend baru di dunia marketing. Sejak lama, teknik ini sudah digunakan beberapa produsen untuk menyerang produk sejenis yang dianggap sebagai pesaing besar mereka. Tapi saya tidak akan membahas hal tersebut lebih jauh lagi karena harus fokus pada pembahasan produk.
Bintang Toedjoeh merupakan salah satu produsen jamu (atau produk-produk kesehatan lainnya) yang terbesar di Indonesia dan Bintangin merupakan varian terbaru yang direlease kepada publik.

Dilihat dari segi harga yang berada di kisaran Rp 1000,-/pieces, segmentasi produk sepertinya jelas menyasar konsumen menengah ke bawah. Namun walau dengan harga terjangkau. Bintangin tetap punya komitmen low price high quality untuk setiap produknya...setidaknya itu saya ketahui dari penjelasan iklannya.

Untuk targeting, kita bisa mendasarkan pada kehadiran produk ini di berbagai tempat ditambah lagi dengan harga produknya yang tergolong ramah bagi kantong siapa saja, tak mengejutkan jika jutaan bungkus Bintangin telah dikonsumsi oleh masyarakat setiap tahunnya.

Tidak terlihat jelas positioning apa yang ingin dibangun oleh produsen terharap konsumen tentang produk Bintangin. Hanya sepenggal kalimat, “untuk tolak angin, tak mesti pintar” yang saya tangkap sebagai penekanan keunggulan produk yang secara umum sama seperti jenis produk bertemakan jamu-jamuan semacamnya. Mungkin produsen ingin menunjukkan kesederhanaan yang dimiliki dari segi konsep dan merakyat dari segi harga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar