“..kita harus berhasil terlebih dahulu—atau setidaknya
berbarengan dengan—memperjuangkan agar pikiranlah yang mestinya menjadi standar
menyusun kepolitikan bersama, bukan uang, bukan televisi, dan bukan agama!”
(Robertus Robert)
APA ITU “NEO-LIBERALISME”?
Telah sejak
lama, begitu banyak negara—terutama yang merdeka dengan susah payah di kawasan Asia-Afrika—menjerit
dengan lantangnya, menyuarakan kondisi perekonomian dalam tubuh bangsanya yang
porak-poranda setelah dihisap oleh kekejaman, yang menurut mereka tak lain dan
tak bukan bersumber dari ulah pihak-pihak yang mengusung semangat liberalisme
dalam format yang kini lebih “segar”, neo-liberalisme.
Jika dulu kala
Karl Marx dan Frederick Engels pernah bersabda “..Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu Komunisme” dalam pembukaan
Manifesto Komunis-nya yang fenomenal itu, maka sebagian masyarakat dunia kini telah
digentayangi hantu baru yang sepertinya sama (bahkan lebih) menyeramkan.. hantu
Neo-Liberalisme.
Neo-liberalisme yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “aliran politik ekonomi yang muncul setelah Perang Dunia I, ditandai dengan tekanan berat pada segi positif ekonomi pasar bebas, disertai dengan usaha menekan campur tangan pemerintah dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian”, merupakan produk—yang seperti dijabarkan pada defenisi tersebut—dari kepercayaan bahwa pasar adalah satu-satunya mekanisme sosial yang mampu mewujudkan dan menjamin kemerdekaan individu.
Para founding father teoritis neo-liberalisme
seperti Friedrich A. Hayek dan Milton
Friedman melihat persoalan mendasar masyarakat modern berkaitan dengan upaya
menemukan cara mengkoordinasikan aktivitas sosial yang beragam sembari
mengurangi ketegangan dan konflik tanpa harus mencederai hak-hak politik dan
kebebasan sipil. Menurut keduaya, mekanisme pasar—yang beroperasi menurut logika “tangan-tangan tidak
kelihatan” yang digambarkan Adam Smith—adalah proses pembuatan keputusan paling
memuaskan yang dilakukan secara kolektif tapi berbasiskan individu-individu
yang diberikan peluang seluas-luasnya untuk mengejar kepentingan pribadi
sebanyak-banyaknya dengan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya. Karena
itu, negara bagi para neo-liberalis pertama-tama harus berpihak pada pasar dan
menegakkan lembaga-lembaga yang dibutuhkan bagi beroperasinya perdagangan dan
pasar bebas.
Friedrich A. Hayek
dalam bukunya, “Ancama Kolektivisme” menyebutkan inti dari semangat liberalisme
adalah “individu” dan “persaingan”. Liberalisme ekonomi memandang “kompetisi”
lebih unggul, bukan hanya karena kompetisi menurut Hayek, dalam kebanyakan
situasi, merupakan metode paling efisien yang sudah dikenal, tetapi bahkan
terlebih lagi karena kompetisi adalah satu-satunya metode yang melaluinya,
aktivitas kita dapat saling disesuaikan tanpa intervensi penguasa yang koersif
atau sewenang-wenang.
Secara
historisitas, liberalisme (dan bungkus barunya, neo-liberalisme) bisa dilacak
cukup jauh kelahirannya sejak masa kebangkitan renaisans di abad ke-14.
Dominasi gereja di abad pertengahan yang memonopoli hampir segala bentuk aspek
selama 1000 tahun lebih, mulai dari seni sampai astronomi, membuat jengah masyarakat
Eropa yang kemudian menciptakan semacam revolusi, atau bisa disebut juga
sebagai ‘kelahiran kembali’ humanisme Yunani, namun dengan aroma individualismenya
yang lebih menyengat.
Hal yang
mendasari terjadinya “pemberontakan” tersebut berasal dari keyakinan, jika
manusia bukanlah “sekadar” umat manusia, melainkan juga bagian-bagian dari
individu-individu yang unik.
Hampir segala
bidang yang selama berabad-abad sebelumnya terkesan mati suri dari kreatifitas
dan polesan ekspresif manusia, kembali terlahir dan mencapai fase di mana
batasan didobrak dengan begitu kerasnya dan kebebasan ‘memanusiakan’ cipta,
karsa, karya menjadi semangat yang mengintimidasi kaum rohaniawan, karena
kebanyakan manusia Renaisans mencibir pihak gereja dengan keyakinan, bahwa
manusia ada bukan semata-mata untuk Tuhan dan hidup tidaklah hanya sebatas
persiapan menuju akhirat atau akhir zaman.
“Kenalilah dirimu sendiri..” kata
Marcilio Ficino, seorang tokoh zaman Renaisans “..wahai keturunan ilahi dalam samaran sebagai manusia”, menunjukkan
betapa manusia mengagung-agungkan manusia itu sendiri dan secara ekstrim
perilaku tersebut memicu pemujaan berlebihan terhadap kecerdasan pikiran.
Kondisi masa
lalu tersebut tidak jauh berbeda dengan semangat liberalisme yang masih menyala
sangat terang hingga saat ini, di mana kebebasan individu adalah harga mutlak
yang mesti dijamin oleh sang regulator (baca: negara), termasuk di dalamnya,
menekankan pentingnya pasar bebas yang diwujudkan melalui pengakuan hak milik
pribadi dan penegakan aturan main sebagai basis
utama bagi perlindungan dan jaminan hak dan kebebasan individu.
KOMUNIKASI POLITIK DAN NEO LIBERALISME: SEBUAH KEBEBASAN YANG MEMBUTAKAN
Komunikasi
adalah alat determinan yang digunakan dalam dunia perpolitikan untuk menunjukkan
hakikat mendasar defenisi politik yang dipercayai banyak pihak sebagai seni
untuk merebut & mempertahankan kekuasaan.
Saat ideologi neo-liberalisme
telah menjaring begitu banyak penganut di berbagai negara industri raksasa,
komunikasi seperti menjadi saluran serbaguna, bukan hanya sebagai alat untuk
mentransmisikan kebijakan ekonomi, namun juga untuk memanipulasi dan
menutup-nutupi bobrok di jantung kebijakan kapital yang ditelurkan oleh sistem neo-liberal.
Eric Hiariej, dalam tulisannya yang berjudul “Formasi Negara Neoliberal dan Kebangkitan Komunalisme”, secara gamblang menguliti sisi antagonis sistem perekonomian negara yang didasarkan pada azas neo-liberalisasi yang memanfaatkan komunikasi politik untuk menanamkan akar idealismenya di tengah-tengah masyarakat.
Persoalan
mendasar yang selalu dihadapi negara neo-liberal di manapun adalah bagaimana
menerapkan mekanisme dan prinsip-prinsip pasar bebas dalam segala aspek
kehidupan masyarakat tanpa harus mengorbankan legitimasi politik terhadap
aktivitas ekonomi yang cenderung menjadikan “lebih kaya mereka yang sudah kaya
dan semakin memiskinkan mereka yang sudah miskin”.
Dalam bentuk
yang lebih konkret, mereka aktif mencari siasat bagaimana cara sebuah konsep
pemerintah neo-liberal bisa memenangkan pemilu yang demokratis tanpa harus
meninggalkan kebijakan-kebijakan pro-investasi yang ironisnya lebih sering
merugikan mayoritas penduduk yang dipayungi oleh pengaruhnya.
Tapi bahkan setelah berkuasa, dengan dukungan politik memadai yang diperoleh melalui pemilu yang jujur dan bersih, negara neo-liberal masih harus menghadapi keresahan sosial dan mengendalikannya agar tidak melahirkan ketidakstabilan politik yang “tidak kondusif bagi investasi.”
Dari hal tersebut
dapat dicurigai jika ideologi neo-liberal secara praktis ‘agak takut’ dengan sistem
demokrasi dalam sebuah pemerintahan karena sifatnya yang mengutamakan suara
mayoritas, sehingga dengan sebuah varian baru, stakeholder yang terkontaminasi pola berpikir kebebasan pasar
penuh, mulai mengincar sisi primordial buta masyarakat dengan menebar sentimen
rasial, agama dan phobia-phobia tertentu yang diposisikan sebagai musuh bersama.
Alasannya, jika publik diberi kesempatan untuk melakukan pertimbangan rasional,
sangat sulit dibayangkan neo-liberalisme bisa diterima tanpa tantangan sengit
dari segala penjuru.
Umumnya
negara-negara neo-liberal meninggalkan sama sekali argumen rasional, lalu
kemudian memilih menggunakan metode-metode manipulatif dan dengan intens
melalui saluran komunikasi, neo-liberartor memobilisasi aspek-aspek irasional,
wilayah bawah sadar dan proses-proses regresif para pemilih. Orientasi
psikologis dalam upaya membangun legitimasi politik ini dilakukan melalui
komunikasi politik berbentuk propaganda nasionalisme dan sentimen agama.
Kemiskinan dan
kemunduran sosial yang dialami kelompok tertentu—baik dilihat sebagai pekerja
maupun dilihat sebagai kelompok etnik minoritas—tidak dilihat sebagai kegagalan
mekanisme pasar tapi dikaitkan dengan “kualitas amalan” yang diajarkan
nilai-nilai tradisional dan agama seperti kurangnya kerja keras, rendahnya
perilaku ugahari (kesederhanaan), dan sikap tidak mau menahan diri.
Media-media raksasa Eropa Utara (negara dengan sistem neo-liberal terbesar dunia) seperti BBC, ABC, NBC dan CNN secara taktis memanfaatkan komunikasi politik berbentuk propoganda sentimen nasioalisme (yang kemudian efeknya memicu rasisme dan narsisme), dengan menggunakan kata “us” untuk mengasosiakan pihak Eropa dan “them” untuk mereka yang non-Eropa dalam pemberitaannya yang secara implisit mengembalikan momok rasialisme masa lalu ketataran publikasi global. Dan seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, sentimen-sentimen ini kemudian dijadikan perangkat pengamnesiaan masyarakat terhadap kegagalan neo-liberal sebagai sebuah sistem, sehingga kelestarian paham praktis pro-pasar tetap terjaga dengan memelihara kohesifitas semu lewat komunikasi politik di berbagai media massa global.
KOMUNIKASI POLITIK (YANG SEHARUSNYA) DAN KONDISI KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA PADA ERA NEO-LIBERALISME
Tidak
selamanya komunikasi politik di era neo-liberalisme berkorelasi dengan
manipulasi sosialisasi kebijakan politis untuk aksi “penghisapan”, setidaknya
menurut Jürgen Habermas,
komunikasi politik di era Neo-Liberalisme malah berhasil mementahkan analisis
Karl Marx mengenai kehancuran kapitalisme.
Marx yang menjuluki kapitalisme
sebagai aksi “penghisapan yang tak malu-malu” mengklaim bahwa kapitalisme dengan
sendirinya, melalui proses perlahan tapi pasti, akan membunuh dirinya sendiri,
lalu pada satu titik akan memicu semacam “ledakan” dan konsep kepemilikan
pribadi akan hancur berantakan akibat hal yang menurut Marx sebagai ‘irasionalitas
sistem kapitalisme’.
Klaim Marx tersebut didasarkan pada anggapannya yang terlalu obsesif menyerang ‘orientasi ekonomis total’ kaum kapital, sehingga Marx lupa bahwa selain memburu keuntungan, para majikan juga mutlak membutuhkan buruh. Di sinilah menurut Habermas, peran komunikasi, yang tak lagi sekadar didominasi pengutamaan agenda ekonomi kapital, namun juga secara politis, merupakan kegiatan transmisi pesan-pesan kolektif antara perwakilan buruh dan perwakilan majikan dalam penentuan upah pada jangkauan garis-garis batas yang ditentukan oleh negara.
Klaim Marx tersebut didasarkan pada anggapannya yang terlalu obsesif menyerang ‘orientasi ekonomis total’ kaum kapital, sehingga Marx lupa bahwa selain memburu keuntungan, para majikan juga mutlak membutuhkan buruh. Di sinilah menurut Habermas, peran komunikasi, yang tak lagi sekadar didominasi pengutamaan agenda ekonomi kapital, namun juga secara politis, merupakan kegiatan transmisi pesan-pesan kolektif antara perwakilan buruh dan perwakilan majikan dalam penentuan upah pada jangkauan garis-garis batas yang ditentukan oleh negara.
Habermas menyatakan kaitan di
dalam komunikasi kolektif antara buruh dan majikan dalam menentukan proporsi pengupahan
mendeskripsikan jika setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat bahwa efek-efek
(dan efek-efek samping) yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk
pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua
orang yang bersangkutan dengan norma
itu.
Dengan kata lain, etika diskursus dalam komunikasi politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek (intersubjektif) untuk mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian menciptakan sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan mengkritisi segala opsi kepentingan yang dibawa masing-masing subjek, sehingga “prinsip universalisasi” yang Habermas istilahkan sebagai ‘pisau’ yang kemudian akan membelah bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana yang tetap dibiarkan sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan pola komunikasi politik neo-liberal yang cenderung mengekskulisifkan individu, Habermas mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kepartikularan dan hal yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni terkait dengan “sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan dengan sejarah kehidupan individu”, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau diskriminatif.
Dengan kata lain, etika diskursus dalam komunikasi politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek (intersubjektif) untuk mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian menciptakan sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan mengkritisi segala opsi kepentingan yang dibawa masing-masing subjek, sehingga “prinsip universalisasi” yang Habermas istilahkan sebagai ‘pisau’ yang kemudian akan membelah bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana yang tetap dibiarkan sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan pola komunikasi politik neo-liberal yang cenderung mengekskulisifkan individu, Habermas mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kepartikularan dan hal yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni terkait dengan “sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan dengan sejarah kehidupan individu”, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau diskriminatif.
Sebagai
contoh, Habermas menjadikan ‘keadilan’ sebagai hal yang dituju oleh semua
orang, apa pun latar belakang bangsa, agama atau sukunya, keadilan tidaklah
berbicara soal kerelatifan terhadap konteks komunitas tertentu, melainkan pengeneralisasian
yang telah dimafhumkan oleh seluruh manusia waras.
Sedangkan soal “hidup yang baik” atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas atau agama tertentu yang menafsirkan ‘jalan keselamatan’ atau gaya hidup menurut caranya sendiri jelas bersifat relatif sehingga akan sangat mengkhawatirkan jika tendensi kepentingan tersebut dibawa keranah kebijakan publik yang sangat heterogen secara identitas primordial.
Lebih lanjut,
Habermas menggagas sebuah proses demokrasi yang deliberatif, di mana model
demokrasi deliberatif tersebut mampu
menyediakan “ruang publik politis” yang disebut Habermas sebagai “..tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi
komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah
publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung.”
Ruang publik itu memungkinkan warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen.
Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, jadi bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan dengan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah ‘ruang publik’ (atau Őffentlichkeit, dalam bahasa Jerman) berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang itu sendiri. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan dengan ciri-ciri etika diskursus yang telah saya bahas di atas.
Pada poin inilah,
Jürgen Habermas membedakan
dirinya dengan arus utama neo-liberalisme yang sangat memuja pasar dan agenda
kapital. Habermas memahami ruang publik politis sebagai kondisi
komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah
masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar
kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai suatu keseimbangan.
Ruang publik
dapat dijadikan momentum masyarakat untuk menentukan dirinya sendiri di saat
lembaga formal yang seharusnya befungsi untuk menyalurkan aspirasi publik
mengalami kesulitan bahkan tak jarang melahirkan disfungsi yang jelas adalah
realitas ironical bagi negara-negara
yang mengaku dirinya demokratis, termasuk tentunya Indonesia.
Dapat disimpulkan, persyaratan untuk
sebuah ruang publik yang berfungsi secara politis adalah ciri otonomnya dari
kekuasaan administratif negara dan dari kepentingan-kepentingan pasar kapitalis.
Ruang publik yang dikooptasi (diatur atau dikontaminasi) kekuasaan, adalah
ruang publik yang berorientasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang telah
terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi kapital individualis dan
kebijakan sepihak.
Seperti institusi-institusi
sosial lainnya, ruang publik juga dapat dialienasikan, diduduki, atau dipakai
oleh kekuatan-kekuatan asing yang membawa berbagai pola partikular, termasuk juga
neo-liberalisme.
Di Indonesia yang saat ini mengaplikasikan model ekonomi pasar
bebas—dengan penerimaan yang “hangat” terhadap aktifitas privatisasi di segala
bidang—komunikasi politik berlangsung dengan apa yang disebut oleh Eric Hiariej sabagai “narsisme politis”.
Media massa yang merupakan basis informasi terbesar masyarakat pasca reformasi,
nyatanya menjadi lahan investasi serbaguna bagi mereka yang memiliki kemampuan
kapital untuk mengarahkan publik pada citra produk personal tertentu (para
pemilik) sehingga elektabilitas yang diraup melalui agenda terselubung media,
nantinya mampu dijadikan sebagai alat politis untuk menggalang dukungan di
arena pesta demokrasi.
Dan seperti mampu meramalkan
kondisi komunikasi-perpolitikan Indonesia terkini, Habermas tak ketinggalan
pernah menyebut kenyataan tersebut pada prakarta bukunya “Strukturwandel der Őffentlichkeit” (1990).
Habermas menjuluki akuisisi
basis informasi oleh pihak swasta sebagai aksi para aktor “pemakai” (nutznieβend). Aktor pemakai ini, seperti
yang Habermas sebutkan, sudah memiliki identitas sosial yang diakui. Mereka
inilah para aktor ruang publik yang telah dikooptasi kekuasaan. Mereka tampil
dalam partai-partai politik, asosiasi-asosiasi dagang, berbagai macam kelompok
profesi dan institusi partikular lainnya.
Dengan mudahnya, mereka muncul
di depan publik dan lewat bantuan sumber-sumber luar seperti uang dan kuasa,
mereka kemudian menduduki ruang publik yang sudah terbentuk. Mereka ini
memperalat ruang publik yang telah ada sebagai panggung presentasi
kepentingan-kepentingan mereka belaka.
Dengan realitas tersebut, media
massa tidak lagi netral di hadapan ruang-ruang publik, karena pada kenyataannya
telah dikendalikan oleh para aktor media massa, yakni para pemilik media.
Mereka mengontrol media massa dengan menduduki akses-akses untuk seleksi dan
formasi tema, informasi, dan kontribusi. Habermas juga berbicara mengenai ‘kuasa
media’ (medienmacht) yang berkembang
dan terpelihara melalui multiplikasi jaringan dan perbesaran investasi.
MNC Group milik Hary Tanoe
Soedibyo, Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh, Trans Corp. yang erat digenggam
Chairul Tanjung, hingga Viva Group yang dikuasasi oleh keluarga Bakrie, dan masih
banyak contoh dominasi “rakus” lain yang menunjukkan “betapa multiplikasi
jaringan dan perbesaran investasi” seperti pendapat Habermas, kini begitu
masifnya digalang oleh para aktor “pemakai” (nutznieβend) di negara ini.
DAFTAR PUSTAKA
Doering,
Detmar. Liberalisme. Friedrich
Naumann Foundation.
Engels,
Frederick. Tentang Das Kapital Marx. Oey’s
Renaissance; asli: On Marx’s Capital. 2007.
Gaarder,
Jostein. Dunia Sophie. Bandung: PT.
Mizan Pustaka. 2006.
Hardiman, F.
Haris, dkk. Empat Esai Etika Politik.
Jakarta: Srimulyani Network. 2011.
Hayek,
Friedrich A. Ancaman Kolektivisme.
Jakarta: Freedom Institute; asli: The
Road to Serfdom. 2011.
Hiariej, Eric.
Formasi Negara Neo-Liberalisme dan
Kebangkitan Komunalisme. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment
(IRE). 2008.
Klaus, Vaclav.
Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim. Jakarta:
Freedom Institute; asli: Modrá, Nikoli
Zelená Planeta. 2012.
Suseno, Franz
Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 1999.
bd
BalasHapusCasino de Ferrer | JTM Hub
BalasHapusCasino de 영주 출장마사지 Ferrer is a video gaming destination. Get 경상북도 출장안마 details about Casino de Ferrer and join us today 강원도 출장안마 for your 전주 출장마사지 entertainment. · Casino 서울특별 출장마사지 de Ferrer.