Jumat, 27 September 2013

KOMUNIKASI POLITIK DI ERA NEO-LIBERALISME

“..kita harus berhasil terlebih dahulu—atau setidaknya berbarengan dengan—memperjuangkan agar pikiranlah yang mestinya menjadi standar menyusun kepolitikan bersama, bukan uang, bukan televisi, dan bukan agama!”
(Robertus Robert)


APA ITU “NEO-LIBERALISME”?

     Telah sejak lama, begitu banyak negara—terutama yang merdeka dengan susah payah di kawasan Asia-Afrika—menjerit dengan lantangnya, menyuarakan kondisi perekonomian dalam tubuh bangsanya yang porak-poranda setelah dihisap oleh kekejaman, yang menurut mereka tak lain dan tak bukan bersumber dari ulah pihak-pihak yang mengusung semangat liberalisme dalam format yang kini lebih “segar”, neo-liberalisme.
Jika dulu kala Karl Marx dan Frederick Engels pernah bersabda “..Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu Komunisme” dalam pembukaan Manifesto Komunis-nya yang fenomenal itu, maka sebagian masyarakat dunia kini telah digentayangi hantu baru yang sepertinya sama (bahkan lebih) menyeramkan.. hantu Neo-Liberalisme.



Neo-liberalisme yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “aliran politik ekonomi yang muncul setelah Perang Dunia I, ditandai dengan tekanan berat pada segi positif ekonomi pasar bebas, disertai dengan usaha menekan campur tangan pemerintah dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian”, merupakan produk—yang seperti dijabarkan pada defenisi tersebut—dari kepercayaan bahwa pasar adalah satu-satunya mekanisme sosial yang mampu mewujudkan dan menjamin kemerdekaan individu.
Para founding father teoritis neo-liberalisme seperti  Friedrich A. Hayek dan Milton Friedman melihat persoalan mendasar masyarakat modern berkaitan dengan upaya menemukan cara mengkoordinasikan aktivitas sosial yang beragam sembari mengurangi ketegangan dan konflik tanpa harus mencederai hak-hak politik dan kebebasan sipil. Menurut keduaya, mekanisme pasar—yang beroperasi  menurut logika “tangan-tangan tidak kelihatan” yang digambarkan Adam Smith—adalah proses pembuatan keputusan paling memuaskan yang dilakukan secara kolektif tapi berbasiskan individu-individu yang diberikan peluang seluas-luasnya untuk mengejar kepentingan pribadi sebanyak-banyaknya dengan menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya. Karena itu, negara bagi para neo-liberalis pertama-tama harus berpihak pada pasar dan menegakkan lembaga-lembaga yang dibutuhkan bagi beroperasinya perdagangan dan pasar bebas.
Friedrich A. Hayek dalam bukunya, “Ancama Kolektivisme” menyebutkan inti dari semangat liberalisme adalah “individu” dan “persaingan”. Liberalisme ekonomi memandang “kompetisi” lebih unggul, bukan hanya karena kompetisi menurut Hayek, dalam kebanyakan situasi, merupakan metode paling efisien yang sudah dikenal, tetapi bahkan terlebih lagi karena kompetisi adalah satu-satunya metode yang melaluinya, aktivitas kita dapat saling disesuaikan tanpa intervensi penguasa yang koersif atau sewenang-wenang.
Secara historisitas, liberalisme (dan bungkus barunya, neo-liberalisme) bisa dilacak cukup jauh kelahirannya sejak masa kebangkitan renaisans di abad ke-14. Dominasi gereja di abad pertengahan yang memonopoli hampir segala bentuk aspek selama 1000 tahun lebih, mulai dari seni sampai astronomi, membuat jengah masyarakat Eropa yang kemudian menciptakan semacam revolusi, atau bisa disebut juga sebagai ‘kelahiran kembali’ humanisme Yunani, namun dengan aroma individualismenya yang lebih menyengat.
Hal yang mendasari terjadinya “pemberontakan” tersebut berasal dari keyakinan, jika manusia bukanlah “sekadar” umat manusia, melainkan juga bagian-bagian dari individu-individu yang unik.
Hampir segala bidang yang selama berabad-abad sebelumnya terkesan mati suri dari kreatifitas dan polesan ekspresif manusia, kembali terlahir dan mencapai fase di mana batasan didobrak dengan begitu kerasnya dan kebebasan ‘memanusiakan’ cipta, karsa, karya menjadi semangat yang mengintimidasi kaum rohaniawan, karena kebanyakan manusia Renaisans mencibir pihak gereja dengan keyakinan, bahwa manusia ada bukan semata-mata untuk Tuhan dan hidup tidaklah hanya sebatas persiapan menuju akhirat atau akhir zaman.
Kenalilah dirimu sendiri..” kata Marcilio Ficino, seorang tokoh zaman Renaisans “..wahai keturunan ilahi dalam samaran sebagai manusia”, menunjukkan betapa manusia mengagung-agungkan manusia itu sendiri dan secara ekstrim perilaku tersebut memicu pemujaan berlebihan terhadap kecerdasan pikiran.
Kondisi masa lalu tersebut tidak jauh berbeda dengan semangat liberalisme yang masih menyala sangat terang hingga saat ini, di mana kebebasan individu adalah harga mutlak yang mesti dijamin oleh sang regulator (baca: negara), termasuk di dalamnya, menekankan pentingnya pasar bebas yang diwujudkan melalui pengakuan hak milik pribadi dan penegakan aturan main sebagai basis utama bagi perlindungan dan jaminan hak dan kebebasan individu.


KOMUNIKASI POLITIK DAN NEO LIBERALISME: SEBUAH KEBEBASAN YANG MEMBUTAKAN

Komunikasi adalah alat determinan yang digunakan dalam dunia perpolitikan untuk menunjukkan hakikat mendasar defenisi politik yang dipercayai banyak pihak sebagai seni untuk merebut & mempertahankan kekuasaan.
Saat ideologi neo-liberalisme telah menjaring begitu banyak penganut di berbagai negara industri raksasa, komunikasi seperti menjadi saluran serbaguna, bukan hanya sebagai alat untuk mentransmisikan kebijakan ekonomi, namun juga untuk memanipulasi dan menutup-nutupi bobrok di jantung kebijakan kapital yang ditelurkan oleh sistem neo-liberal.

Eric Hiariej, dalam tulisannya yang berjudul “Formasi Negara Neoliberal dan Kebangkitan Komunalisme”, secara gamblang menguliti sisi antagonis sistem perekonomian negara yang didasarkan pada azas neo-liberalisasi yang memanfaatkan komunikasi politik untuk menanamkan akar idealismenya di tengah-tengah masyarakat.
Persoalan mendasar yang selalu dihadapi negara neo-liberal di manapun adalah bagaimana menerapkan mekanisme dan prinsip-prinsip pasar bebas dalam segala aspek kehidupan masyarakat tanpa harus mengorbankan legitimasi politik terhadap aktivitas ekonomi yang cenderung menjadikan “lebih kaya mereka yang sudah kaya dan semakin memiskinkan mereka yang sudah miskin”.
Dalam bentuk yang lebih konkret, mereka aktif mencari siasat bagaimana cara sebuah konsep pemerintah neo-liberal bisa memenangkan pemilu yang demokratis tanpa harus meninggalkan kebijakan-kebijakan pro-investasi yang ironisnya lebih sering merugikan mayoritas penduduk yang dipayungi oleh pengaruhnya.

Tapi bahkan setelah berkuasa, dengan dukungan politik memadai yang diperoleh melalui pemilu yang jujur dan bersih, negara neo-liberal masih harus menghadapi keresahan sosial dan mengendalikannya agar tidak melahirkan ketidakstabilan politik yang “tidak kondusif bagi investasi.”
Dari hal tersebut dapat dicurigai jika ideologi neo-liberal secara praktis ‘agak takut’ dengan sistem demokrasi dalam sebuah pemerintahan karena sifatnya yang mengutamakan suara mayoritas, sehingga dengan sebuah varian baru, stakeholder yang terkontaminasi pola berpikir kebebasan pasar penuh, mulai mengincar sisi primordial buta masyarakat dengan menebar sentimen rasial, agama dan phobia-phobia tertentu yang diposisikan sebagai musuh bersama. Alasannya, jika publik diberi kesempatan untuk melakukan pertimbangan rasional, sangat sulit dibayangkan neo-liberalisme bisa diterima tanpa tantangan sengit dari segala penjuru.
Umumnya negara-negara neo-liberal meninggalkan sama sekali argumen rasional, lalu kemudian memilih menggunakan metode-metode manipulatif dan dengan intens melalui saluran komunikasi, neo-liberartor memobilisasi aspek-aspek irasional, wilayah bawah sadar dan proses-proses regresif para pemilih. Orientasi psikologis dalam upaya membangun legitimasi politik ini dilakukan melalui komunikasi politik berbentuk propaganda nasionalisme dan sentimen agama.
Kemiskinan dan kemunduran sosial yang dialami kelompok tertentu—baik dilihat sebagai pekerja maupun dilihat sebagai kelompok etnik minoritas—tidak dilihat sebagai kegagalan mekanisme pasar tapi dikaitkan dengan “kualitas amalan” yang diajarkan nilai-nilai tradisional dan agama seperti kurangnya kerja keras, rendahnya perilaku ugahari (kesederhanaan), dan sikap tidak mau menahan diri.

Media-media raksasa Eropa Utara (negara dengan sistem neo-liberal terbesar dunia) seperti BBC, ABC, NBC dan CNN secara taktis memanfaatkan komunikasi politik berbentuk propoganda sentimen nasioalisme (yang kemudian efeknya memicu rasisme dan narsisme), dengan menggunakan kata “us” untuk mengasosiakan pihak Eropa dan “them” untuk mereka yang non-Eropa dalam pemberitaannya yang secara implisit mengembalikan momok rasialisme masa lalu ketataran publikasi global. Dan seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, sentimen-sentimen ini kemudian dijadikan perangkat pengamnesiaan masyarakat terhadap kegagalan neo-liberal sebagai sebuah sistem, sehingga kelestarian paham praktis pro-pasar tetap terjaga dengan memelihara kohesifitas semu lewat komunikasi politik di berbagai media massa global.


KOMUNIKASI POLITIK (YANG SEHARUSNYA) DAN KONDISI KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA PADA ERA NEO-LIBERALISME

Tidak selamanya komunikasi politik di era neo-liberalisme berkorelasi dengan manipulasi sosialisasi kebijakan politis untuk aksi “penghisapan”, setidaknya menurut Jürgen Habermas, komunikasi politik di era Neo-Liberalisme malah berhasil mementahkan analisis Karl Marx mengenai kehancuran kapitalisme.
Marx yang menjuluki kapitalisme sebagai aksi “penghisapan yang tak malu-malu” mengklaim bahwa kapitalisme dengan sendirinya, melalui proses perlahan tapi pasti, akan membunuh dirinya sendiri, lalu pada satu titik akan memicu semacam “ledakan” dan konsep kepemilikan pribadi akan hancur berantakan akibat hal yang menurut Marx sebagai ‘irasionalitas sistem kapitalisme’.

Klaim Marx tersebut didasarkan pada anggapannya yang terlalu obsesif menyerang ‘orientasi ekonomis total’ kaum kapital, sehingga Marx lupa bahwa selain memburu keuntungan, para majikan juga mutlak membutuhkan buruh. Di sinilah menurut Habermas, peran komunikasi, yang tak lagi sekadar didominasi pengutamaan agenda ekonomi kapital, namun juga secara politis, merupakan kegiatan transmisi pesan-pesan kolektif antara perwakilan buruh dan perwakilan majikan dalam penentuan upah pada jangkauan garis-garis batas yang ditentukan oleh negara.
Habermas menyatakan kaitan di dalam komunikasi kolektif antara buruh dan majikan dalam menentukan proporsi pengupahan mendeskripsikan jika setiap norma yang sahih harus memenuhi prasyarat bahwa efek-efek (dan efek-efek samping) yang barangkali terjadi karena kepatuhan umum untuk pemenuhan kepentingan setiap individu dapat diterima tanpa paksaan oleh semua orang yang bersangkutan dengan  norma itu.

Dengan kata lain, etika diskursus dalam komunikasi politik memberi kesempatan bagi setiap subjek-subjek (intersubjektif) untuk mengkonfrontasikan kepentingannya masing-masing demi kemudian menciptakan sebuah keuniversalan melalui proses diskursif. Konfrontasi tersebut diartikan Habermas bukan sebagai pencetus konflik, melainkan ajang untuk bernalar dan mengkritisi segala opsi kepentingan yang dibawa masing-masing subjek, sehingga “prinsip universalisasi” yang Habermas istilahkan sebagai ‘pisau’ yang kemudian akan membelah bagian mana yang nantinya dapat diuniversalkan dan bagian mana yang tetap dibiarkan sebagai kepentingan partikular. Jika dihubungkan dengan pola komunikasi politik neo-liberal yang cenderung mengekskulisifkan individu, Habermas mengatakan hal tersebut merupakan bentuk kepartikularan dan hal yang kepartikularan itu umunnya bersifat memihak, yakni terkait dengan “sebuah bentuk kehidupan khusus atau orientasi-orientasi nilai yang berkaitan dengan sejarah kehidupan individu”, terpisah, tidak universal, dan tak jarang berbau diskriminatif.
Sebagai contoh, Habermas menjadikan ‘keadilan’ sebagai hal yang dituju oleh semua orang, apa pun latar belakang bangsa, agama atau sukunya, keadilan tidaklah berbicara soal kerelatifan terhadap konteks komunitas tertentu, melainkan pengeneralisasian yang telah dimafhumkan oleh seluruh manusia waras.

Sedangkan soal “hidup yang baik” atau nilai-nilai kultural terkait pada komunitas atau agama tertentu yang menafsirkan ‘jalan keselamatan’ atau gaya hidup menurut caranya sendiri jelas bersifat relatif sehingga akan sangat mengkhawatirkan jika tendensi kepentingan tersebut dibawa keranah kebijakan publik yang sangat heterogen secara identitas primordial.
Lebih lanjut, Habermas menggagas sebuah proses demokrasi yang deliberatif, di mana model demokrasi deliberatif  tersebut mampu menyediakan “ruang publik politis” yang disebut Habermas sebagai “..tidak lain daripada hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik yang terdiri dari para warganegara dapat berlangsung.”

Ruang publik itu memungkinkan warganegara untuk bebas menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan warga negara untuk menggunakan kekuatan argumen.

Ruang publik politis itu sebagai kondisi-kondisi komunikasi, jadi bukanlah insitusi dan juga bukan organisasi dengan keanggotaan tertentu dan dengan aturan-aturan yang mengikat. Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informal dan inklusifnya, karena istilah ‘ruang publik’ (atau Őffentlichkeit, dalam bahasa Jerman) berarti “keadaan dapat diakses oleh semua orang” dan mengacu pada ciri terbuka dan inklusif ruang itu sendiri. Karakteristik ruang publik politis ini dapat dihubungkan dengan ciri-ciri etika diskursus yang telah saya bahas di atas.
Pada poin inilah, Jürgen Habermas membedakan dirinya dengan arus utama neo-liberalisme yang sangat memuja pasar dan agenda kapital. Habermas memahami ruang publik politis sebagai kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan kekuatan solidaritas yang mengutuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yakni uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi negara), agar tercapai suatu keseimbangan.
Ruang publik dapat dijadikan momentum masyarakat untuk menentukan dirinya sendiri di saat lembaga formal yang seharusnya befungsi untuk menyalurkan aspirasi publik mengalami kesulitan bahkan tak jarang melahirkan disfungsi yang jelas adalah realitas ironical bagi negara-negara yang mengaku dirinya demokratis, termasuk tentunya Indonesia.
Dapat disimpulkan, persyaratan untuk sebuah ruang publik yang berfungsi secara politis adalah ciri otonomnya dari kekuasaan administratif negara dan dari kepentingan-kepentingan pasar kapitalis. Ruang publik yang dikooptasi (diatur atau dikontaminasi) kekuasaan, adalah ruang publik yang berorientasi pada wilayah-wilayah kehidupan yang telah terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi kapital individualis dan kebijakan sepihak.
Seperti institusi-institusi sosial lainnya, ruang publik juga dapat dialienasikan, diduduki, atau dipakai oleh kekuatan-kekuatan asing yang membawa berbagai pola partikular, termasuk juga neo-liberalisme.
Di Indonesia yang saat ini  mengaplikasikan model ekonomi pasar bebas—dengan penerimaan yang “hangat” terhadap aktifitas privatisasi di segala bidang—komunikasi politik berlangsung dengan apa yang disebut oleh Eric Hiariej sabagai “narsisme politis”. Media massa yang merupakan basis informasi terbesar masyarakat pasca reformasi, nyatanya menjadi lahan investasi serbaguna bagi mereka yang memiliki kemampuan kapital untuk mengarahkan publik pada citra produk personal tertentu (para pemilik) sehingga elektabilitas yang diraup melalui agenda terselubung media, nantinya mampu dijadikan sebagai alat politis untuk menggalang dukungan di arena pesta demokrasi.
Dan seperti mampu meramalkan kondisi komunikasi-perpolitikan Indonesia terkini, Habermas tak ketinggalan pernah menyebut kenyataan tersebut pada prakarta bukunya “Strukturwandel der Őffentlichkeit” (1990).
Habermas menjuluki akuisisi basis informasi oleh pihak swasta sebagai aksi para aktor “pemakai” (nutznieβend). Aktor pemakai ini, seperti yang Habermas sebutkan, sudah memiliki identitas sosial yang diakui. Mereka inilah para aktor ruang publik yang telah dikooptasi kekuasaan. Mereka tampil dalam partai-partai politik, asosiasi-asosiasi dagang, berbagai macam kelompok profesi dan institusi partikular lainnya.
Dengan mudahnya, mereka muncul di depan publik dan lewat bantuan sumber-sumber luar seperti uang dan kuasa, mereka kemudian menduduki ruang publik yang sudah terbentuk. Mereka ini memperalat ruang publik yang telah ada sebagai panggung presentasi kepentingan-kepentingan mereka belaka.
Dengan realitas tersebut, media massa tidak lagi netral di hadapan ruang-ruang publik, karena pada kenyataannya telah dikendalikan oleh para aktor media massa, yakni para pemilik media. Mereka mengontrol media massa dengan menduduki akses-akses untuk seleksi dan formasi tema, informasi, dan kontribusi. Habermas juga berbicara mengenai ‘kuasa media’ (medienmacht) yang berkembang dan terpelihara melalui multiplikasi jaringan dan perbesaran investasi.
MNC Group milik Hary Tanoe Soedibyo, Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh, Trans Corp. yang erat digenggam Chairul Tanjung, hingga Viva Group yang dikuasasi oleh keluarga Bakrie, dan masih banyak contoh dominasi “rakus” lain yang menunjukkan “betapa multiplikasi jaringan dan perbesaran investasi” seperti pendapat Habermas, kini begitu masifnya digalang oleh para aktor “pemakai” (nutznieβend) di negara ini.



   
DAFTAR PUSTAKA

Doering, Detmar. Liberalisme. Friedrich Naumann Foundation.
Engels, Frederick. Tentang Das Kapital Marx. Oey’s Renaissance; asli: On Marx’s Capital. 2007.
Gaarder, Jostein. Dunia Sophie. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2006.
Hardiman, F. Haris, dkk. Empat Esai Etika Politik. Jakarta: Srimulyani Network. 2011.
Hayek, Friedrich A. Ancaman Kolektivisme. Jakarta: Freedom Institute; asli: The Road to Serfdom. 2011.
Hiariej, Eric. Formasi Negara Neo-Liberalisme dan Kebangkitan Komunalisme. Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment (IRE).  2008.
Klaus, Vaclav. Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim. Jakarta: Freedom Institute; asli: Modrá, Nikoli Zelená Planeta. 2012.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1999.

2 komentar:

  1. Casino de Ferrer | JTM Hub
    Casino de 영주 출장마사지 Ferrer is a video gaming destination. Get 경상북도 출장안마 details about Casino de Ferrer and join us today 강원도 출장안마 for your 전주 출장마사지 entertainment. · Casino 서울특별 출장마사지 de Ferrer.

    BalasHapus