Minggu, 20 Oktober 2013

TEORI BUDAYA ORGANISASI





 
 “Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi; budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri”
(Pacanowsky & O’Donnel Trujillo)

APA ITU “BUDAYA”?

“Bukankah itu sesuatu yang aneh?  Tengkorak dan bulan sabit? Rakyat Amerika jelas tidak terlalu suka mengetahui jika seseorang yang membuat regulasi di negara mereka, merenung di sebuah ruangan sempit dengan tengkorak dan bulan sabit di tangannya,” ucap Anderson. Langdon tersenyum kecut pada Anderson dan simbol-simbol Free Mason yang ada di hadapan mereka. Ia mendengus.
Tidak lebih aneh dari umat Kristen yang berdoa di bawah kaki Seorang Pria terpaku di kayu salib, atau orang-orang Hindu yang merapal doa di depan seekor gajah bernama Ganesha yang berlengan enam. Salah paham terhadap simbol-simbol sebuah kebudayaan merupakan akar prasangka yang umum.”
(Lost Symbol – Dan Brown)


Petikan dialog dari salah satu karya masterprice novelis Amerika Serikat, Dan Brown, di atas menjadi sebuah ilustrasi yang cukup tepat untuk merepresentasikan keunikan budaya dalam setiap organisasi yangmengusung basis apa pun, mulai dari agama sampai nirlaba.
Kata “budaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan sebagai, “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat dan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya”.
Sedangkan secara etimologis, Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi” menyebutkan bahwa nenek moyang kata “budaya” berasal dari bahasa Latin “colore” yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama dalam konteks pertanian. Bahasa Inggris kemudian mengadaptasi kata dan defenisi tersebut ke dalam kosakata OED menjadi “culture” yang artinya tidak jauh berbeda, yaitu “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Dari hubungan terminologi dan etimologi tersebut bisa diinterpretasikan jika budaya dan kegiatan bercocok tanam memiliki hubungansebagai “aksi mendukung terjadinya pertumbuhan.”
Koentjaraningrat lebih jauh menyebut “budaya” bukan sekadar pertumbuhan, namun budaya merupakan (hampir) seluruh tindakan manusia karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tinndakan manusia yang secara fundamental merupakan kemampuan naluriah yang tersisip dalam gen (seperti makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki), dikatakan Koentjaraningrat, juga dirombak oleh manusia menjadi tindakan “berkebudayaan”.
Koentjaraningrat memberikan contoh pada kebiasaan makan manusia yang umumnya didasarkan pada konteks waktu, cara, atau protokol yang pantas, sopan dan sering kali rumit dan harus dipelajari terlebih dahulu dalam waktu yang sangat lama. Begitu juga dengan cara berjalan yang memang bukan hanya merupakan produk evolusi (Darwinisme), tetapi juga proses kebudayaan membuat cara berjalan menjadi produk bervariasi sesuai dengan konteks individu yang melakukannya. Baik itu berjalan a la prajurit, lemah gemulai seperti penari, atau tertata rapihkhas model.


 ORGANISASI SEBAGAI PRODUK KEBUDAYAAN
Teori Budaya Organisasi awalnya dikaji oleh duo Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnel Trujillo yang mendasarkan penelitiannya pada ide yang lebih dahulu dimiliki oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog, mengenai kebudayaan. Hal itulah yang menyebabkan teori ini tak terlepas dari pengaruh etnografi.
Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnel Trujillo bertujuan memahami organisasi—termasuk nilai-nilai, kisah, tujuan,  praktik, dan filosofi perusahan—pada periode waktu 1982 sampai tahun 1990 hingga tercetuslah organizational culture theory.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, duo Pacanowsky-Trujillo menyatakan bahwa organisasi dapat lebih dipahami dengan menggunakan lensa budaya—sebuah ide yang pada mulanya diinisiatifkan oleh seorang Antropolog ternama asal Amerika Serikat Clifford Geertz (Geertz juga sempat melakukan penelitian di berbagai daerah di Indonesia).
“Musuh” utama Geertz pada masanya, Levi-Strauss, memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Sedangkan Geertz secara berlawanan memiliki pandangan yang jauh berbeda.Geertz melihat pandangan kognitif Levi-Strausssebagai pandangan reduksionis dan formalistik yang kabur.Ia berpendapat jika simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private). Sistem kultural adalah ideasional(rancangan yg tersusun di dalam pikiran).Sama seperti ideasionalnya kuartet Beethoven. Sistem itu berada di luar atau di antara manifestasinya dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-pola kultural, katanya, tidak metafisikal seperti mimpi—mereka adalah benda dalam dunia nyata.Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama.
Jika dikorelasikan antara organisasi dan budaya, kita bisa melihat asumsi Geertz mengenai kebudayaan berhubungan dengan kohesifitas anggota dalammenginterpretasikan simbol-simbol yang terdapat dan dihasilkan dalam sebuah organisasi, dan simbol-simbol itu sendiri bersifat plural, dalam artian antara satu organisasi dengan organisasi lain, terdapat keunikan simbolis yang jelas berbeda satu dengan yang lainnya.
Penelitian ini sendiri mendobrak sebuah rutinitas membosankan para peneliti yang hanya berusaha mengkuantatifkan objek kajian—dalam hal ini organisasi—akibat sistematika penelitian dengan metode ilmiah yang memasung inovasi baru. Dengan adanya teori ini, mereka berdua beranggapan bahwa para peneliti menjadi lebih mampu masuk ke dalam sebuah organisasi, lalu melihat dan memahami aspek berupa sistem kebudayaan yang merupakan bagian absolut dari organisasi.
Geertz menyebutkan bahwa metode ilmiah yang positivistik (generalisasi) sangat terbatas, stagnan dan kabur. Alih-alih  melakukan pengukuran dan pengurain, seharusnya para etnograf mencoba menginterpretasikan kebudayaan. Dan penafsiran harus dikembangkan menjadi deskripsi mendalam (thick description) yang harus diikatkan secara mendalam ke dalam kekayaan konteks kehidupan sosial.  
Budaya di sini bukan membicarakan area SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Budaya organisasi juga bukan hanya mencakup aspek matrealistis, namun juga emosionalitas dan kondisi psikologis partispan yang ada dalam sebuah kegiatan berorganisasi. Budaya itu sendiri mencakup aspek-aspek mendasar seperti spirit anggota, sikap, kuantitas dan kualitas produktifitas, simbol-simbol yang tentunya memiliki esensi baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal, yang mana keseluruhan hal tersebut akan merepresentasikan kondisi iklim sebuah organisasi, “dingin”, “panas” atau “hangat.”
Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi; budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri.
Simpulan dari kritik Geertz yang diteruskan oleh Pacanowsky-Trujillo adalah bahwa memahami satu organisasi lebih penting daripada menggeneralisasi sekelompok perilaku atau nilai dari banyak organisasi.

 METAFORA BUDAYA JARING LABA-LABA
Analogi sederhana dari sebuah proses interaksi dalam organisasi adalah jalinan jejaring laba-laba. Coba perhatikan seeokor laba-laba yang tak mengenal lelah memintal luas jejaringnya, seperti halnya manusia yang giat memperlebar untaian jaringan relasi dalam interaksi. Jaring-jaring ini terbentuk dengan berbagai komplektisitasnya masing-masing yang tidak similiar antara yang satu dengan yang lain.
Geertz menyatakan bahwa orang-orang adalah “sekumpulan hewan yang tergantung di dalam jaringan kepentingan”.
Pacanowsky-Trujillo memberikan komentar dan tambahan terhadap metafora Geertz itu. Mereka menyatakan jika “jaring” itu tidak sekadar “ada”, melainkan sedang dipintal. Jaring ini dipintal ketika orang sedang menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat dipahami—maksudya, ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah naskah drama, menyanyi, menari, bahkan pura-pura sakit, mereka sedang berkomunikasi, dan mereka sedang mengkonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu dari proses komunikasi.
Geertz memilih jejaring laba-laba sebagai analogi karena pengalamannya yang sangat mendalam terhadap banyak kebudayaan di dunia yang pernah ditelitinya. “Setiap budaya berbeda dan unik,” kata Geertz, “dan itu adalah hal yang patut dihargai.” Geertz percaya bahwa para peneliti harus berfokus pada makna bersama yang melekat di dalamnya. Dan kepercayaan inilah yang membuat Pacanowsky-Trujillo mulai melihat organisasi dari perspektif kultural. Karena seperti halnya kebudayaan Australia atau Indonesia, setiap organisasi memiliki sistematika kebudayaan yang khas untuk setiap bagiannya. Baik misalnya karyawan maupun manajer memintal jaring mereka sendiri. Orang-oranglah yang memegang peranan penting dalam organisasi, dan karenanya, sangatlah penting mempelajari perilaku mereka sehubungan dengan kondisi keseluruhan organisasi. Mereka menambahkan bahwa anggota dari organisasi ini terlibat di dalam banyak perilaku komunikasi yang memberikan kontribusi bagi budaya perusahaan.
Perspektif yang luas ini menggarisbawahi mengapa keduanya berargumen bahwa budaya organisasi bukanlah sebuah potongan puzzle; budaya adalah puzzle itu sendiri.

ASUMSI TEORI BUDAYA ORGANISASI

Sebuah teori tak terlepas dari asumsi-asumsi, begitu juga Teori Budaya Organisasi. Asumsi-asumsinya antara lain;
  • Anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Inti dari asumsi ini adalah nilai yang dimiliki organisasi. Nilai merupakan standard dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam sebuah budaya.
  • Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Ketika seseorang dapat memahami simbol tersebut, maka seseorang akan mampu bertindak menurut budaya organisasinya.
  • Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam. Setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya tersebut secara berbeda.Terkadang, perbedaan budaya dalam organisasi justru menjadi kekuatan dari organisasi sejenis lainnya.
Asumsi pertama mendeskripsikan bahwa manusia adalah faktor vital dalam kehidupan berorgananisasi. Dengan hal tersebut diharapkan setiap individu mampu menjaga realitas yang telah mengakar dalam sebuah organisasi agar tetap tertanam kuat. Realitas ini sendiri terbentuk dari rangkaian nilai yang dipercayai dan dianggap berharga oleh setiap individu komponen sebuah organisasi. Nilai juga bersifat “menjadi acuan standardisasi” segala hal yang dianggap penting dan seharusnya dilakukan oleh setiap anggota. Dan tentunya juga “nilai” ini tidak mungkin dengan ramah-tamah memperkenalkan diri secara pribadi, melainkan harus ada proses pentransmisian dari setiap individu yang memegang nilai tersebut sebagai acuan kepada mereka yang masih awam terhadap hal itu. Sosialisasi ini sendiri berlangsung dalam proses komunikasi antar anggota dari segala hierarki, baik secara langsung maupun melalui pesan implisit.
Pada asumsi selanjutnya, simbol dan esensi di baliknya adalah sebuah hal yang diwajibkan untuk mendapat interpretasi dari mereka-mereka yang menjadi anggota organisasi. Dari, oleh, dan untuk mereka. Menciptakan, menggunakan dan memahami makna dari simbol-simbol adalah rutinitas yang dilakukan sebagai proses adaptasi dan modal untuk tetapsurvive dalam jejaring interaksi. Simbol dalam sebuah organisasi sendiri mampu mengkomunikasikan nilai yang telah melekat dan terjaga dalam organisasi itu sendiri. Hal inilah yang disebutkan, bahwa begitu pentingnya pemaknaan simbol-simbol oleh setiap anggota yang terlibat  demi sebuah kejelasan mendasar akan hal-hal yang telah, sedang dan akan selalu dijaga dalam sebuah kegiatan berorganisasi.
Asumsi selanjutnya sekaligus menjadi asumsi yang terakhir, mendukung bahwa multikulturalisme juga berlaku dalam ranah pengorganisasian, yang terlihat jelas saat kita menyaksikan betapa heterogennya bentuk-bentuk budaya yang diaplikasikan dalam satu organisasi dengan organisasi lainnnya.  Bukan saja dalam aspek kemajemukan budaya antar organisasi, namun juga secara internal, saat antar individu dalam sebuah organisasi memiliki interpretasi yang warna-warni dalam melihat kebudayaan yang melekat pada institut dan pranata yang mereka tempati.
Performa  dalam mengkomunikasikan berbagai bentuk kebudayaan yang dibungkus dalam format-format tertentu merupakan manifestasi dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi, dalam artian pembagian peran dalam organisasi merupakan sebuah kewajaran yang dari sana akan dibentuk berbagai interpretasi perilaku oleh seluruh individu komponen organisasi.
Performa dalam organisasi, oleh para ahli, terbentuk dalam 5 bagian, yaitu;
a.       Performa ritual
Seluruh performa yang secara konsisten dilakukan, tergolong dalam performa ini. Performa ritual sendiri terbagi lagi dalam:
-          Ritual personal
Mencakup segala aktifitas yang individu per individu rutin lakukan.Misalnya, banyak anggota organisasi secara teratur mengecek pesan suara atau e-mail mereka ketika mereka bekerja tiap hari.

-          Ritual tugas
Menyangkut ritual yang berhubungan dengan progres proses sebuah pekerjaan. Misalnya, ritual tugas seorang karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor termasuk mengeluarkan ujian mata dan tertulis, mengambil foto dari calon pengemudi, melaksanakan ujian mengemudi, memverifikasi asuransi mobil, dan menerima pembayaran.

-          Ritual sosial
Meliputi hubungan dengan kegiatan konsisten berulang-ulang antar satu individu dengan para individu-individu lain dalam sebuah kelompok organisasinya.Misalnya, beberapa anggota organisasi berkumpul bersama untuk menghabiskan waktu bersama di bar pada hari Jumat, merayakan akhir pekan. Ritual sosial juga dapat mencakup perilaku nonverbal di dalam organisasi, termasuk “jumat kasual dan penghargaan karyawan terbaikbulan ini.

-          Ritual  organisasi
Melingkupi cakupan yang lebih luas, kerena ritual ini diselenggarakan secara mengglobal dalam sebuah organisasi. Misalnya, kegiatan perusahaan yang sering dilakukan seperti rapat divisi, rapat fakultas, dan bahkan piknik perusahaan.

b.      Performa hasrat.
Hasrat(passion) di sini menggambarkan keinginan berbagi, sharing, atau curhat mengenai kondisi internal berlangsungnya sebuah kebijakan dalam sebuah perusahaan. Biasanya kesempatan menumpahkan hasrat ini ditujukan dalam bentuk kritik terhadap objek yang dianggap negatif oleh si pemilik hasrat tersebut.

c.       Performa sosial
Performa sosial lebih menunjukkan kekooperatifan dalam mengkomunikasikan keadaan dan berbagai simbiol-simbol yang telah ada dalam sebuah organisasi. Harapan sosial sangat dijunjung tinggi untuk menghindari konflik dan menjadi pegangan nilai yang kokoh saat keadan yang buruk sekalipun.

d.      Performa politis
Performa ini mendeskripsikan secara jelas makna hierarki dalam sebuah birokrasi organisasi, yang mana tingkatan kekuasaan atau stratifikasi diperlihatkan secara ekspilisit. Hal ini ditujukan pada fungsi kontrol sebuah organisasi, yang memerlukan seseorang untuk mengkoordiansikan seluruh komponen yang  terlibat dalam sebuah proses berorganisasi.

e.       Performa enkultursasi.
Organisasi memiliki fungsi untuk mentransformasikan kebudayaan kepada setiap individu dalam sebuah organisasi agar terjadi kejelasan visi, misi dan peran yang diemban oleh individu tersebut.

KRITIK DAN PENUTUP
            Teori Budaya Organisasi yang dicetuskan oleh Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo, merupakan teori yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian di bidang komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi efektivitas teori ini, akan didiskusikan tiga kriteria: heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.
Heurisme
            Daya tarik Teori Budaya Organisasi telah begitu luas dan jauh, sehingga menyebabkan teori ini bersifat heuristik. Misalnya saja, teori ini telah membingkai penelitian yang mengkaji karyawan Muslim, petugas penegak hukum, dan karyawan yang sedang mengandung. Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk mempertimbangkan mengenai budaya organisasi dan bagaimana mereka mengajarkan mengenai hal ini di dalam kelas. Dan relevan bagi kita yang berada di dalam bidang pendidikan, teori ini telah digunakan untuk mempelajari cerita-cerita mengenai mahasiswa dan persepsi mereka akan penyesuaian diri di kampus.
Kegunaan
Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada hampir semua karyawan di dalam sebuah organisasi. Pendekatan ini berguna karena banyak informasi dari teori (misalnya, simbol, kisah, ritual) memiliki hubungan langsung pada bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi mereka terhadap lingkungan kerja mereka (Schrodt, 2002). Karena karya para teoretikus ini didasarkan pada organisasi yang nyata dan karyawan yang benar-benar ada, para peneliti ini telah membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.
Konsistensi Logis
Konsistensi. logis dari model ini juga tidak boleh dilewatkan. Konsistensi logis merujuk pada pemikiran bahwa teori harus mengikuti pengaturan logis dan tetap konsisten. Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo berusaha untuk memegang teguh keyakinan mereka bahwa budaya organisasi sangat kaya dan beragam; mereka merasa bahwa mendengarkan performa komunikatif dari anggota organisasi adalah titik awal bagi kita untukmemahami "budaya korporat". Ini merupakan dasar dari mana banyak bagian dari teori ini mendapatkan momentumnya.
Walaupun demikian, beberapa yakin bahwa teori ini kurang dalam hal konsistensi. Eric Eisenberg dan H.L. Goodall misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya Organisasi bergantung sepenuhnya pada makna yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota organisasi. Mereka menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara mirip di antara karyawan: "cerita yang berbeda mengenai organisasi diceritakan oleh narator yang berbeda pula". Maksudnya, walaupun teori ini menyatakan bahwa kisah diceritakan dan diceritakan ulang dan memberikan kontribusi pada budaya sebuah organisasi, kisah-kisah ini mungkin tidak akan memiliki makna yang sama bagi semua orang.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo merupakan dua dari beberapa peneliti komunikasi yang mempelajari mengenai kehidupan organisasi dengan melihat baik pada karyawan dan perilaku mereka. Mungkin melihat budaya organisasi dengan cara ini akan membuat para peneliti mampu menghargai pentingnya berhubungan dengan orang dan performa mereka di tempat kerja.


DAFTAR PUSTAKA
Brown, Dan. The Lost Syimbol. Yogyakrata: PT. Bentang Pustaka. 2010
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi; Edisi Revisi.Jakarta: Rineka Cipta. 2009
West. Richard. Lynn H. Turner. Teori Komunikasi: Analsis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar