“Budaya bukanlah
sesuatu yang dimiliki oleh organisasi; budaya adalah sesuatu yang merupakan
organisasi itu sendiri”
(Pacanowsky
& O’Donnel Trujillo)
APA ITU “BUDAYA”?
“Bukankah itu sesuatu yang aneh?
Tengkorak dan bulan sabit? Rakyat Amerika
jelas tidak terlalu suka mengetahui jika seseorang yang membuat regulasi di
negara mereka, merenung di sebuah ruangan sempit dengan tengkorak dan bulan
sabit di tangannya,” ucap Anderson. Langdon tersenyum kecut pada Anderson dan
simbol-simbol Free Mason yang ada di hadapan mereka. Ia mendengus.
“Tidak lebih
aneh dari umat Kristen yang berdoa di bawah kaki Seorang Pria terpaku di kayu
salib, atau orang-orang Hindu yang merapal doa di depan seekor gajah bernama Ganesha
yang berlengan enam. Salah paham terhadap simbol-simbol sebuah kebudayaan
merupakan akar prasangka yang umum.”
(Lost Symbol – Dan Brown)
Petikan dialog dari salah satu
karya masterprice novelis Amerika
Serikat, Dan Brown, di atas menjadi sebuah ilustrasi yang cukup tepat untuk
merepresentasikan keunikan budaya dalam setiap organisasi yangmengusung basis
apa pun, mulai dari agama sampai nirlaba.
Kata
“budaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefenisikan sebagai, “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat dan keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami
lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya”.
Sedangkan
secara etimologis, Koentjaraningrat dalam bukunya “Pengantar Ilmu Antropologi”
menyebutkan bahwa nenek moyang kata “budaya” berasal dari bahasa Latin “colore” yang berarti “mengolah,
mengerjakan,” terutama dalam konteks pertanian. Bahasa Inggris kemudian
mengadaptasi kata dan defenisi tersebut ke dalam kosakata OED menjadi “culture” yang artinya tidak jauh
berbeda, yaitu “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah
dan mengubah alam.”
Dari
hubungan terminologi dan etimologi tersebut bisa diinterpretasikan jika budaya
dan kegiatan bercocok tanam memiliki hubungansebagai “aksi mendukung terjadinya
pertumbuhan.”
Koentjaraningrat
lebih jauh menyebut “budaya” bukan sekadar pertumbuhan, namun budaya merupakan
(hampir) seluruh tindakan manusia karena hanya sedikit tindakan manusia dalam
kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti
tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologis,
atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tinndakan manusia yang secara
fundamental merupakan kemampuan naluriah yang tersisip dalam gen (seperti
makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki), dikatakan Koentjaraningrat,
juga dirombak oleh manusia menjadi tindakan “berkebudayaan”.
Koentjaraningrat
memberikan contoh pada kebiasaan makan manusia yang umumnya didasarkan pada
konteks waktu, cara, atau protokol yang pantas, sopan dan sering kali rumit dan
harus dipelajari terlebih dahulu dalam waktu yang sangat lama. Begitu juga dengan
cara berjalan yang memang bukan hanya merupakan produk evolusi (Darwinisme),
tetapi juga proses kebudayaan membuat cara berjalan menjadi produk bervariasi
sesuai dengan konteks individu yang melakukannya. Baik itu berjalan a la prajurit, lemah gemulai seperti
penari, atau tertata rapihkhas model.
ORGANISASI SEBAGAI PRODUK
KEBUDAYAAN
Teori Budaya Organisasi awalnya dikaji oleh duo Michael
Pacanowsky dan Nick O’Donnel Trujillo yang mendasarkan penelitiannya pada ide
yang lebih dahulu dimiliki oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog, mengenai
kebudayaan. Hal itulah yang menyebabkan teori ini tak terlepas dari pengaruh
etnografi.
Michael Pacanowsky dan Nick O’Donnel Trujillo bertujuan memahami
organisasi—termasuk nilai-nilai, kisah, tujuan,
praktik, dan filosofi perusahan—pada periode waktu 1982 sampai tahun
1990 hingga tercetuslah organizational
culture theory.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, duo
Pacanowsky-Trujillo menyatakan bahwa organisasi dapat lebih dipahami dengan
menggunakan lensa budaya—sebuah ide yang pada mulanya diinisiatifkan oleh seorang
Antropolog ternama asal Amerika Serikat Clifford Geertz (Geertz juga sempat
melakukan penelitian di berbagai daerah di Indonesia).
“Musuh” utama Geertz pada masanya, Levi-Strauss, memandang
budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Sedangkan Geertz secara
berlawanan memiliki pandangan yang jauh berbeda.Geertz melihat pandangan
kognitif Levi-Strausssebagai pandangan reduksionis dan formalistik yang kabur.Ia
berpendapat jika simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat,
terletak di antara mereka, bukan di
dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (private).
Sistem kultural adalah ideasional(rancangan yg
tersusun di dalam pikiran).Sama seperti ideasionalnya
kuartet Beethoven. Sistem itu berada di luar atau di antara manifestasinya
dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-pola kultural, katanya,
tidak metafisikal seperti mimpi—mereka adalah benda dalam dunia nyata.Geertz
mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya
berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama.
Jika dikorelasikan antara organisasi dan budaya, kita bisa
melihat asumsi Geertz mengenai kebudayaan berhubungan dengan kohesifitas
anggota dalammenginterpretasikan simbol-simbol yang terdapat dan dihasilkan
dalam sebuah organisasi, dan simbol-simbol itu sendiri bersifat plural, dalam
artian antara satu organisasi dengan organisasi lain, terdapat keunikan simbolis
yang jelas berbeda satu dengan yang lainnya.
Penelitian ini sendiri mendobrak sebuah rutinitas
membosankan para peneliti yang hanya berusaha mengkuantatifkan objek
kajian—dalam hal ini organisasi—akibat sistematika penelitian dengan metode
ilmiah yang memasung inovasi baru. Dengan adanya teori ini, mereka berdua beranggapan
bahwa para peneliti menjadi lebih mampu masuk ke dalam sebuah organisasi, lalu
melihat dan memahami aspek berupa sistem kebudayaan yang merupakan bagian absolut
dari organisasi.
Geertz menyebutkan bahwa metode ilmiah yang positivistik
(generalisasi) sangat terbatas, stagnan dan kabur. Alih-alih melakukan pengukuran dan pengurain,
seharusnya para etnograf mencoba menginterpretasikan kebudayaan. Dan penafsiran
harus dikembangkan menjadi deskripsi mendalam (thick description) yang harus diikatkan secara mendalam ke dalam
kekayaan konteks kehidupan sosial.
Budaya di sini bukan membicarakan area SARA (Suku, Agama,
Ras, dan Antargolongan). Budaya organisasi juga bukan hanya mencakup aspek
matrealistis, namun juga emosionalitas dan kondisi psikologis partispan yang
ada dalam sebuah kegiatan berorganisasi. Budaya itu sendiri mencakup
aspek-aspek mendasar seperti spirit anggota, sikap, kuantitas dan kualitas
produktifitas, simbol-simbol yang tentunya memiliki esensi baik dalam bentuk
verbal maupun nonverbal, yang mana keseluruhan hal tersebut akan
merepresentasikan kondisi iklim sebuah organisasi, “dingin”, “panas” atau
“hangat.”
Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh organisasi;
budaya adalah sesuatu yang merupakan organisasi itu sendiri.
Simpulan dari kritik Geertz yang diteruskan oleh
Pacanowsky-Trujillo adalah bahwa memahami satu organisasi lebih penting
daripada menggeneralisasi sekelompok perilaku atau nilai dari banyak
organisasi.
METAFORA BUDAYA JARING LABA-LABA
Analogi
sederhana dari sebuah proses interaksi dalam organisasi adalah jalinan jejaring
laba-laba. Coba perhatikan seeokor laba-laba yang tak mengenal lelah memintal
luas jejaringnya, seperti halnya manusia yang giat memperlebar untaian jaringan
relasi dalam interaksi. Jaring-jaring ini terbentuk dengan berbagai
komplektisitasnya masing-masing yang tidak similiar antara yang satu dengan
yang lain.
Geertz
menyatakan bahwa orang-orang adalah “sekumpulan hewan yang tergantung di dalam
jaringan kepentingan”.
Pacanowsky-Trujillo memberikan komentar dan tambahan
terhadap metafora Geertz itu. Mereka menyatakan jika “jaring” itu tidak sekadar
“ada”, melainkan sedang dipintal. Jaring ini dipintal ketika orang sedang
menjalankan bisnis mereka membuat dunia mereka menjadi dapat dipahami—maksudya,
ketika mereka berkomunikasi. Ketika mereka berbicara, menulis sebuah naskah
drama, menyanyi, menari, bahkan pura-pura sakit, mereka sedang berkomunikasi,
dan mereka sedang mengkonstruksi budaya mereka. Jaring ini merupakan residu
dari proses komunikasi.
Geertz memilih jejaring laba-laba sebagai analogi karena
pengalamannya yang sangat mendalam terhadap banyak kebudayaan di dunia yang
pernah ditelitinya. “Setiap budaya berbeda dan unik,” kata Geertz, “dan itu
adalah hal yang patut dihargai.” Geertz percaya bahwa para peneliti harus
berfokus pada makna bersama yang melekat di dalamnya. Dan kepercayaan inilah
yang membuat Pacanowsky-Trujillo mulai melihat organisasi dari perspektif kultural.
Karena seperti halnya kebudayaan Australia atau Indonesia, setiap organisasi memiliki
sistematika kebudayaan yang khas untuk setiap bagiannya. Baik misalnya karyawan
maupun manajer memintal jaring mereka sendiri. Orang-oranglah yang memegang peranan
penting dalam organisasi, dan karenanya, sangatlah penting mempelajari perilaku
mereka sehubungan dengan kondisi keseluruhan organisasi. Mereka menambahkan
bahwa anggota dari organisasi ini terlibat di dalam banyak perilaku komunikasi yang
memberikan kontribusi bagi budaya perusahaan.
Perspektif yang luas ini menggarisbawahi mengapa keduanya
berargumen bahwa budaya organisasi bukanlah sebuah potongan puzzle; budaya
adalah puzzle itu sendiri.
ASUMSI TEORI BUDAYA ORGANISASI
Sebuah teori
tak terlepas dari asumsi-asumsi, begitu juga Teori Budaya Organisasi.
Asumsi-asumsinya antara lain;
- Anggota-anggota organisasi menciptakan dan mempertahankan perasaan yang dimiliki bersama mengenai realitas organisasi, yang berakibat pada pemahaman yang lebih baik mengenai nilai-nilai sebuah organisasi. Inti dari asumsi ini adalah nilai yang dimiliki organisasi. Nilai merupakan standard dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam sebuah budaya.
- Penggunaan dan interpretasi simbol sangat penting dalam budaya organisasi. Ketika seseorang dapat memahami simbol tersebut, maka seseorang akan mampu bertindak menurut budaya organisasinya.
- Budaya bervariasi dalam organisasi-organisasi yang berbeda, dan interpretasi tindakan dalam budaya ini juga beragam. Setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda-beda dan setiap individu dalam organisasi tersebut menafsirkan budaya tersebut secara berbeda.Terkadang, perbedaan budaya dalam organisasi justru menjadi kekuatan dari organisasi sejenis lainnya.
Asumsi pertama
mendeskripsikan bahwa manusia adalah faktor vital dalam kehidupan
berorgananisasi. Dengan hal tersebut diharapkan setiap individu mampu menjaga
realitas yang telah mengakar dalam sebuah organisasi agar tetap tertanam kuat.
Realitas ini sendiri terbentuk dari rangkaian nilai yang dipercayai dan
dianggap berharga oleh setiap individu komponen sebuah organisasi. Nilai juga
bersifat “menjadi acuan standardisasi” segala hal yang dianggap penting dan
seharusnya dilakukan oleh setiap anggota. Dan tentunya juga “nilai” ini tidak
mungkin dengan ramah-tamah memperkenalkan diri secara pribadi, melainkan harus
ada proses pentransmisian dari setiap individu yang memegang nilai tersebut
sebagai acuan kepada mereka yang masih awam terhadap hal itu. Sosialisasi ini
sendiri berlangsung dalam proses komunikasi antar anggota dari segala hierarki,
baik secara langsung maupun melalui pesan implisit.
Pada asumsi
selanjutnya, simbol dan esensi di baliknya adalah sebuah hal yang diwajibkan
untuk mendapat interpretasi dari mereka-mereka yang menjadi anggota organisasi.
Dari, oleh, dan untuk mereka. Menciptakan, menggunakan dan memahami makna dari
simbol-simbol adalah rutinitas yang dilakukan sebagai proses adaptasi dan modal
untuk tetapsurvive dalam jejaring
interaksi. Simbol dalam sebuah organisasi sendiri mampu mengkomunikasikan nilai
yang telah melekat dan terjaga dalam organisasi itu sendiri. Hal inilah yang
disebutkan, bahwa begitu pentingnya pemaknaan simbol-simbol oleh setiap anggota
yang terlibat demi sebuah kejelasan
mendasar akan hal-hal yang telah, sedang dan akan selalu dijaga dalam sebuah
kegiatan berorganisasi.
Asumsi
selanjutnya sekaligus menjadi asumsi yang terakhir, mendukung bahwa
multikulturalisme juga berlaku dalam ranah pengorganisasian, yang terlihat
jelas saat kita menyaksikan betapa heterogennya bentuk-bentuk budaya yang
diaplikasikan dalam satu organisasi dengan organisasi lainnnya. Bukan saja dalam aspek kemajemukan budaya
antar organisasi, namun juga secara internal, saat antar individu dalam sebuah
organisasi memiliki interpretasi yang warna-warni dalam melihat kebudayaan yang
melekat pada institut dan pranata yang mereka tempati.
Performa dalam mengkomunikasikan berbagai bentuk
kebudayaan yang dibungkus dalam format-format tertentu merupakan manifestasi
dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi, dalam artian
pembagian peran dalam organisasi merupakan sebuah kewajaran yang dari sana akan
dibentuk berbagai interpretasi perilaku oleh seluruh individu komponen
organisasi.
Performa dalam organisasi, oleh para ahli, terbentuk dalam 5
bagian, yaitu;
a.
Performa
ritual
Seluruh performa yang secara
konsisten dilakukan, tergolong dalam performa ini. Performa ritual sendiri
terbagi lagi dalam:
-
Ritual
personal
Mencakup segala
aktifitas yang individu per individu rutin lakukan.Misalnya,
banyak anggota organisasi secara teratur mengecek pesan suara atau e-mail mereka
ketika mereka bekerja tiap hari.
-
Ritual
tugas
Menyangkut ritual yang
berhubungan dengan progres proses sebuah pekerjaan. Misalnya,
ritual tugas seorang karyawan di Departemen Kendaraan Bermotor termasuk
mengeluarkan ujian mata dan tertulis, mengambil foto dari calon pengemudi,
melaksanakan ujian mengemudi, memverifikasi asuransi mobil, dan menerima
pembayaran.
-
Ritual
sosial
Meliputi hubungan dengan
kegiatan konsisten berulang-ulang antar satu individu dengan para
individu-individu lain dalam sebuah kelompok organisasinya.Misalnya,
beberapa anggota organisasi berkumpul bersama untuk menghabiskan waktu bersama
di bar pada hari Jumat, merayakan akhir pekan. Ritual
sosial juga dapat mencakup perilaku nonverbal di dalam organisasi, termasuk “jumat kasual
dan penghargaan karyawan terbaikbulan ini.
-
Ritual organisasi
Melingkupi cakupan yang
lebih luas, kerena ritual ini diselenggarakan secara mengglobal dalam sebuah
organisasi. Misalnya, kegiatan perusahaan yang sering dilakukan seperti rapat
divisi, rapat fakultas, dan bahkan piknik perusahaan.
b.
Performa
hasrat.
Hasrat(passion) di sini menggambarkan
keinginan berbagi, sharing, atau
curhat mengenai kondisi internal berlangsungnya sebuah kebijakan dalam sebuah
perusahaan. Biasanya kesempatan menumpahkan hasrat ini ditujukan dalam bentuk
kritik terhadap objek yang dianggap negatif oleh si pemilik hasrat tersebut.
c.
Performa
sosial
Performa sosial lebih
menunjukkan kekooperatifan dalam mengkomunikasikan keadaan dan berbagai
simbiol-simbol yang telah ada dalam sebuah organisasi. Harapan sosial sangat
dijunjung tinggi untuk menghindari konflik dan menjadi pegangan nilai yang
kokoh saat keadan yang buruk sekalipun.
d.
Performa
politis
Performa ini mendeskripsikan
secara jelas makna hierarki dalam sebuah birokrasi organisasi, yang mana
tingkatan kekuasaan atau stratifikasi diperlihatkan secara ekspilisit. Hal ini
ditujukan pada fungsi kontrol sebuah organisasi, yang memerlukan seseorang
untuk mengkoordiansikan seluruh komponen yang
terlibat dalam sebuah proses berorganisasi.
e.
Performa
enkultursasi.
Organisasi memiliki fungsi untuk
mentransformasikan kebudayaan kepada setiap individu dalam sebuah organisasi
agar terjadi kejelasan visi, misi dan peran yang diemban oleh individu
tersebut.
KRITIK DAN PENUTUP
Teori
Budaya Organisasi yang dicetuskan oleh Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo,
merupakan teori yang memiliki pengaruh penting dalam teori dan penelitian di
bidang komunikasi organisasi. Untuk mengevaluasi efektivitas teori ini, akan
didiskusikan tiga kriteria: heurisme, kegunaan, dan konsistensi logis.
Heurisme
Daya tarik
Teori Budaya Organisasi telah begitu luas dan jauh, sehingga menyebabkan teori
ini bersifat heuristik. Misalnya saja, teori ini telah membingkai penelitian
yang mengkaji karyawan Muslim, petugas penegak hukum, dan karyawan yang sedang
mengandung. Teori ini telah memengaruhi banyak ilmuwan untuk mempertimbangkan
mengenai budaya organisasi dan bagaimana mereka mengajarkan mengenai hal ini di
dalam kelas. Dan relevan bagi kita yang berada di dalam bidang pendidikan,
teori ini telah digunakan untuk mempelajari cerita-cerita mengenai mahasiswa
dan persepsi mereka akan penyesuaian diri di kampus.
Kegunaan
Teori ini berguna karena informasinya dapat diterapkan pada
hampir semua karyawan di dalam sebuah organisasi. Pendekatan ini berguna karena
banyak informasi dari teori (misalnya, simbol, kisah, ritual) memiliki hubungan
langsung pada bagaimana karyawan bekerja dan identifikasi mereka terhadap
lingkungan kerja mereka (Schrodt, 2002). Karena karya para teoretikus ini
didasarkan pada organisasi yang nyata dan karyawan yang benar-benar ada, para
peneliti ini telah membuat teori ini menjadi lebih berguna dan praktis.
Konsistensi Logis
Konsistensi. logis dari model ini juga tidak boleh
dilewatkan. Konsistensi logis merujuk pada pemikiran bahwa teori harus
mengikuti pengaturan logis dan tetap konsisten. Pacanowsky dan O'Donnell
Trujillo berusaha untuk memegang teguh keyakinan mereka bahwa budaya organisasi
sangat kaya dan beragam; mereka merasa bahwa mendengarkan performa komunikatif
dari anggota organisasi adalah titik awal bagi kita untukmemahami "budaya
korporat". Ini merupakan dasar dari mana banyak bagian dari teori ini
mendapatkan momentumnya.
Walaupun demikian, beberapa
yakin bahwa teori ini kurang dalam hal konsistensi. Eric Eisenberg dan H.L.
Goodall misalnya, mengamati bahwa Teori Budaya Organisasi bergantung sepenuhnya
pada makna yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota organisasi. Mereka
menyatakan bahwa kisah, contohnya, tidak dimiliki secara mirip di antara
karyawan: "cerita yang berbeda mengenai organisasi diceritakan oleh
narator yang berbeda pula". Maksudnya, walaupun teori ini menyatakan bahwa
kisah diceritakan dan diceritakan ulang dan memberikan kontribusi pada budaya
sebuah organisasi, kisah-kisah ini mungkin tidak akan memiliki makna yang sama
bagi semua orang.
Pacanowsky dan O'Donnell Trujillo merupakan dua dari
beberapa peneliti komunikasi yang mempelajari mengenai kehidupan organisasi
dengan melihat baik pada karyawan dan perilaku mereka. Mungkin melihat budaya
organisasi dengan cara ini akan membuat para peneliti mampu menghargai
pentingnya berhubungan dengan orang dan performa mereka di tempat kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Dan. The Lost Syimbol. Yogyakrata: PT.
Bentang Pustaka. 2010
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi; Edisi Revisi.Jakarta:
Rineka Cipta. 2009
West. Richard.
Lynn H. Turner. Teori Komunikasi: Analsis
dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar