Rabu, 12 Desember 2012

CONTOH KASUS DAN ANALISIS MENGGUNAKAN TEORI GROUPTHINK


BAB I
KASUS
Pertandingan besok adalah pekan terakhir” mata Anderson de Puta menyapu seluruh tatapan pasukannya. Keseriusan terpancar jelas dari kedua pupil birunya. Saat-saat yang telah dihafal benar oleh segenap skuad Montagut Football Club bahwa sekarang adalah ketika urgensi datang menyapa dan setiap telinga harus pada status siaga terjaga.
Kita telah menjalani musim terburuk. Gim per gim dan kita hampir selalu mendapat nir poin sebagai hadiah. Kita sama-sama melewati ini dan kita sadar, materi pemain benar-benar kurang memadai. Willhelmus cedera, Berhaart bermasalah engkelnya, dan lain-lain, bahkan Sean penjaga toiletpun juga, semuanya menepi, mebiarkan kita berjuang lumpuh di atas lapangan miris amunisi.” Panjang lebar Andrey memberondong pendengaran skuadnya tanpa jeda. Dan hanya dua puluh lima diam yang diperoleh sebagai balasnya. Dua puluh lima diam yang serempak menyatakan “ya, itu benar” tanpa suara.
“Besok, pekan terakhir” Anderson melanjutkan “Barcelona dan Camp Nounya sedia menyambut kita dengan ramah.” Ia berusaha melemparkan joke pencair suasana. Tapi tak satupun ada yang tertawa. Semua keadaan dan kemungkinan serba menekan, dan tertawa adalah hal yang paling murahan yang bisa dilakukan sekarang. Anderson segera sadar itu dan merakit kembali kalimat lanjutan, “Kita menyadari benar, dengan siapa kita harus dihadapkan. Barcelona hampir punyai segalanya. Estimasi nilai kontrak seorang Messi bahkan bisa membeli seluruh isi tim ini. Beserta harga dirinya masing-masing secara cash!. Mereka bermain, dengan..sangat brutalnya. Siapapun di ruangan ini masih gemetar mengingat pembantaian El Madrigal. Willhelmus perlu berbulan-bulan menyelesaikan trauma psikis saat mendapati gawangnya bobol 6 kali. Tapi, di pertandingan akhir ini, saat poin berjumlah tiga adalah yang tervital maknanya, saat Tuhan memberikan Barcelona sebagai cobaan maha besar untuk kita dan saat kita akhirnya sadar diri, kita hampir pasti tak diunggulkan disini. Siapa yang bisa menyalahkan Bwin memasang 75:25 untuk peluang besok malam?.” Anderson masih juga belum menemukan sebentuk suara dari pria-pria dihadapannya yang sedari tadi serentak menjadikan matanya sebagai target pengelihatan, bagai menyaksikan sebuah adegan klimaks pada film-film box office.
Anderson masih belum puas memuntahkan tumpukan kalimat-kalimatnya. Dan kali ini sorot matanya semakin mendalam. Keseriusan pria Portugis ini mencapai level tertinggi. “ini bagian terpenting,” suaranya ditekan “media tanpa bosan memamerkan omongkosong tentang pekerjaanku di team ini. Mereka, dengan ke sok tahuannya tentang sepakbola, mengganggu stabilitas tim dengan berbagai kritik tak berkualitas yang mereka orbitkan dalam headline kolom berita olahraga produknya. Terakir aku membaca Del Mundo memberi judul ‘Menyerang dan Montagut kembali tertunduk pulang’ mendasarkan gim saat kita dikalahkan Levante kemarin. Apa salahnya dengan bermain offensive? Badut-badut itu tak menyadari materi tim ini masih belum terkumpul sempurna akibat badai cedera, tapi masih saja dengan mudah mengomentari kelemahan taktik milikku.” Wajah Andrey menahan amarah saat mengingat kembali bagaimana para media, komentator, bahkan seorang pemabuk yang diwawancarai oleh TV, menyalahkan dirinya sebagai biang kekalahan beruntun yang dialami Montagut FC. Anderson yang dikenal sebagai penganut taat pola 4-3-3 dikatakan ‘tidak paham sepakbola’ dan hanya seorang pria tua yang ahli ‘sepakbual’ saja.
“Kita akan bermain menyerang besok. Total menyerang.” Andreie menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Berharap CO2 yang mengalir keluar dari hidungnya adalah kumpulan segala beban yang segera menguap, menghilang tanpa jejak.
“Apa itu tidak salah, Coach?.” Suara itu memencar di antara kesunyian yang sedari tadi telah nyaman menetap di ruang ganti itu. Anderson bergidik. Akhirnya ia sadar, kalau ia bukan satu-satunya spesies manusia yang masih hidup di ruangan ini.
“Salah? Apa maksudmu?” Anderson membalas sekenanya. Van Bordon, lelaki pemilik suara penyanggah itu, berdiri dari duduknya tadi, dan menatap Anderson dengan lekat. “Bukankah hal yang tidak wajar jika kita tetap memakai  pola offensive saat menghadapi tim dengan kualitas seperti Barcelona?.” Bordon memulai “Kita seharusnya menjadikan pengalaman saat dibantai habis-habisan di depan pendukung sendiri.” Bordon bersiap mendapat balasan komentar dari Anderson, “Kau lupa kalau saat itu kita masih kehilangan banyak pemain di setiap lini?. Krisis. Itulah sebabnya.” Jawab Anderson. “dan apa bedanya dengan sekarang?” Bordon menimpali “Sama saja seperti saat itu. Kita mengalami krisis pemain. Dan kabar buruknya, saat itu kita tidak sedang dalam keadaan berjuang lolos dari zona degradasi!” mata Bordon menajam. “Bos, kita sudah sangat banyak melakukan kesalahan. Kita terlalu membuka pertahanan demi mengakomodasi permainan menyerang.” Seketika, ucapan Bordon seperti tekanan yang menghentak untuk Anderson. “Terima kasih untuk mengatakan kata “kita” sebagai pihak yang mesti dipersalahkan karena rentetan krisis yang dihadapi oleh tim ini, alih-alih menyalahkanku secara langsung.           Dan Bordie, aku juga sangat respect terhadap posisimu sebagai seorang kapten dan juga pemain paling Senior diklub ini. Tetapi, manajemen tentu telah mengetahui alasan dan kriteria seseorang untuk direkrut sebagai seorang pelatih dan semua pria di ruangan ini tentu mengetahui siapa Bosnya” suara Anderson meninggi. Ruangan mendadak menghangat. “Bos, aku tahu posisimu.” Bordon mengumpulkan keberanian “Kau yang menetukan dan kami yang melakukan. Itu aturannya. Tapi apakah kami akan selalu diam saat menyaksikan tim ini perlahan terjatuh karena ketidak sinkronan antara materi pemain dan pola permainannya? Bos, ini sepakbola. Kami bukan sekadar menyajikan hiburan dengan menampilkan keindahan permainan di setiap pekannya demi peningkatan sisi komersil. Sepakbola memang industri. Namun kami juga butuh kemenangan.! Dan keindahan permainan tak selalu dapat  memberikan itu.” Lagi-lagi untaian kalimat Bordon dengan sukses menampar egositas tinggi  milik Anderson. Kata-kata Bordie yang terdengar hampir sama percis dengan kritikan yang didapatkanya dari seoarang komentator yang mengulas kinerjanya beberapa waktu yang lalu, yang mampu menaikkan kadar emosionalnya ke titik nadir. Namun Anderson beruasaha terlihat wajar dan mengubur kemarahannya dalam-dalam. “Kau menyebutnya dengan kata ‘Kami’? Sejak kapan aku terpisah dari tim ini?.” Anderson tersenyum. Senyum yang dipaksakan. “Aku juga butuh kemenangan. Untuk itulah kau dan aku dibayar oleh klub ini. Tapi, idealisme bagiku lebih penting dari semua itu. Aku tahu, ini bukan keputusan yang populer buatmu. Namun tim ini akan mendapatkan keajaiban besok malam jika tetap memilih  untuk konsisten dengan filososfi permainan yang diusungnya.” “Bos, aku pernah bermain dan menghadapi Barcelona sekaligus. Dan aku sangat mengetahui benar   bagaimana cara mereka mengorganisasi permainan. Kita tidak boleh sekadar mengharapakan ‘keberuntungan’ yang tercipta dari keadaan. Kitalah yang harus menciptakan keberuntungan itu. Dan bermain menyerang bukanlah keputusan bijak untuk itu.”
“Bordie, kau mulai mempertanyakan kapabilitasku sebagai seorang pelatih?.” Amarah mulai terbentuk cukup jelas di sorotan mata Anderson. Bordon terlihta semakin jauh. “Secara teknis, ya.” Bordie dengan keyakinan yang datang entah dari mana, akhirnya menyerang sisi tersensitif milik Anderson “Bos, Kau adalah pelatih hebat. Tapi bahkan seorang Mourinhopun pernah melakukan kesalahan. Kau juga. Dan untuk itulah suara kami berfungsi untuk bangunkan dirimu dari obsesi absurd.” Emosi Anderson bercampur dengan ketakjuban. Baru kali ini ada seorang dari anak buahnya yang miliki keberanian melempari wajahnya dengan kritik seperti itu. “Jangan coba-coba untuk menasehatiku” wajah Anderson mengeras “Kau tak perlu menjadi seperti media yang menyudutkanku. Atau komentator yang menggosokkan bokongnya di wajahku dengan berbagai opini sialan yang mereka labeli sebagai fakta tentang formasi yang ku mainkan. Aku tahu apa yang aku lakukan.” Suara Anderson menyerak. Segala ingatan penghinaan pihak luar terhadap tim ini yang seakan hanya mengarah pada satu nama, Anderson de Puta, sang pelatih amatiran, memuncak di pikirannya.
“Kapten, aku rasa keputusan Bos cukup tepat.” Steven Rowland yang sedari tadi menjadi salah satu dari kumpulan audiens budiman yang bungkam saat melihat Pelatih dan Kapten mereka adu argumen, berpacu dalam emosionalitas, akhirnya angkat bicara. “Aku juga sama seperti kalian dan orang-orang yang ada dalam tim ini. Mengharap kita pulang dengan kemenangan. Dan aku pikir, keputusan pelatih untuk tetap memainkan formasi menyerang alih-alih bertahan dan bersabar adalah sebuah keputusan yang tepat.” Rowland menyelesaikan kalimatnya dan menemukan kekalahan yang jelas di mata van Bordon. Dan setelahnya, semua tatap teralih kepada satu sosok, bocah kelahiran Amsterdam yang tak punya kata-kata lagi. “Kapten, kita adalah tim dan kesatuan yang berjuang bersama. Aku rasa kepentingan skuad berada di atas ketakutan antar pribadi” Rowland melanjutkan. Seakan mewakili suara rekan-rekan lainnya, mengudeta wibawa sang El Capitano. Van Bordon hanya diam. Kekecewaan menggumpal menor di wajahnya. Ia kalah suara. “Aku tak pernah tahu posisiku di tim ini sevital apa. Namun aku berharap untuk sekali saja didengar. Berharap suaraku punya manfaat buat tim. Tetapi hari ini, aku menemukan satu kepastian, jika sampai kapanpun, itu tak akan pernah kudapatkan.” Bordon melihat sekilas wajah-wajah rekan setimnya. Montagut FC. Klub yang membuatnya merasakan esensi murni sebuah keajaiban bernama “sepakbola”. Interpretasi yang hampir mustahil ia dapatkan di tempat lain. Ia ingat bagaimana dulu dirinya memilih untuk bertahan saat Real Madrid menawarkan klausual kontrak berangka brutal, namun ia menolak nominal ‘gila’ itu demi tetap mengenakan seragam merah kebanggaan Montagut City. Uang tak lebih dari selembar tisue toilet baginya. Hanya saja ia terhenti pada satu titik saat Bordon merasa tak bisa menemukan hakikat itu lagi di tempat ini. Sejak akuisisi manajemen berlangsung. Saat ekspansi besar-besaran pemain mewabah, dan saat..saat semuanya berubah.
“Semoga kalian beruntung besok.” Van Bordon akhirnya tersenyum. Ia telah menemukan jawaban “Maaf, aku tak bisa berjuang bersama-sama dengan kalian.”
Pertandingan dimulai. Semuanya menahan nafas sejenak. Segenap publik Montagut merapal doa warna-warni yang isinya senada. Menang dari Barcelona dan mereka menghindari suratan relegasi.
Messi membawa bola. Menusuk kepetahanan lawan setelah sebelumnya berkolaborasi dengan Andres Iniesta. Da Silva keteteran, melepas Messi dalam posisi tembak ideal dan...Goal!
Gawang Montagut kebobolan.
Sepanjang laga, Barcelona melayani permainan terbuka the reds yang tampil offensive walaupun tanpa materi pemain antarlini yang memadai.
Bukan satu, atau dua, atau lima gol yang menjadikan jala Antonio Nunez sebagai habitat. Tapi delapan. Delapan luka yang memaksa Montagut FC tenggelam di arus relegasi.
Sebentuk mata, nanar memandang lapangan yang telah dipenuhi pemain yang tertunduk malu. Anderson seketika mengingat wajah van Bordon lekat. Penyesalan selalu hadir terlambat.













BAB II
GROUPTHINK
Groupthink atau berpikir kelompok merupakan hasil penelitian yang yang dijalankan oleh Irving Javis yang kemudian terkristalisasikan dalam bukunya Victims of Groupthink (1972). Secara garis besar, Gruopthink diartikan sebagai suatu keadaan dalam internal kelompok di mana terdapat keyakinan bahwa simbol-simbol kebersamaan kelompok berupa kesepakatan, berada pada level tertinggi dibandingkan kekritisan terhadap kualitas setiap opsi yang dihasilkan. Dalam artian, akal sehat sering kalah saing dibandingkan konsensus bersama yang terlihat seragam antara satu individu dengan individu lain dalam sebuah kelompok kecil. Janis berpendapat jika keinginan diterima dalam satu kelompok adalah salah satu faktor yang utama tercetusnya gejala Gruopthink. Hal itu disebabkan karena seorang pribadi dituntut untuk mengurangi pendapat berlawanan demi terhindar dari konflik sekaligus sarana pemenuhan harapan publik. Keharmonisan lebih diutamakan disini alih-alih menelurkan keputusan rasional yang jelas dan tepat.
Groupthink sendiri memiliki asumsi teori. Yaitu:
Ø    Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi.
Ø    Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.
Ø    Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.

Seperti pada penjelasan awal di atas, asumsi pertama merujuk pada kohesivitas atau perasaan kebersamaan yang tinggi adalah faktor vital yang membawa sebuah kelompok untuk terkontaminasi dalam alur pemikiran Groupthink. Hal ini disebabkan biasanya oleh keadaan-keadaan kedekatan emosionalitas yang terlihat erat dan ego primordialisme yang mengakibatkan setiap anggota sebuah kelompok menjunjung tinggi idealisme kelompok, yang diinterpretasikan sebagai idealisme bersama.
Pada asumsi kedua, faktor pemenuhan harapan publik lebih ditekankan. Artinya, seorang individu dalam sebuah kelompok cenderung melancarkan “gencatan” ego pribadi saat melihat keputusan yang menurutnya ganjil namun secara ironis malah disetujui oleh (mungkin) mayoritas seluruh anggota kelompok. Faktor situasional sekaligus tekanan psikis tersebut, menciptakan keadaan di mana pemikiran “main aman” lebih di prioritaskan dibandingkan nekat menyanggah keputusan mainsteram dan bersiap dilabeli sebagai “musuh dalam selimut” oleh anggota kelompok lain.
Asumsi ketiga sekaligus yang terakhir, mendeskripsikan jika pengambilan keputusan kadang bersifat kompleks sehingga menyebabkan anggota kelompok mencari “wali” yang memiliki pendapat yang terlihat kuat, diakibatkan keterbatasan maupun keseragaman pemikiran dan pengetahuan kebanyakan anggota kelompok terhadap permasalahan yang sedang dihadapi kelompok itu sendiri. Efek dominonya terlihat pada terbentuknya kohesivitas terhadap sebuah pendapat tanpa terlebih dahulu mendapatkan filterisasi pengkritisan kualitas sebuah opini atau opsi, akibat keadaan tertekan para anggota kelompok dalam memburu jalan keluar, walaupun secara riil maupun laten, jalan keluar itu dapat membawa mereka kearah yang salah

Gejala Groupthink
1.    Penilaian Berlebihan Terhadap Kelompok
Adalah gejala dimana setiap anggota merasa menggenggam keabsolutan kebenaran dalam setiap putusannya. Secara spesifik terbagi atas.
a.    Ilusi Akan Ketidakrentanan
Keadaan yang terjadi saat para anggota sebuah kelompok menggangap daya tahan tubuh kelompok mereka stabil dan seakan-akan dipastikan power full menghadapi setiap badai permasalahan yang datang menyerang
b.    Keyakinan Akan Moralitas yang Tertanam di dalam Kelompok
Sok bijaksana adalah modal utama mencapai kebenaran yang dibuat-buat. Saat anggota kelompok merasa diri mereka adalah pendeskripsian nyata bagaimana kelompok yang bijaksana dan benar, maka mereka akan dengan seenak dengkulnya menarik konklusi jika keputusan yang mereka ambil akan selalu kecipratan kebijaksanaan dan kebenaran sehingga implikasi moralitas yang sebenarnya dan universal juga masuk akal tidak mereka indahkan sedikitpun.

2.    Ketertutupan pemikiran
Ketika pemikiran anggota kelompok terisolasi, secara langsung mereka juga menolak intervensi dari luar. Dan lagi-lagi, secara spesifik terbagi atas:

a.    Stereotip Kelompok Luar
Bagi pemikiran groupthink, kelompok oposisi adalah ladang di mana keputusan dungu bisa dengan mudah ditemukan. Jadi, intervensi yang mencoba masuk kedalam keputusan intern sebuah kelompok adalah haram hukumnya untuk diterima.
b.    Rasionalisasi Kolektif
Bentuk gejala groupthink yang ditandai dengan para anggota kelompok yang merasionalisasikan negatif secara sepihak dan tentunya dengan beraroma menyengat subjektivitas tekanan-tekanan pihak luar yang mengkritisi aspek normatif dan moralitas yang menyimpang akibat keputusan yang mereka buat.

3.    Tekanan untuk Mencapai Keseragaman
Kelompok dengan keinginan untuk terliht seragam. Para homo yang takut hetero. Dan spesifikasinya adalah:
a.    Sensor Diri
Scanning diri saat seorang atau bahkan setiap anggota dalam satu kelompok mulai mereduksi pendapat yang bertentangan dengan arus umum atau keputusan yang telah dibuat yang seakan-akan adalah “saripati” keputusan seluruh anggota dalam kelompok tersebut. Mereka akhirnya menafikkan unsur-unsur yang sebenarnya urgen dalam keputusan itu sendiri akibat tuntutan keseragaman pola pikir terhadap konsensus.
b.     Ilusi Akan kebulatan Suara
Diam = “Ya, saya setuju”
c.    Self-Appointed Mindguards
Adalah gejala kelompok dengan gruopthink yang kuat. Mereka membuat semacam peran pelindung yang memproteksi pemikiran anggota kelompok dari doktrin asing yang mencoba menggoyang keputusan “lemah” tapi dinggap kuat yang telah diambil bersama.
d.   Tekanan Terhadap Para Penentang
Dan ini adalah bagian yang paling ditakuti oleh para inovator oposite yang berniat untuk mengkritisi sebuah konsensus yang penuh dengan gejala groupthink, yang mana keputusan itu bersifat labil baginya namun sayangnya jika tentangan ini disamapaikan secara gamblang tekananlah yang akan menjadi hadiah yang didapatkan.



BAB III
TINJAUAN KASUS MENGGUNAKAN TEORI GROUPTHINK

Kasus yang saya angkat kali ini menceriterakan sebuah kisah sedih yang terjadi pada satu klub sepakbola yang sedang berjuang menyelamatkan diri dari degradasi. Kasus diawali dengan sebuah konferensi tingkat tinggi yang diadakan seluruh anggota tim Montagut FC di ruang ganti pemain untuk menyiapkan diri menghadapi gim terakhir yang merupakan partai hidup mati yang sayangnya harus dilalui dengan berduel dengan tim terkuat di liga. Kondisi tertekan super itu mengakibatkan arwah groupthink bergentayangan di ruang pemikiran setiap anggota. Sang pelatih, Anderson de Puta yang berkarakter individualistis dalam mengaplikasikan seluruh kinerjanya terhadap tim menambah kadar groupthink yang semakin menyengat akibat ketidakberanian dan usaha untuk menjaga konformitas di dalam tim oleh setiap punggawa. Asumsi pertama mulai melakukan penetrasi di sini.
Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan kohesivitas tinggi.” Hal ini dibuktikan dengan karakter otoriter sang Coach dalam mengambil keputusan yang sudah menjadi kewajaran bagi team yang sayangnya diterima sebagai putusan bijaksana oleh segenap anggota pemain tanpa mengkritisi kualitasnya. Putusan Anderson untuk tetap beramain menyerang, diterima mulus tanpa bantahan, walaupun telah terbukti sebelumnya, pertahanan mereka hancur berantakan akibat lubang menganga di sentral area bertahan akibat efek samping mengakomodasi pola offensive tanpa melirik secara mendetail materi pemain yang realitanya kurang memadai.
Namun “keajaiban” kecil terjadi, saat salah seorang pemain berani unjuk argumen di depan wajah Anderson dengan mengkritisi putusan pelatih yang dianggapnya menyalahi “kewajaran dan rasionalitas” sebuah pola permainan. Van Bordon beranggapan, bagaimanapun tim harus cerdas melihat situasi, bukan malah nyaman menjadi seekor keledai yang tetap saja jatuh kelubang yang sama. Namun Anderson seakan tuli terhadap kritik, hingga seorang pemain muda bernama Steven Rowland mulai angkat bicara dan ironisnya malah mendukung keputusan bernafaskan obsesi nir-selektif milik sang pelatih. Dan asumsi kedua berbicara, “Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.” Rowland menguatkan indikasi bahwa dia dan hampir seluruh anggota tim telah dicemari konsep groupthink dalam pengambilan keputusan. Itu terefleksi jelas dari perkataanya “Kapten, kita adalah tim dan kesatuan yang berjuang bersama. Aku rasa kepentingan skuad berada di atas ketakutan antar pribadi”. Saya beranggapan, perkataan Rowland yang mengangap argumen van Bordon terhadap kebijakan pelatih sebagai ‘ketakutan antar pribadi’ adalah sangat keliru. Namun hal itu adalah kewajaran jika tim dalam kondisi tertekan, lalu kemudian muncul sebuah opini yang menawarkan diri sebagai jalan keluar, dan akibat kondisi yang menekan ditambah keseragaman pola pikir seperti asumsi terakhir jika Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.” Dilengkapi penjelasan “pengambilan keputusan kadang bersifat kompleks sehingga menyebabkan anggota kelompok mencari “wali” yang memiliki pendapat yang terlihat kuat, diakibatkan keterbatasan maupun keseragaman pemikiran dan pengetahuan kebanyakan anggota kelompok terhadap permasalahan yang sedang dihadapi kelompok itu sendiri. Efek dominonya terlihat pada terbentuknya kohesivitas terhadap sebuah pendapat tanpa terlebih dahulu mendapatkan filterisasi pengkritisan kualitas sebuah opini atau opsi, akibat keadaan tertekan para anggota kelompok dalam memburu jalan keluar, walaupun secara riil maupun laten, jalan keluar itu dapat membawa mereka kearah yang salah.”
Gejala groupthink yang paling terlihat jelas dari keadaan ini adalah sikap sang pelatih yang mendoktrin para anggota skuadnya (miss van Bordon) untuk mengangap hina penilaian media massa dan pihak ekstern lainnya terhadap kebijakan yang diambilnya. Sesuai dengan subgejala Ketertuttupan pemikiran, “Stereotip Kelompok Luar” yang dengan identik menggambarkan perspektif harga diri Anderson yang merasa terhujat oleh kritikan media yang didominasi kepadanya, sesuai dengan tafiran gejala “Stereotip Kelompok Luar” di mana “Bagi pemikiran groupthink, kelompok oposisi adalah ladang di mana keputusan dungu bisa dengan mudah ditemukan. Jadi, intervensi yang mencoba masuk kedalam keputusan intern sebuah kelompok adalah haram hukumnya untuk diterima.
Dan nyatanya prediksi van Bordon mengenai kesalahan fundamental pola yang dipakai oleh Anderson, tak meleset. Ketidakkooperatifan si Bos terhadap opini oposisi, baik dari anggota skuadnya sendiri maupun dari pihak luar membuat argumen lemahnya semakin lemah saja saat coba diaplikasikan di lapangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar