BAB I
KASUS
“Pertandingan besok adalah pekan terakhir”
mata Anderson de Puta menyapu seluruh tatapan pasukannya. Keseriusan terpancar
jelas dari kedua pupil birunya. Saat-saat yang telah dihafal benar oleh segenap
skuad Montagut Football Club bahwa sekarang adalah ketika urgensi datang
menyapa dan setiap telinga harus pada status siaga terjaga.
“Kita telah menjalani musim terburuk. Gim per
gim dan kita hampir selalu mendapat nir poin sebagai hadiah. Kita sama-sama
melewati ini dan kita sadar, materi pemain benar-benar kurang memadai.
Willhelmus cedera, Berhaart bermasalah engkelnya, dan lain-lain, bahkan Sean
penjaga toiletpun juga, semuanya menepi, mebiarkan kita berjuang lumpuh di atas
lapangan miris amunisi.” Panjang lebar Andrey memberondong pendengaran
skuadnya tanpa jeda. Dan hanya dua puluh lima diam yang diperoleh sebagai
balasnya. Dua puluh lima diam yang serempak menyatakan “ya, itu benar” tanpa suara.
“Besok, pekan terakhir” Anderson
melanjutkan “Barcelona dan Camp Nounya
sedia menyambut kita dengan ramah.” Ia berusaha melemparkan joke pencair suasana. Tapi tak satupun
ada yang tertawa. Semua keadaan dan kemungkinan serba menekan, dan tertawa
adalah hal yang paling murahan yang bisa dilakukan sekarang. Anderson segera
sadar itu dan merakit kembali kalimat lanjutan, “Kita menyadari benar, dengan siapa kita harus dihadapkan. Barcelona
hampir punyai segalanya. Estimasi nilai kontrak seorang Messi bahkan bisa
membeli seluruh isi tim ini. Beserta harga dirinya masing-masing secara cash!.
Mereka bermain, dengan..sangat brutalnya. Siapapun di ruangan ini masih gemetar
mengingat pembantaian El Madrigal. Willhelmus perlu berbulan-bulan
menyelesaikan trauma psikis saat mendapati gawangnya bobol 6 kali. Tapi, di
pertandingan akhir ini, saat poin berjumlah tiga adalah yang tervital maknanya,
saat Tuhan memberikan Barcelona sebagai cobaan maha besar untuk kita dan saat
kita akhirnya sadar diri, kita hampir pasti tak diunggulkan disini. Siapa yang
bisa menyalahkan Bwin memasang 75:25 untuk peluang besok malam?.” Anderson
masih juga belum menemukan sebentuk suara dari pria-pria dihadapannya yang
sedari tadi serentak menjadikan matanya sebagai target pengelihatan, bagai
menyaksikan sebuah adegan klimaks pada film-film box office.
Anderson masih
belum puas memuntahkan tumpukan kalimat-kalimatnya. Dan kali ini sorot matanya
semakin mendalam. Keseriusan pria Portugis ini mencapai level tertinggi. “ini bagian terpenting,” suaranya
ditekan “media tanpa bosan memamerkan
omongkosong tentang pekerjaanku di team ini. Mereka, dengan ke sok tahuannya
tentang sepakbola, mengganggu stabilitas tim dengan berbagai kritik tak
berkualitas yang mereka orbitkan dalam headline kolom berita olahraga produknya.
Terakir aku membaca Del Mundo memberi judul ‘Menyerang dan Montagut kembali
tertunduk pulang’ mendasarkan gim saat kita dikalahkan Levante kemarin. Apa
salahnya dengan bermain offensive? Badut-badut itu tak menyadari materi tim ini
masih belum terkumpul sempurna akibat badai cedera, tapi masih saja dengan
mudah mengomentari kelemahan taktik milikku.” Wajah Andrey menahan amarah
saat mengingat kembali bagaimana para media, komentator, bahkan seorang pemabuk
yang diwawancarai oleh TV, menyalahkan dirinya sebagai biang kekalahan beruntun
yang dialami Montagut FC. Anderson yang dikenal sebagai penganut taat pola
4-3-3 dikatakan ‘tidak paham sepakbola’ dan hanya seorang pria tua yang ahli ‘sepakbual’
saja.
“Kita akan bermain menyerang besok. Total
menyerang.” Andreie menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
Berharap CO2 yang mengalir keluar dari hidungnya adalah kumpulan
segala beban yang segera menguap, menghilang tanpa jejak.
“Apa itu tidak salah, Coach?.” Suara itu
memencar di antara kesunyian yang sedari tadi telah nyaman menetap di ruang
ganti itu. Anderson bergidik. Akhirnya ia sadar, kalau ia bukan satu-satunya
spesies manusia yang masih hidup di ruangan ini.
“Salah? Apa maksudmu?” Anderson membalas
sekenanya. Van Bordon, lelaki pemilik suara penyanggah itu, berdiri dari
duduknya tadi, dan menatap Anderson dengan lekat. “Bukankah hal yang tidak wajar jika kita tetap memakai pola offensive saat menghadapi tim dengan
kualitas seperti Barcelona?.” Bordon memulai “Kita seharusnya menjadikan pengalaman saat dibantai habis-habisan di
depan pendukung sendiri.” Bordon bersiap mendapat balasan komentar dari Anderson,
“Kau lupa kalau saat itu kita masih
kehilangan banyak pemain di setiap lini?. Krisis. Itulah sebabnya.” Jawab Anderson.
“dan apa bedanya dengan sekarang?”
Bordon menimpali “Sama saja seperti saat
itu. Kita mengalami krisis pemain. Dan kabar buruknya, saat itu kita tidak
sedang dalam keadaan berjuang lolos dari zona degradasi!” mata Bordon
menajam. “Bos, kita sudah sangat banyak
melakukan kesalahan. Kita terlalu membuka pertahanan demi mengakomodasi
permainan menyerang.” Seketika, ucapan Bordon seperti tekanan yang
menghentak untuk Anderson. “Terima kasih
untuk mengatakan kata “kita” sebagai pihak yang mesti dipersalahkan karena
rentetan krisis yang dihadapi oleh tim ini, alih-alih menyalahkanku secara
langsung. Dan Bordie, aku juga
sangat respect terhadap posisimu sebagai seorang kapten dan juga pemain paling
Senior diklub ini. Tetapi, manajemen tentu telah mengetahui alasan dan kriteria
seseorang untuk direkrut sebagai seorang pelatih dan semua pria di ruangan ini
tentu mengetahui siapa Bosnya” suara Anderson meninggi. Ruangan mendadak
menghangat. “Bos, aku tahu posisimu.”
Bordon mengumpulkan keberanian “Kau yang
menetukan dan kami yang melakukan. Itu aturannya. Tapi apakah kami akan selalu
diam saat menyaksikan tim ini perlahan terjatuh karena ketidak sinkronan antara
materi pemain dan pola permainannya? Bos, ini sepakbola. Kami bukan sekadar
menyajikan hiburan dengan menampilkan keindahan permainan di setiap pekannya
demi peningkatan sisi komersil. Sepakbola memang industri. Namun kami juga butuh
kemenangan.! Dan keindahan permainan tak selalu dapat memberikan itu.” Lagi-lagi untaian kalimat
Bordon dengan sukses menampar egositas tinggi
milik Anderson. Kata-kata Bordie yang terdengar hampir sama percis
dengan kritikan yang didapatkanya dari seoarang komentator yang mengulas
kinerjanya beberapa waktu yang lalu, yang mampu menaikkan kadar emosionalnya ke
titik nadir. Namun Anderson beruasaha terlihat wajar dan mengubur kemarahannya
dalam-dalam. “Kau menyebutnya dengan kata
‘Kami’? Sejak kapan aku terpisah dari tim ini?.” Anderson tersenyum. Senyum
yang dipaksakan. “Aku juga butuh
kemenangan. Untuk itulah kau dan aku dibayar oleh klub ini. Tapi, idealisme
bagiku lebih penting dari semua itu. Aku tahu, ini bukan keputusan yang populer
buatmu. Namun tim ini akan mendapatkan keajaiban besok malam jika tetap
memilih untuk konsisten dengan filososfi
permainan yang diusungnya.” “Bos, aku
pernah bermain dan menghadapi Barcelona sekaligus. Dan aku sangat mengetahui
benar bagaimana cara mereka mengorganisasi
permainan. Kita tidak boleh sekadar mengharapakan ‘keberuntungan’ yang tercipta
dari keadaan. Kitalah yang harus menciptakan keberuntungan itu. Dan bermain
menyerang bukanlah keputusan bijak untuk itu.”
“Bordie, kau mulai mempertanyakan
kapabilitasku sebagai seorang pelatih?.” Amarah mulai terbentuk cukup jelas
di sorotan mata Anderson. Bordon terlihta semakin jauh. “Secara teknis, ya.” Bordie dengan keyakinan yang datang entah dari
mana, akhirnya menyerang sisi tersensitif milik Anderson “Bos, Kau adalah pelatih hebat. Tapi bahkan seorang Mourinhopun pernah
melakukan kesalahan. Kau juga. Dan untuk itulah suara kami berfungsi untuk bangunkan
dirimu dari obsesi absurd.” Emosi Anderson bercampur dengan ketakjuban.
Baru kali ini ada seorang dari anak buahnya yang miliki keberanian melempari
wajahnya dengan kritik seperti itu. “Jangan
coba-coba untuk menasehatiku” wajah Anderson mengeras “Kau tak perlu menjadi seperti media yang menyudutkanku. Atau
komentator yang menggosokkan bokongnya di wajahku dengan berbagai opini sialan
yang mereka labeli sebagai fakta tentang formasi yang ku mainkan. Aku tahu apa
yang aku lakukan.” Suara Anderson menyerak. Segala ingatan penghinaan pihak
luar terhadap tim ini yang seakan hanya mengarah pada satu nama, Anderson de
Puta, sang pelatih amatiran, memuncak di pikirannya.
“Kapten, aku rasa keputusan Bos cukup
tepat.” Steven Rowland yang sedari tadi menjadi salah satu dari kumpulan
audiens budiman yang bungkam saat melihat Pelatih dan Kapten mereka adu
argumen, berpacu dalam emosionalitas, akhirnya angkat bicara. “Aku juga sama seperti kalian dan
orang-orang yang ada dalam tim ini. Mengharap kita pulang dengan kemenangan.
Dan aku pikir, keputusan pelatih untuk tetap memainkan formasi menyerang
alih-alih bertahan dan bersabar adalah sebuah keputusan yang tepat.” Rowland
menyelesaikan kalimatnya dan menemukan kekalahan yang jelas di mata van Bordon.
Dan setelahnya, semua tatap teralih kepada satu sosok, bocah kelahiran
Amsterdam yang tak punya kata-kata lagi. “Kapten,
kita adalah tim dan kesatuan yang berjuang bersama. Aku rasa kepentingan skuad berada
di atas ketakutan antar pribadi” Rowland melanjutkan. Seakan mewakili suara
rekan-rekan lainnya, mengudeta wibawa sang El Capitano. Van Bordon hanya diam.
Kekecewaan menggumpal menor di wajahnya. Ia kalah suara. “Aku tak pernah tahu posisiku di tim ini sevital apa. Namun aku
berharap untuk sekali saja didengar. Berharap suaraku punya manfaat buat tim.
Tetapi hari ini, aku menemukan satu kepastian, jika sampai kapanpun, itu tak
akan pernah kudapatkan.” Bordon melihat sekilas wajah-wajah rekan setimnya.
Montagut FC. Klub yang membuatnya merasakan esensi murni sebuah keajaiban
bernama “sepakbola”. Interpretasi yang hampir mustahil ia dapatkan di tempat
lain. Ia ingat bagaimana dulu dirinya memilih untuk bertahan saat Real Madrid
menawarkan klausual kontrak berangka brutal, namun ia menolak nominal ‘gila’
itu demi tetap mengenakan seragam merah kebanggaan Montagut City. Uang tak
lebih dari selembar tisue toilet baginya. Hanya saja ia terhenti pada satu
titik saat Bordon merasa tak bisa menemukan hakikat itu lagi di tempat ini.
Sejak akuisisi manajemen berlangsung. Saat ekspansi besar-besaran pemain
mewabah, dan saat..saat semuanya berubah.
“Semoga kalian beruntung besok.” Van
Bordon akhirnya tersenyum. Ia telah menemukan jawaban “Maaf, aku tak bisa berjuang bersama-sama dengan kalian.”
Pertandingan dimulai. Semuanya menahan nafas sejenak. Segenap publik
Montagut merapal doa warna-warni yang isinya senada. Menang dari Barcelona dan mereka
menghindari suratan relegasi.
Messi membawa
bola. Menusuk kepetahanan lawan setelah sebelumnya berkolaborasi dengan Andres
Iniesta. Da Silva keteteran, melepas Messi dalam posisi tembak ideal
dan...Goal!
Gawang Montagut
kebobolan.
Sepanjang laga,
Barcelona melayani permainan terbuka the
reds yang tampil offensive walaupun tanpa materi pemain antarlini yang
memadai.
Bukan satu, atau
dua, atau lima gol yang menjadikan jala Antonio Nunez sebagai habitat. Tapi
delapan. Delapan luka yang memaksa Montagut FC tenggelam di arus relegasi.
Sebentuk mata,
nanar memandang lapangan yang telah dipenuhi pemain yang tertunduk malu.
Anderson seketika mengingat wajah van Bordon lekat. Penyesalan selalu hadir
terlambat.
BAB II
GROUPTHINK
Groupthink atau berpikir kelompok merupakan hasil penelitian
yang yang dijalankan oleh Irving Javis yang kemudian terkristalisasikan dalam
bukunya Victims of Groupthink (1972).
Secara garis besar, Gruopthink
diartikan sebagai suatu keadaan dalam internal kelompok di mana terdapat
keyakinan bahwa simbol-simbol kebersamaan kelompok berupa kesepakatan, berada
pada level tertinggi dibandingkan kekritisan terhadap kualitas setiap opsi yang
dihasilkan. Dalam artian, akal sehat sering kalah saing dibandingkan konsensus
bersama yang terlihat seragam antara satu individu dengan individu lain dalam
sebuah kelompok kecil. Janis berpendapat jika keinginan diterima dalam satu
kelompok adalah salah satu faktor yang utama tercetusnya gejala Gruopthink. Hal
itu disebabkan karena seorang pribadi dituntut untuk mengurangi pendapat
berlawanan demi terhindar dari konflik sekaligus sarana pemenuhan harapan
publik. Keharmonisan lebih diutamakan disini alih-alih menelurkan keputusan
rasional yang jelas dan tepat.
Groupthink
sendiri memiliki asumsi teori. Yaitu:
Ø
Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan
kohesivitas tinggi.
Ø
Pemecahan masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang
menyatu.
Ø
Kelompok dan pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali
bersifat kompleks.
Seperti pada
penjelasan awal di atas, asumsi pertama merujuk pada kohesivitas atau perasaan
kebersamaan yang tinggi adalah faktor vital yang membawa sebuah kelompok untuk
terkontaminasi dalam alur pemikiran Groupthink. Hal ini disebabkan biasanya
oleh keadaan-keadaan kedekatan emosionalitas yang terlihat erat dan ego
primordialisme yang mengakibatkan setiap anggota sebuah kelompok menjunjung
tinggi idealisme kelompok, yang diinterpretasikan sebagai idealisme bersama.
Pada asumsi
kedua, faktor pemenuhan harapan publik lebih ditekankan. Artinya, seorang
individu dalam sebuah kelompok cenderung melancarkan “gencatan” ego pribadi
saat melihat keputusan yang menurutnya ganjil namun secara ironis malah
disetujui oleh (mungkin) mayoritas seluruh anggota kelompok. Faktor situasional
sekaligus tekanan psikis tersebut, menciptakan keadaan di mana pemikiran “main
aman” lebih di prioritaskan dibandingkan nekat menyanggah keputusan mainsteram dan bersiap dilabeli sebagai
“musuh dalam selimut” oleh anggota kelompok lain.
Asumsi ketiga
sekaligus yang terakhir, mendeskripsikan jika pengambilan keputusan kadang
bersifat kompleks sehingga menyebabkan anggota kelompok mencari “wali” yang
memiliki pendapat yang terlihat kuat, diakibatkan keterbatasan maupun
keseragaman pemikiran dan pengetahuan kebanyakan anggota kelompok terhadap
permasalahan yang sedang dihadapi kelompok itu sendiri. Efek dominonya terlihat
pada terbentuknya kohesivitas terhadap sebuah pendapat tanpa terlebih dahulu
mendapatkan filterisasi pengkritisan kualitas sebuah opini atau opsi, akibat
keadaan tertekan para anggota kelompok dalam memburu jalan keluar, walaupun
secara riil maupun laten, jalan keluar itu dapat membawa mereka kearah yang
salah
Gejala Groupthink
1.
Penilaian Berlebihan
Terhadap Kelompok
Adalah gejala
dimana setiap anggota merasa menggenggam keabsolutan kebenaran dalam setiap
putusannya. Secara spesifik terbagi atas.
a. Ilusi Akan Ketidakrentanan
Keadaan yang terjadi saat
para anggota sebuah kelompok menggangap daya tahan tubuh kelompok mereka stabil
dan seakan-akan dipastikan power full menghadapi setiap badai permasalahan yang
datang menyerang
b. Keyakinan Akan Moralitas
yang Tertanam di dalam Kelompok
Sok bijaksana adalah modal
utama mencapai kebenaran yang dibuat-buat. Saat anggota kelompok merasa diri
mereka adalah pendeskripsian nyata bagaimana kelompok yang bijaksana dan benar,
maka mereka akan dengan seenak dengkulnya menarik konklusi jika keputusan yang
mereka ambil akan selalu kecipratan kebijaksanaan dan kebenaran sehingga
implikasi moralitas yang sebenarnya dan universal juga masuk akal tidak mereka
indahkan sedikitpun.
2.
Ketertutupan pemikiran
Ketika pemikiran anggota
kelompok terisolasi, secara langsung mereka juga menolak intervensi dari luar.
Dan lagi-lagi, secara spesifik terbagi atas:
a. Stereotip Kelompok Luar
Bagi pemikiran groupthink, kelompok oposisi adalah
ladang di mana keputusan dungu bisa dengan mudah ditemukan. Jadi, intervensi
yang mencoba masuk kedalam keputusan intern sebuah kelompok adalah haram
hukumnya untuk diterima.
b. Rasionalisasi Kolektif
Bentuk gejala groupthink
yang ditandai dengan para anggota kelompok yang merasionalisasikan negatif
secara sepihak dan tentunya dengan beraroma menyengat subjektivitas
tekanan-tekanan pihak luar yang mengkritisi aspek normatif dan moralitas yang
menyimpang akibat keputusan yang mereka buat.
3.
Tekanan untuk Mencapai
Keseragaman
Kelompok dengan keinginan
untuk terliht seragam. Para homo yang takut hetero. Dan spesifikasinya adalah:
a. Sensor Diri
Scanning diri saat seorang
atau bahkan setiap anggota dalam satu kelompok mulai mereduksi pendapat yang
bertentangan dengan arus umum atau keputusan yang telah dibuat yang seakan-akan
adalah “saripati” keputusan seluruh anggota dalam kelompok tersebut. Mereka
akhirnya menafikkan unsur-unsur yang sebenarnya urgen dalam keputusan itu
sendiri akibat tuntutan keseragaman pola pikir terhadap konsensus.
b. Ilusi Akan kebulatan Suara
Diam = “Ya, saya setuju”
c. Self-Appointed Mindguards
Adalah gejala kelompok
dengan gruopthink yang kuat. Mereka membuat semacam peran pelindung yang
memproteksi pemikiran anggota kelompok dari doktrin asing yang mencoba
menggoyang keputusan “lemah” tapi dinggap kuat yang telah diambil bersama.
d. Tekanan Terhadap Para
Penentang
Dan ini adalah bagian yang
paling ditakuti oleh para inovator oposite yang berniat untuk mengkritisi
sebuah konsensus yang penuh dengan gejala groupthink, yang mana keputusan itu
bersifat labil baginya namun sayangnya jika tentangan ini disamapaikan secara
gamblang tekananlah yang akan menjadi hadiah yang didapatkan.
BAB III
TINJAUAN KASUS
MENGGUNAKAN TEORI GROUPTHINK
Kasus yang saya angkat kali ini menceriterakan sebuah kisah sedih yang
terjadi pada satu klub sepakbola yang sedang berjuang menyelamatkan diri dari
degradasi. Kasus diawali dengan sebuah konferensi tingkat tinggi yang diadakan
seluruh anggota tim Montagut FC di ruang ganti pemain untuk menyiapkan diri
menghadapi gim terakhir yang merupakan partai hidup mati yang sayangnya harus
dilalui dengan berduel dengan tim terkuat di liga. Kondisi tertekan super itu
mengakibatkan arwah groupthink bergentayangan di ruang pemikiran setiap
anggota. Sang pelatih, Anderson de Puta yang berkarakter individualistis dalam
mengaplikasikan seluruh kinerjanya terhadap tim menambah kadar groupthink yang
semakin menyengat akibat ketidakberanian dan usaha untuk menjaga konformitas di
dalam tim oleh setiap punggawa. Asumsi pertama mulai melakukan penetrasi di
sini.
“Terdapat kondisi-kondisi di dalam kelompok yang mempromosikan
kohesivitas tinggi.” Hal ini dibuktikan dengan karakter otoriter sang Coach dalam
mengambil keputusan yang sudah menjadi kewajaran bagi team yang sayangnya
diterima sebagai putusan bijaksana oleh segenap anggota pemain tanpa
mengkritisi kualitasnya. Putusan Anderson untuk tetap beramain menyerang,
diterima mulus tanpa bantahan, walaupun telah terbukti sebelumnya, pertahanan
mereka hancur berantakan akibat lubang menganga di sentral area bertahan akibat
efek samping mengakomodasi pola offensive tanpa melirik secara mendetail materi
pemain yang realitanya kurang memadai.
Namun
“keajaiban” kecil terjadi, saat salah seorang pemain berani unjuk argumen di
depan wajah Anderson dengan mengkritisi putusan pelatih yang dianggapnya
menyalahi “kewajaran dan rasionalitas”
sebuah pola permainan. Van Bordon beranggapan, bagaimanapun tim harus cerdas
melihat situasi, bukan malah nyaman menjadi seekor keledai yang tetap saja
jatuh kelubang yang sama. Namun Anderson seakan tuli terhadap kritik, hingga
seorang pemain muda bernama Steven Rowland mulai angkat bicara dan ironisnya
malah mendukung keputusan bernafaskan obsesi nir-selektif milik sang pelatih.
Dan asumsi kedua berbicara, “Pemecahan
masalah kelompok pada intinya merupakan proses yang menyatu.” Rowland menguatkan
indikasi bahwa dia dan hampir seluruh anggota tim telah dicemari konsep
groupthink dalam pengambilan keputusan. Itu terefleksi jelas dari perkataanya “Kapten, kita adalah tim dan kesatuan yang
berjuang bersama. Aku rasa kepentingan skuad berada di atas ketakutan antar
pribadi”. Saya beranggapan, perkataan Rowland yang mengangap argumen van
Bordon terhadap kebijakan pelatih sebagai ‘ketakutan antar pribadi’ adalah
sangat keliru. Namun hal itu adalah kewajaran jika tim dalam kondisi tertekan,
lalu kemudian muncul sebuah opini yang menawarkan diri sebagai jalan keluar,
dan akibat kondisi yang menekan ditambah keseragaman pola pikir seperti asumsi
terakhir jika “Kelompok dan
pengambilan keputusan oleh kelompok sering kali bersifat kompleks.” Dilengkapi penjelasan “pengambilan keputusan kadang bersifat
kompleks sehingga menyebabkan anggota kelompok mencari “wali” yang memiliki
pendapat yang terlihat kuat, diakibatkan keterbatasan maupun keseragaman
pemikiran dan pengetahuan kebanyakan anggota kelompok terhadap permasalahan
yang sedang dihadapi kelompok itu sendiri. Efek dominonya terlihat pada
terbentuknya kohesivitas terhadap sebuah pendapat tanpa terlebih dahulu
mendapatkan filterisasi pengkritisan kualitas sebuah opini atau opsi, akibat
keadaan tertekan para anggota kelompok dalam memburu jalan keluar, walaupun
secara riil maupun laten, jalan keluar itu dapat membawa mereka kearah yang
salah.”
Gejala
groupthink yang paling terlihat jelas dari keadaan ini adalah sikap sang
pelatih yang mendoktrin para anggota skuadnya (miss van Bordon) untuk mengangap
hina penilaian media massa dan pihak ekstern lainnya terhadap kebijakan yang
diambilnya. Sesuai dengan subgejala Ketertuttupan pemikiran, “Stereotip Kelompok Luar” yang dengan
identik menggambarkan perspektif harga diri Anderson yang merasa terhujat oleh
kritikan media yang didominasi kepadanya, sesuai dengan tafiran gejala “Stereotip Kelompok Luar” di mana “Bagi pemikiran groupthink, kelompok oposisi
adalah ladang di mana keputusan dungu bisa dengan mudah ditemukan. Jadi,
intervensi yang mencoba masuk kedalam keputusan intern sebuah kelompok adalah
haram hukumnya untuk diterima.
Dan nyatanya
prediksi van Bordon mengenai kesalahan fundamental pola yang dipakai oleh
Anderson, tak meleset. Ketidakkooperatifan si Bos terhadap opini oposisi, baik
dari anggota skuadnya sendiri maupun dari pihak luar membuat argumen lemahnya
semakin lemah saja saat coba diaplikasikan di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar